Jadwal Kegiatan

Ibadah Umum - (08PM - 09PM)
Ibaadah Remaja - (09PM - 10PM)

Minggu tgl 2 September 2018 ; Mazmur 133 : 1-3

Invocatio  

 Dan akhirnya hendaklah kamu semua  seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara saudara, penyayang dan rendah hati (1 Petrus 3:8)

Khotbah 

Mazmur 133 : 1 – 3

Tema Hidup Rukun dan Damai

I.         Pendahuluan

Di dalam kehidupannya, manusia tidak hidup di dalam kesendirian. Manusia memiliki keinginan untuk bersosialisasi dengan sesamanya. Ini merupakan  salah satu kodrat manusia di mana selalu ingin berhubungan dengan manusia lain. Hal ini menunjukan kondisi yang interdependensi, dimana ada satu kesatuan hidup dalam hubungan intraksi antar individu. Berintraksi dengan masyarakat dan lingkungan sekitar memang merupakan sebuah keadaan yang pasti dihadapi oleh manusia.

Dalam interaksi tersebut dibutuhkan hidup rukun dan damai, yang merupakan sebuah kwalitas hidup impian setiap orang. Namun saat ini keadaan seperti itu semakin langka, bahkan cenderung ada tantangan dan rintangan damai dan rukun hilang dari lingkungan sosial masyarakat, keluarga, bahkan lingkungan gereja. Tidak bisa di pungkiri bahwa gaya hidup modern membuat kasih itu, semakin lama semakin dehidrasi.

II.      Isi

Dalam nats Masmur 133: 1 – 3 Daud, mengungkapkan situasi keluarga dan bangsanya yang sedang menghadapi ancaman perpecahan.Kerajaannya terancam pecah. Sementara di lingkungan keluarga mulai timbul benih- benih permusuhan. Sebab itu pemasmur sangat merindukan setiap masyarakat dan anggota keluarga dapat memahami dampak besar jika hidup rukun dengan menggambarkan dengan minyak urapan dan embun gunung yang menyegarkan, yaitu :

1.    Minyak yang baik.

     Minyak yang baik adalah minyak urapan yang mahal, yaitu minyak yang di tuangkan ke atas kepala harun dalam pelantikannya sebagai imam. Minyak yang langka sekaligus mahal. Dengan  minyak itu, seorang imam di tahbiskan dan di urapi sekaligus disucikan untuk menjalankan tugas pelayanan. Saat minyak tersebut dituang, maka aroma yang semerbakpun akan tercium di sekelilingnya demikian juga rasanya kalau kita hidup damai dan rukun, kita akan membawa dampak positip yang luar biasa bagi tubuh kita sendiri dan menjadi berkat bagi orang lain. Jadi salah satu cara hidup rukun dan damai adalah hendaklah seia sekata, seperasaan, mengasihi, penyayang dan rendah hati ( band. 1 Pet 3:8 )

2.    Embun Gunung Hermon

Puncak gunung Hermon di tutupi oleh salju sepanjang tahun. Sementara daerah – daerah di sekitarnya sangat kering. Oleh karena itu embun dari gunung Hermon tidaklah mungkin mencapai bukit sion yang dibatasi oleh lembah dan kering. Namun di sinilah rahasiannya, yaitu semua dapat terjadi hanya karena Tuhan. Demikian juga dengan kerukunan, kalau Tuhan sudah hadir dalam kehidupan seseorang, maka segala bentuk penghalang terciptannya damai dan rukun dengan orang lain akan mudah di tinggalkan.Sebaliknya setiap orang termotivasi untuk membuka diri untuk menerima dan rindu untuk mengerti dengan orang lain. Konkritnya hidup yang saling menghargai akan tercipta karena semua sama sama menyadari diri sebagai mahluk Tuhan yang memiliki potensi – potensi khusus sekaligus memiliki kebutuhan – kebutuhan khusus pula. Itulah sebabnya paulus berkata“Bertololng – tolonglah kamu menanggung bebanmu “ (galatia 6:2).

Artinya, dalam sebuah komunitas selalu ada yang sanggup memberi pertolongan dan sebaliknya selalu ada pula orang yang membutuhkan pertolongan. Oleh sebab itu gaya hidup individual dan eksklusivisme harus di singkirkan supaya kebahagiaan akibat dari kerukunan tsb dapat dinikmati bersama. Itulah makna kekristenan yang sejati seperti yang Tuhan Yesus firmankan ”…supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah satu”(Yoh 17:22).

III.   Penutup

-       Setiap kita mengingat rukun dan damai, semakin kita dapat bersatu dan rukun kepada lebih banyak manusia, semakin indahlah dan semakin di berkatilah hidup kita.

-       Lalu, bagaimana kita harus bersikap agar tercipta hidup yang rukun dan damai di dalam kehidupan kita? Nats bacaan kita kolose 3: 12 – 17 , menyatakan bahwa melakukan tindakan kasih terhadap sesama tanpa melihat latar belakang, ras, suku, dan agama. sama seperti Yesus dalam mengasihi dunia ( band Luk 10: 27 – 35 ).

-       Binalah kerukunan di dalam hubungan dengan sesama. Bangunlah hubungan dengan dasar kerukunan maka setiap orang akan mudah melaksanakan dan mewujudkannya, maka dari itu marilah kita lebih menghargai sesama kita manusia, terutama meraka yang ada di dekat kita. Yesus sudah menghargai kita dengan menebus kita melalui kematiannya di kayu salib. Amin!!!

Pdt. Neni Triana SitepuM.Th

Rg GBKP Cisalak

Minggu 26 Agustus 2018 : Pilemon 1 : 1-7

MINGGU MAMRE GBKP

Invocatio  

Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti,  atau memberi ular, jika ia meminta ikan?(Matius 7:910)

Khotbah 

Pilemon 1 : 1-7

Tema 

“Tutus Bas Kinitiken, Ertanggung Jawab Bas Kegeluhen”

            Ketika hidup tidak seperti yang kita harapkan sering kita lebih mengasihani diri sendiri sehingga kita tidak peka lagi dengan sekitar kita. Tetapi berbeda dengan Paulus, sekalipun dia dipenjara namun dia tetap berusaha untuk tetap memiliki hidupnya yang berarti bagi orang lain. Ada dua “sikap” yang dapat kita pelajari dari Paulus dalam teks Filemon 1 1:1-7 ini, yakni: Pertama, dia selalu mengingat orang lain. Ada banyak nama yang Paulus sebutkan/daftarkan dalam nas di atas, seperti: Timotius, Filemon, Apfia Arkhipus, dan mereka semua adalah teman sekerja Paulus dalam pemberitaan Injil. Paulus tidak melupakan mereka walaupun sebenarnya hal itu bisa terjadi dengan pemenjaraannya. Namun dia tidak membiarkan penjara memutuskan hubungannya dengan orang lain, karena hanya lewat hubungan yang tidak terputus itu hidupnya akan tetap berarti.

Terkadang dalam kehidupan kita sehari-hari sering sekali masalah yang sedang kita hadapi memutuskan hubungan kita dengan orang lain. Melalui teks Filemon ini kita diingatkan kembali bahwa jangan sampai kita membiarkan masalah yang sedang kita hadapi memutuskan hubungan kita dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang terdekat kita. Karena justru lewat orang-orang terdekat kita itulah hidup kita akan tetap berarti. Jangan hanya memikirkan diri dan persoalan/masalah kita, tetapi tetap berilah perhatian kepada orang lain sebab justru berbuat demikian beban kita akan semakin ringan.

Sikap Kedua, dia selalu mengingat akan panggilannya. Sekalipun Paulus ada di dalam penjara bukan berarti panggilannya berhenti. Itulah sebabnya ia menuliskan suratnya ini dengan menguatkan orang-orang lain yang seperjuangan dengan dia agar tetap dalam panggilan itu. Dan kalau kita melihat ayat-ayat selanjutnya, maka kita akan menemukan tujuan dari penulisan surat ini yaitu agar ada penyelesaian masalah di antara Onesimus dengan Filemon. Paulus tetap peduli akan pelayanan kepada orang lain sekalipun dia ada di dalam penjara. Tidak ada waktu bagi dirinya untuk mengasihani diri sendiri dengan melupakan pelayanannya. Hal ini terjadi Karena Paulus ingin supaya hidupnya tetap berarti bagi orang lain tidak peduli apapun yang terjadi. Jangan pernah berhenti melayani Tuhan apapun kondisi hidup yang sedang kita alami saat/hari ini. Mungkin kondisi kita sedang susah/terpuruk, tetapi itu tidak menjadi alasan untuk berhenti melayani. Justru sebaliknya kesusahan itu adalah kesempatan untuk melayani Tuhan.

Jika kita tarik/bandingkan di kehidupan sehari-hari kita sebagai orang Kristen jaman sekarang, yang pada umumnya orangnya tidak terbelenggu, tetapi Firman Allah di dalam mereka terbelenggu! Gampang sekali melakukan pelayanan/hadir di PJJ, PA Mamre, PA Moria, Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), kalau sikonnya enak (situasi dan kondisi), misalnya kita sehat, ekonomi kita baik, tempatnya enak, dan sebagainya. Tetapi bagaimana kalau semuanya tidak enak, kita sakit-sakitan, ekonomi kacau, keluarga kacau, pekerjaan kacau, dsb? Maukah tetap melayani/memuji Tuhan?

Juga dalam suatu aktivitas/kegiatan di gereja, mungkin kita akan bersemangat dalam pelayanan kalau gerejanya besar, teman Kristen banyak, keluarga dekat kita banyak bergereja di tempat tersebut, gerejanya banyak uang, pendukungnya banyak, tempatnya enak, peralatannya lengkap, pakai AC, dan sebagainya. Bagaimana kalau gerejanya serba pas-pas-an, tidak ada donatur, tempatnya seadanya, dsb? Mungkin hal ini adalah kondisi yang buruk, tetapi jelas jauh tidak seburuk kondisi Paulus pada saat itu (dalam teks Filemon 1:1-7). Dia tetap mau melayani dalam kondisi sedang dipenjara, bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Maukah tetap memuji/melayani/ikut hadir dan mendukung dalam pelayanan/ kegiatan-kegiatan gereja kita dengan sungguh-sungguh?

Pdt Abel Sembiring

Rg GBKP Tambun

Minggu 19 Agustus 2018 : Galatia 5 : 13-15

 

(Minggu XII Setelah Trinitatis / Minggu Menghagai Hak Asasi Manusia)

Invicatio

Dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang barbar atau orang sakit, budak atau orang merdeka, tertapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu (Kolose 3 : 11)

Khotbah 

Galatia 5 : 13 – 15

Tema

 “Jagalah kebebasanmu, saling menghargailah” (“Jaga Kebebasenndu, Si Ergan Pekepar”)

I.              Pendahuluan

Saudara – saudari yang terkasih di dalam Yesus Kristus.

Masih segar dalam ingatan kita baru – baru ini pada tanggal 17 Agustus 2018, Bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan (kebebasan) yang ke – 73 tahun. Yang menjadi pertanyaan, apakah kemerdekaan (kebebasan) itu benar – benar telah dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia yang mencakup seluruh elemen, status sosial, dan umat beragama di bangsa ini? Secara de jure, Indonesia merdeka di tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan (kebebasan) ini didapat dengan perjuangan rakyat yang beranekaragam latar belakangnya, termasuk etnis, agama, golongan, status sosial, dan lain sebagainya. Walaupun berbeda, tetapi satu suara, satu jeritan, dan satu tujuan, yaitu merdeka. Tetapi saat ini, secara de facto kita sepertinya belum benar – benar merdeka, seperti membayar air setiap debitnya dan bisa dikenakan denda bila tidak disiplin. Begitu juga listrik yang harus dibayar, serta tarif telepon yang terus naik. Dahulu, subsidi masih ada. Namun, subsidi sekarang tidak ada lagi. Belum lagi pendidikan dan kebebasan umat beribadah yang tidak lagi dilindungi pemerintah. Inilah de facto-nya kemerdekaan Indoensia kini. Ketika lagu “Indonesia Tanah Air Beta” dinyanyikan dengan penuh semangat, tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Dan, bila sila ke – 5 Pancasila yang menyerukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, saat ini tidak lagi relevan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila semua ini dihadapkan pada konteks hukum, agama, dan pertimbangan sosial, lalu pertanyaannya kemudian adalah “Apakah keadilan itu sudah dirasakan oleh seluruh rakyat Indoensia? Atau, kemerdekaan itu hanya bagi sebagian orang yang memiliki jabatan dan kuasa saja?

Hal inilah yang menjadi seruan Paulus pada umat Yahudi yang berpegang erat dalam tradisi Taurat, termasuk kewajiban akan sunat fisik. Syarat utama akan menyunat bagi Yahudi inilah yang kemudian menjadi kemarahan Paulus. Baginya, kemerdekaan di dalam Kristus tidak sekedar soal sunat fisik. Karena bila demikian, Paulus bisa bertanya lebih lanjut mengapa sekalipun ia bersunat tetap disiksa dan dipenjara oleh bangsa Yahudi? Karena, Kerajaan Sorga bukan dilihat dari sunat/tidak disunat, tapi soal bagaimana melayani Tuhan pada semua orang lain dengan kasih, dimana wujud nyata kasih itu jelas, terbukti, dan tulus.

II.              Pembahasan

Saudara – saudari yang terkasih di dalam Yesus Kristus.

Konteks nats kita ini terjadi ketika Paulus dalam perjalanan jauh ke Asia, khususnya Galatia. Ia melakukannya untuk mendengar dan melihat pertentangan yang terjadi di dalam jemaat Galatia, tentang makna kebenaran iman yang hanya diberikan pada orang bersunat. Hal ini tentu merendahkan orang Yunani yang tidak memiliki budaya sunat. Secara garis besar, surat Galatia bisa kita bagi menjadi dua bagian, yaitu pasal 1 – 4 yang isinya bernada teologis, dan pasal 5 – 6 yang isinya bernada praktis. Banyak nabi – nabi palsu menyampaikan arti kebebasan hidup dengan menyimpang dengan dalih manifestasi Kerajaan Sorga. Hal itu langsung dibantah oleh Paulus. Dan, ia kemudian meluruskan pemahaman dan pengertian yang telah salah dipahami selama ini. Akibatnya, terjadi keretakan di tengah – tengah jemaat. Hal ini kemudian menjadi awal dari kehancuran kemerdekaan (kebebasan) umat Tuhan. Mengapa? Karena, kemerdekaan (kebebasan) umat Tuhan adalah kesatuan seluruh umat manusia yang percaya, bukan kelompok – kelompok, atau golongan – golongan (Kefas, Paulus, Apolos, ataupun Kristus). Semua harus menjadi satu di dalam Kristus. Kristus mati bagi orang yang percaya dan memerdekakan semua orang, bukan satu golongan.

Paulus mengatakan makna kebebasan bukanlah bebas melakukan dosa, bukan melakukan apa saja sesuai dengan nafsunya masing – masing (bukan bebas yang kebablasan). Bukan itu! Tapi, kita bebas untuk tidak melakukan dosa. Seperti layang – layang yang bebas di langit, kemana saja arah angin berembus. Tapi, layang – layang itu tetap dikendalikan oleh satu tali dan tidak akan putus ataupun lepas.

Dalam suratnya pada jemaat di Galatia, Paulus mengajarkan tentang kemerdekaan Kristen. Para penganut Yudaisme beranggapan bahwa doktrin Paulus tentang Kasih Karunia sangat berbahaya. Karena, doktrin Paulus seolah ingin menggantikan hukum Taurat. Mereka berpikir jika segala peraturan dan standar mereka dihapuskan, maka jemaat mereka akan berantakan. Namun, tidak demikian pemikiran Paulus. Malahan, Paulus ingin menegaskan bahwa keselamatan ini bukan karena upaya melakukan Taurat (dalam bentuk sunat / Invocatio Kolose 3 : 11), tetapi karena anugerah Allah. Dan, anugerah keselamatan Allah itu harus ditanggungjawabi orang percaya. Seorang yang hidup di dalam anugerah Allah seharusnya memiliki komitmen yang tinggi untuk bertanggungjawab kepada Allah. Orang Kristen yang hidup dengan iman tak akan menjadi pemberontak.

Kata “merdeka” (bebas, tidak dijajah) adalah kata yang indah untuk didengar. Merdeka adalah pengharapan bagi semua orang. Tak seorangpun yang rela diperbudak oleh orang lain. Semua ingin menikmati kemerdekaan karena setiap orang pasti merindukan kemerdekaan. Pertanyaannya, apakah benar orang yang hidup di negara merdeka dapat merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya? Bagaimana sikap yang seharusnya diwujudkan sebagai seorang yang merdeka? Hidup sebagai hamba kebenaran. Setelah dosa – dosa kita diampuni, saat kita percaya kepada Yesus Kristus, ada kemungkinan kita jatuh ke dalam berbagai perbudakan lain. Jika tidak hati – hati, kita bisa diperbudak oleh berbagai ajaran tradisi dan filsafat manusia yang menyesatkan. Seperti jemaat Galatia, mereka dalam bahaya untuk dibawa kembali ke dalam perbudakan hukum Taurat. Maka, Rasul Paulus dengan serius menasehati mereka untuk tidak kembali ke dalam perbudakan, sebaliknya mempertahankan kemerdekaan mereka dalam Kristus (Gal 5 : 15). Mengapa? Orang Kristen adalah orang yang merdeka. Sebab, Yesus sudah mati di atas kayu salib. Dia telah mengalami pengampunan Allah dan sudah dibebaskan dari segala tuntutan dan ancaman hukum Taurat. Hal ini bukan berarti seseorang dapat berbuat sesuka hatinya untuk memenuhi segala keinginannya sesuai kehendak sendiri. Tidak! Kemerdekaan orang Kristen bukanlah jalan untuk dapat berbuat dosa, melainkan kebebasan karena anugerah Allah untuk tidak berbuat dosa (Bdn. Amos 5 : 10 – 17). Kebebasan tanpa batas selalu mengakibatkan pelampiasan keinginan daging (Gal 5 : 15). Tetapi, Roh Kudus, pribadi Ilahi adalah mitra orang percaya yang memungkinkan kita untuk mengalahkan keinginan daging. Oleh karena itu, betapa perlunya hidup kita dikontrol / dipimpin oleh Roh Kudus (Gal 5 : 16 – 26).

III.              Penutup – Refleksi

Saudara – saudari yang terkasih di dalam Yesus Kristus.

John Newton, penulis lagu Amazing Grace, memiliki pengalaman hidup yang kelam dan sangat menyedihkan. Ia sendiri adalah budak dosa. Ketika di suatu saat berjumpa dengan Kristus, ia sangat mengucap syukur kepada Tuhan yang telah memerdekakannya dari perbudakan dosa. Lantas, ia menjadi hamba Tuhan. Kekuatan tangan Tuhanlah yang membebaskan kita umat-Nya yang percaya, sehingga kita jangan sampai terlepas ataupun berpikir untuk melepaskannya. Seberapa berat pun pengaruh dunia, tuntutan hidup kebebasan yang kita pilih jangan sampai diambil dari kelompok tertentu. Kepercayaan semakin sulit dimiliki bangsa ini. Orang dengan mudahnya melakukan korupsi, kekerasan, dan manipulasi. Kejahatan merajalela pada zaman ini karena mereka merasa bebas. Di saat dunia merasa bebas sebebasnya, kita semakin menyadari kemerdekaan Kristen, dimana kebebasan orang percaya akan selalu dirasakan, dinikmati, dan disyukuri. Orang percaya juga perlu memiliki SIM, seperti SIM A wajib dimiliki pengendara mobil, SIM C wajib dimiliki pengendara sepeda motor, SIM B wajib dimiliki pengendara mobil beroda 6. Umat percaya dalam kebebasannya “berkendara” di dunia harus memiliki SIM S (Surat Izin Masuk Surga). Kita bisa memperpanjangnya dengan rajin beribadah, termasuk hadir dalam ibadah di Gereja, PJJ, PA Kategorial, dan mengasihi semua manusia (Gal 6 : 10 ; 1 Yoh 4 : 7 – 8). Sehingga, kemerdekaan yang sesungguhnya telah kita terima dengan sukacita dan damai sejahtera. Amin.

Pdt. Abdi Edinta Sebayang, M.Th

GBKP Runggun Graha Harapan

Info Kontak

GBKP Klasis Jakarta - Kalimantan
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate