Minggu 19 Agustus 2018 : Galatia 5 : 13-15

 

(Minggu XII Setelah Trinitatis / Minggu Menghagai Hak Asasi Manusia)

Invicatio

Dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang barbar atau orang sakit, budak atau orang merdeka, tertapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu (Kolose 3 : 11)

Khotbah 

Galatia 5 : 13 – 15

Tema

 “Jagalah kebebasanmu, saling menghargailah” (“Jaga Kebebasenndu, Si Ergan Pekepar”)

I.              Pendahuluan

Saudara – saudari yang terkasih di dalam Yesus Kristus.

Masih segar dalam ingatan kita baru – baru ini pada tanggal 17 Agustus 2018, Bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan (kebebasan) yang ke – 73 tahun. Yang menjadi pertanyaan, apakah kemerdekaan (kebebasan) itu benar – benar telah dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia yang mencakup seluruh elemen, status sosial, dan umat beragama di bangsa ini? Secara de jure, Indonesia merdeka di tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan (kebebasan) ini didapat dengan perjuangan rakyat yang beranekaragam latar belakangnya, termasuk etnis, agama, golongan, status sosial, dan lain sebagainya. Walaupun berbeda, tetapi satu suara, satu jeritan, dan satu tujuan, yaitu merdeka. Tetapi saat ini, secara de facto kita sepertinya belum benar – benar merdeka, seperti membayar air setiap debitnya dan bisa dikenakan denda bila tidak disiplin. Begitu juga listrik yang harus dibayar, serta tarif telepon yang terus naik. Dahulu, subsidi masih ada. Namun, subsidi sekarang tidak ada lagi. Belum lagi pendidikan dan kebebasan umat beribadah yang tidak lagi dilindungi pemerintah. Inilah de facto-nya kemerdekaan Indoensia kini. Ketika lagu “Indonesia Tanah Air Beta” dinyanyikan dengan penuh semangat, tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Dan, bila sila ke – 5 Pancasila yang menyerukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, saat ini tidak lagi relevan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila semua ini dihadapkan pada konteks hukum, agama, dan pertimbangan sosial, lalu pertanyaannya kemudian adalah “Apakah keadilan itu sudah dirasakan oleh seluruh rakyat Indoensia? Atau, kemerdekaan itu hanya bagi sebagian orang yang memiliki jabatan dan kuasa saja?

Hal inilah yang menjadi seruan Paulus pada umat Yahudi yang berpegang erat dalam tradisi Taurat, termasuk kewajiban akan sunat fisik. Syarat utama akan menyunat bagi Yahudi inilah yang kemudian menjadi kemarahan Paulus. Baginya, kemerdekaan di dalam Kristus tidak sekedar soal sunat fisik. Karena bila demikian, Paulus bisa bertanya lebih lanjut mengapa sekalipun ia bersunat tetap disiksa dan dipenjara oleh bangsa Yahudi? Karena, Kerajaan Sorga bukan dilihat dari sunat/tidak disunat, tapi soal bagaimana melayani Tuhan pada semua orang lain dengan kasih, dimana wujud nyata kasih itu jelas, terbukti, dan tulus.

II.              Pembahasan

Saudara – saudari yang terkasih di dalam Yesus Kristus.

Konteks nats kita ini terjadi ketika Paulus dalam perjalanan jauh ke Asia, khususnya Galatia. Ia melakukannya untuk mendengar dan melihat pertentangan yang terjadi di dalam jemaat Galatia, tentang makna kebenaran iman yang hanya diberikan pada orang bersunat. Hal ini tentu merendahkan orang Yunani yang tidak memiliki budaya sunat. Secara garis besar, surat Galatia bisa kita bagi menjadi dua bagian, yaitu pasal 1 – 4 yang isinya bernada teologis, dan pasal 5 – 6 yang isinya bernada praktis. Banyak nabi – nabi palsu menyampaikan arti kebebasan hidup dengan menyimpang dengan dalih manifestasi Kerajaan Sorga. Hal itu langsung dibantah oleh Paulus. Dan, ia kemudian meluruskan pemahaman dan pengertian yang telah salah dipahami selama ini. Akibatnya, terjadi keretakan di tengah – tengah jemaat. Hal ini kemudian menjadi awal dari kehancuran kemerdekaan (kebebasan) umat Tuhan. Mengapa? Karena, kemerdekaan (kebebasan) umat Tuhan adalah kesatuan seluruh umat manusia yang percaya, bukan kelompok – kelompok, atau golongan – golongan (Kefas, Paulus, Apolos, ataupun Kristus). Semua harus menjadi satu di dalam Kristus. Kristus mati bagi orang yang percaya dan memerdekakan semua orang, bukan satu golongan.

Paulus mengatakan makna kebebasan bukanlah bebas melakukan dosa, bukan melakukan apa saja sesuai dengan nafsunya masing – masing (bukan bebas yang kebablasan). Bukan itu! Tapi, kita bebas untuk tidak melakukan dosa. Seperti layang – layang yang bebas di langit, kemana saja arah angin berembus. Tapi, layang – layang itu tetap dikendalikan oleh satu tali dan tidak akan putus ataupun lepas.

Dalam suratnya pada jemaat di Galatia, Paulus mengajarkan tentang kemerdekaan Kristen. Para penganut Yudaisme beranggapan bahwa doktrin Paulus tentang Kasih Karunia sangat berbahaya. Karena, doktrin Paulus seolah ingin menggantikan hukum Taurat. Mereka berpikir jika segala peraturan dan standar mereka dihapuskan, maka jemaat mereka akan berantakan. Namun, tidak demikian pemikiran Paulus. Malahan, Paulus ingin menegaskan bahwa keselamatan ini bukan karena upaya melakukan Taurat (dalam bentuk sunat / Invocatio Kolose 3 : 11), tetapi karena anugerah Allah. Dan, anugerah keselamatan Allah itu harus ditanggungjawabi orang percaya. Seorang yang hidup di dalam anugerah Allah seharusnya memiliki komitmen yang tinggi untuk bertanggungjawab kepada Allah. Orang Kristen yang hidup dengan iman tak akan menjadi pemberontak.

Kata “merdeka” (bebas, tidak dijajah) adalah kata yang indah untuk didengar. Merdeka adalah pengharapan bagi semua orang. Tak seorangpun yang rela diperbudak oleh orang lain. Semua ingin menikmati kemerdekaan karena setiap orang pasti merindukan kemerdekaan. Pertanyaannya, apakah benar orang yang hidup di negara merdeka dapat merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya? Bagaimana sikap yang seharusnya diwujudkan sebagai seorang yang merdeka? Hidup sebagai hamba kebenaran. Setelah dosa – dosa kita diampuni, saat kita percaya kepada Yesus Kristus, ada kemungkinan kita jatuh ke dalam berbagai perbudakan lain. Jika tidak hati – hati, kita bisa diperbudak oleh berbagai ajaran tradisi dan filsafat manusia yang menyesatkan. Seperti jemaat Galatia, mereka dalam bahaya untuk dibawa kembali ke dalam perbudakan hukum Taurat. Maka, Rasul Paulus dengan serius menasehati mereka untuk tidak kembali ke dalam perbudakan, sebaliknya mempertahankan kemerdekaan mereka dalam Kristus (Gal 5 : 15). Mengapa? Orang Kristen adalah orang yang merdeka. Sebab, Yesus sudah mati di atas kayu salib. Dia telah mengalami pengampunan Allah dan sudah dibebaskan dari segala tuntutan dan ancaman hukum Taurat. Hal ini bukan berarti seseorang dapat berbuat sesuka hatinya untuk memenuhi segala keinginannya sesuai kehendak sendiri. Tidak! Kemerdekaan orang Kristen bukanlah jalan untuk dapat berbuat dosa, melainkan kebebasan karena anugerah Allah untuk tidak berbuat dosa (Bdn. Amos 5 : 10 – 17). Kebebasan tanpa batas selalu mengakibatkan pelampiasan keinginan daging (Gal 5 : 15). Tetapi, Roh Kudus, pribadi Ilahi adalah mitra orang percaya yang memungkinkan kita untuk mengalahkan keinginan daging. Oleh karena itu, betapa perlunya hidup kita dikontrol / dipimpin oleh Roh Kudus (Gal 5 : 16 – 26).

III.              Penutup – Refleksi

Saudara – saudari yang terkasih di dalam Yesus Kristus.

John Newton, penulis lagu Amazing Grace, memiliki pengalaman hidup yang kelam dan sangat menyedihkan. Ia sendiri adalah budak dosa. Ketika di suatu saat berjumpa dengan Kristus, ia sangat mengucap syukur kepada Tuhan yang telah memerdekakannya dari perbudakan dosa. Lantas, ia menjadi hamba Tuhan. Kekuatan tangan Tuhanlah yang membebaskan kita umat-Nya yang percaya, sehingga kita jangan sampai terlepas ataupun berpikir untuk melepaskannya. Seberapa berat pun pengaruh dunia, tuntutan hidup kebebasan yang kita pilih jangan sampai diambil dari kelompok tertentu. Kepercayaan semakin sulit dimiliki bangsa ini. Orang dengan mudahnya melakukan korupsi, kekerasan, dan manipulasi. Kejahatan merajalela pada zaman ini karena mereka merasa bebas. Di saat dunia merasa bebas sebebasnya, kita semakin menyadari kemerdekaan Kristen, dimana kebebasan orang percaya akan selalu dirasakan, dinikmati, dan disyukuri. Orang percaya juga perlu memiliki SIM, seperti SIM A wajib dimiliki pengendara mobil, SIM C wajib dimiliki pengendara sepeda motor, SIM B wajib dimiliki pengendara mobil beroda 6. Umat percaya dalam kebebasannya “berkendara” di dunia harus memiliki SIM S (Surat Izin Masuk Surga). Kita bisa memperpanjangnya dengan rajin beribadah, termasuk hadir dalam ibadah di Gereja, PJJ, PA Kategorial, dan mengasihi semua manusia (Gal 6 : 10 ; 1 Yoh 4 : 7 – 8). Sehingga, kemerdekaan yang sesungguhnya telah kita terima dengan sukacita dan damai sejahtera. Amin.

Pdt. Abdi Edinta Sebayang, M.Th

GBKP Runggun Graha Harapan

Info Kontak

GBKP Klasis Jakarta - Kalimantan
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate