Ogen : 1 Korinti 4 :15-16
Tema : Jadi Guru ras Usihen
Tujun : Gelah Moria
- Ngidah maka Paulus jadi guru si pemena ras usihen man perpulungen Korinti
- Pang ngataken maka ia me guru si ngajari ras jadi usihen man anak-anakna.
1. Dalam pemahaman kita saat ini, tugas guru adalah tugas yang dibebankan kepada mereka pengajar dalam arti profesi yaitu mereka yang mengajar di sekolah, mereka yang pekerjaannya sebagai guru. Dan tidak jarang juga orangtua merasa bahwa bukan tugasnya sebagai guru karena tugas tersebut adalah tugas guru di sekolah dengan alasan sudah mengeluarkan uang (telah membayar) sekolah anak. Sehingga pendidikan intelektual dan karakter diserahkan kepada lembaga pendidikan (guru), sedang pendidikan rohani diserahkan kepada gereja (guru KAKR), dan tugas orangtua utamanya adalah mencari nafkah. Apakah benar demikian? Jelas tidak! Peran pendidikan utamanya ada ditengah keluarga. Sehingga ada kalimat bijak mengatakan Warisan yang utama dari orangtua bukanlah materi tetapi teladan rohani dan etis/moral”.
2. Siapa itu guru? Guru dalam tradisi Jawa merupakan akronim dari "digugu lan ditiru" (orang yang dipercaya dan diikuti), bukan hanya bertanggung jawab mengajar mata pelajaran yang menjadi tugasnya, melainkan lebih dari itu juga mendidik moral, etika, integritas, dan karakter (kutipan harian kompas 25/11/2015).
3. Kenyataan, kadang orangtua lebih memilih mengutamakan pendidikan intelektual dibanding dengan yang lain. Sehingga dari pagi bahkan hingga malam dipenuhi dengan usaha untuk memantapkan intelektual anak. Pagi sekolah, siang les, malam private. Hal tersebut jelas memiliki kekeliruan. Aristoteles pernah berkata “Mendidik pikiran tanpa mendidik hati adalah bukan pendidikan sama sekali”. C.S. Lewis juga mengatakan “Pendidikan tanpa nilai, seberapa bergunanya itu, tampaknya hanya akan mencipatakan seorang iblis yang lebih pintar.” Jika tidak ada keseimbangan antara intelektual, emosional, dan spritual maka akan melahirkan generasi yang timpang. Cerdas tapi egois, kognisi kaya tapi miskin dalam interaksi, tipis dalam pergaulan.Disekolahkan oleh orangtua, malah semakin tahu banyak menipu orangtua. Tinggi intelektual tapi semakin tual (sombong). Jika kita evaluasi, seberapa besar usaha kita mendidik anak-anak kita secara intelektual, apakah demikian juga usaha kita dalam pendidikan rohani mereka? Mari kita evaluasi!
4. Pendidikan tidak seimbang, melahirkan generasi yang timpang. Ada kisah nyata yang mengisahkan tentang semakin berpengetahuan malah menjauh dari Tuhan. 8 September 1636 berdirilah Harvard University yang dulunya bernama New College, dinamakan Harvard karena donatur terbesar pada saat itu adalah John Harvard seorang yang percaya kepada Tuhan dan Kristen Puritan (gereja yang ingin mereformasi protestanisme/anglikan di Inggris abad ke 16). Motto dari Universitas ini adalah “Christo et Ecclesiae” (Bagi Kristus dan Gereja). Salah satu prinsip yang dianut universitas ini adalah “setiap orang harus memikirkan tujuan utama dari hidup dan studinya yakni mengenal Allah dan Yesus Kristus yang merupakan hidup kekal ”(Yoh. 17:3). Dan itu merupakan tujuan rohani dari kampus tersebut. Tetapi kini banyak diantara mahasiswa dan bahkan mahasiswa teologi beranggapan bahwa hal tersebut sesuatu yang picik dan kuno. Apalagi ada peristiwa simbolisasi pemakaman Allah, yang menyatakan bahwa Allah itu telah mati. Lebih kurang setelah 350 thn Harvard didirikan, tujuan utama tersebut sudah berbalik. Seolah ada pemahaman bahwa semakin berpengetahuan manusia maka dia semakin tidak rohani. Bukankah ini mengingatkan kita akan kisah manusia jatuh ke dalam dosa? Mereka memakan buah PENGETAHUAN yang baik dan yang jahat dan mata mereka terbuka. Mereka memang berpengetahuan tetapi semakin jauh dengan Allah (jatuh ke dalam dosa). Pengetahuan mereka membuat mereka semakin jauh dari Tuhan. Bukan tidak mungkin anak-anak kita juga demikian kelak. Kita mendidik mereka tetapi pendidikan yang mengalami ketimpangan tidak seimbang antara intelektual, emosional, dan spritual.
5. Tidak hanya kepada jemaat Korintus Paulus pernah mengatakan “Turutilah teladanku” (1 Kor. 4:16), “…supaya dari teladan kami kamu belajar” (1 Kor.4:6. Tetapi juga kepada jemaat di Filipi dia mengatakan “Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu”( Filipi 3:17). Mengapa Paulus berani mengatakan “turutilah teladanku”. Karena teladan Paulus adalah Kristus (ay. 17 “... hidup yang kuturti dalam Kristus Yesus”).Paulus tidak mungkin berani berkata seperti itu apabila ia tidak atau belum menjadikan dirinya sebagai contoh apapun yang ia sampaikan mengenai kebenaran firman Tuhan. Meskipun masa lalu Paulus tidak seturut dengan kebenaran firman Tuhan, tetapi dia mengalami pertobatan di dalam Tuhan, serta hidupnya benar-benar berubah. Dalam hal inilah dia berani mengatakan “turutilah teladanku”. Tentu, hal ini menginspirasi orangtua semuanya utamanya Moria, supaya tidak terpenjara dengan masa lalu yang mungkin ada yang tidak baik di masa lalu.Turutilah teladanku kata Paulus, sebab ia telah memperjuangkan apa yang ia percayai dalam kata dan perbuatan.
6. Pentingnya menghidupi apa yang kita ajarkan. Jauh lebih mudah untuk menegur dan menasihati orang dibanding menjadi teladan, karena sebagai teladan sikap kita haruslah sesuai dengan perkataan yang kita ajarkan (hidup berintegritas). Sikap hidup yang sesuai dengan pengajaran seperti itu sudah semakin sulit saja ditemukan hari ini. Tuhan menghendaki kita semua agar tidak berhenti hanya dengan memberi nasihat, teguran atau pengajaran saja, melainkan menjadi teladan dengan memiliki karakter, gaya hidup, sikap, tingkahlaku dan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang kita katakan. Alkitab mengatakan : "Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu" (Titus 2:7).
7. Paulus memberi perbandingan antara pendidik dan seorang bapa (ay. 15). Hal ini mungkin saja dilatarbelakangi bahwa pada masa itu juga tidak kurang orang-orang yang berpendidikan, tetapi yang kurang adalah orang-orang yang menghidupi apa yang mereka ajarkan (cakap saja). Istilah pendidik dalam nats ini dengan guru dalam konteks sekarang berbeda, sebab pendidik dalam konteks yang Paulus maksudkan adalah para budak pengawas Romawi yang bertugas mengawasi secara umum anak-anak tuannya hingga mereka mencapai usia dewasa dan dapat memakai toga. Dengan meminjam istilah ini Paulus seakan hendak mengatakan bahwa jemaat di Korintus itu memiliki banyak pengawas rohani atas kehidupan mereka, tetapi tidak sedikit yang benar-benar mau menuntun mereka ke dalam kehidupan rohani sejati. Pendidik belum tentu berperan sebagai bapak namun seorang bapak tentunya juga harus mendidik.
8. Kita mau anak-anak kita berubah ke arah yang lebih baik dan kita berusaha mengubah mereka menjadi pribadi yang baik. Tetapi ingat!Jangan menuntut orang lain berubah, sementara anda tidak atau belum juga berubah. Mulailah dari anda sendiri untuk ambil keputusan besar hari ini. Teladan lebih berdampak daripada seribu kata-kata yang kita ucapkan. Karena anak adalah peniru yang sempurna.“Tak ada yang paling menular seperti teladan” (Charles Kingley). Dan kita sering meyakini bahwa “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
9. Ki Hadjar Dewantara dalam kalimatnya “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di Depan, Seorang Pendidik harus memberi Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara Murid, Guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang Guru harus Memberikan dorongan dan Arahan.” Kesemuanya adalah sebuah bentuk kunci sukses, bahwa pola pembelajaran anak itu diperlukan sebuah keteladan (ing ngarsa sun tuladha), selanjutnya diikuti dengan pengembangan (ing madya mangun karsa), langkah akhirnya adalah pemberdayaan (tut wuri handayani) Locomotif dari kunci sukses itu adalah “keteladanan”.Sejalan dengan prinsip pendidikan Alkitab yang dimulai dari keluarga. Ki Hadjar Dewantara pernah berkata “Didalam hidupnya anak-anak adalah tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya, yaitu alam keluarga, alam perguruan dan alam pergerakan pemuda.” Maka jangan alihkan tanggungjawab sebagai guru hanya kepada guru di sekolah, tetapi itu juga merupakan bagian dari orangtua.
10. Cita-cita terbesar utamanya “nande” adalah supaya anak-anak melebihi mereka. Orangtua sering mengatakan kepada anak-anak kalimat nasehatnya “gelah ula kari bagi aku e kam nakku, adi banci min lebihen asangken aku e.”Itulah kerinduan orangtua umumnya, supaya melebihi orangtua mereka dalam hal yang baik. Kerinduan ini harus mewujud dalam keteladanan kepada anak-anak.
11. Dalam pola pendidikan Yahudi ada istilah Kabbalah yang adalah seluruh kegiatan spritual yang berkaitan dengan kepercayaan Yahudi. Kabbalah berasal dari kata Kabal yang artinya diturunkan, artinya diturunkan dari generasi ke generasi. Penting untuk kita pikirkan, apa yang kita “turunkan” kepada generasi selanjutnya? Mengapa penting? Karena tidak jarang saat ini yang diteladani anak-anak bukan lagi orangtua mereka, tetapi artis-artis dunia hiburan. Anak-anak hari ini kehilangan sebuah model yang benar untuk dijadikan contoh (krisis integritas dari orangtua). Pengertian teladan atau role model sudah begitu menyimpang. Banyak orang yang keliru mengambil figur panutan dan meneladani perilaku-perilaku buruk dari figur tersebut. Ketika orang percaya tidak bersedia untuk menjadi model mewakili Kerajaan Sorga, maka si jahat akan terus memunculkan “model-model” yang salah, yang menampilkan perilaku-perilaku buruk untuk dicontoh oleh banyak orang. Tuhan mau kita menjadi orang-orang yang bersedia untuk berani berkata “turutilah teladanku!” jadilah Moria menjadi figur yang tepat untuk diteladani anak-anak.
12. Jika selama ini kita katakan kepada anak-anak kita “nak, kamu harus rajin ke gereja, rajin baca Alkitab, rajin berdoa supaya masuk surga kelak” gantilah dengan kalimat “nak, ayo kita rajin ke gereja, rajin baca Alkitab, rajin berdoa supaya kelak kita ke surga bersama-sama”.
Pdt Dasma Sejahtra Turnip
GBKP Rg Palangkaraya