Khotbah Minggu Tgl 20 Juni 2021 ; Pengkhotbah 10 : 10-15

MINGGU PENDIDIKAN

Invocatio    : “Tangan-Mu telah menjadikan aku dan membentuk aku, berilah aku pengertin, supaya aku dapat belajar perintah-perintah-Mu. (Mazmur 119:73)

Bacaan       : Timotius 4:1-4

Khotbah      : Pengkhotbah 10:10-15

Thema        : “Mendalami Hikmat” (B.Karo: “Mpebagesi Kepentaren)

 I.             Pendahuluan

Dalam dunia masa kini, hikmat sering kali dianggap sebagai sesuatu yang kuno, kata yang berasal dari masa lalu yang lebih sederhana. Pepatah sering dipandang ketinggalan zaman. Kita pun meragukan relevansi dan manfaatnya di tengah dunia yang rumit dan teknis. Saat ini, hanya sedikit orang yang menjadikan hikmat secara serius sebagai sebuah tujuan pendidikan. Cukup sering sekarang, hikmat dipandang sebagai sebuah eufemisme untuk sesuatu yang pelik, atau paling baik, cukup diidam-idamkan tetapi seperti tidak dapat digapai. Sepertinya, hikmat dianggap sebagai sesuatu yang tersisa dari masa lalu atau cara primitif yang sebelumnya tertinggal ketika kemajuan dan modernitas datang, atau dengan kata lain juga dipandang sebagai “Zaman Baru”. Hal yang paling khas dari hikmat ada pada kualitas pendidikan atau pedagogisnya. Dimensi hikmat biblika ini jarang diperhatikan oleh para pendidik, demikian juga oleh para pakar biblika. Salah satu tanggung jawab utama pendidikan kontemporer adalah tendensinya untuk menjadi sebuah rangkaian keahlian khusus yang terisolasi, yang tampaknya hanya sedikit berperan dalam pembelajaran akan bagaimana seseorang menjalani kehidupannya sehari-hari di dunia nyata.

Kata “hikmat” sering kali mengacu kepada teks-teks alkitabiah seperti Amsal, Ayub, dan Pengkhotbah karena hikmat lebih sering muncul dalam ketiga kitab ini dibandingkan kitab-kitab lain di seluruh Alkitab Ibrani. Dalam literatur alkitabiah, kata hikmat sering kali mengacu kepada kualitas atau kemampuan seorang manusia. Kata Ibrani hokmah (hikmat) berarti pengetahuan sekaligus kemampuan penalaran untuk mengaplikasikannya dan dapat diterapkan kepada manusia, kegiatan, kepentingan dari kegiatan tersebut, atau bahkan kondisi saat menggunakannya. Dengan demikian, hikmat tidak terbatas hanya kepada manusia, karena manusia dapat belajar menjadi bijak dengan mempelajari mahkluk lain yang “bijak”.

II.           Isi

Bahan invocatio kita Mazmur 119:73 berbicara mengenai pemazmur berdiri di hadapan Khalik dan meminta pengertian dari padaNya (bnd. Ul. 32:6). Ia sadar bahwa Allah memberikan keputusan hukum yang adil, sekalipun ia merasa tertinda karenanya; namun juga menyadari bahwa ia aman dan Tuhan tetap menunjukkan kasih setiaNya (sifat yang memungkinkan persekutuan antar orang dewasa) dan rahmatNya (sifat orangtua kepada anak kecil yang disayanginya).

Bahan bacaan kita 2 Timotius 4:1-4, dalam perikop ini untuk terakhir dalam surat yang kedua ini Paulus memberikan perintah kepada Timotius untuk sungguh-sungguh melakukan tugasnya. Perintah ini ditulis Paulus dengan serius, karena Paulus menyadari bahwa ia sebentar lagi akan mati dan ini merupakan kesempatan terakhir untuk memberikan peringatan kepada Timotius. Paulus dalam surat 1 Timotius dan 2 Timotius menyebut Allah dan Kristus sebagai saksi pada saat memberikan pesan kepada Timotius (di hadapan Allah dan Kristus Yesus … aku berpesan kepadamu) itu menandai bahwa apa yang ia sampaikan amat penting. Begitu juga dalam bahan bacaan diayat pertama ini. Hanya saja kata-kata yang ia pakai sekarang lebih serius (dengan sungguh-sungguh) dan bobot perintah yang menyusul diayat yang kedua lebih berat. Kata-kata dalam ayat yang pertama bahan bacaan ini dengan sengaja dibubuhkan dan mengandung peringatan bagi Timotius, bahwa pada akhir zaman ia harus mempertanggungjawapkan penyelesaian tugasnya di hadapan Hakim yang akan datang. Dalam ayat yang kedua Timotius harus memberitakan firman dan inilah tugasnya yang utama. Karena Allah akan menghakimi semua orang sesuai dengan Injil, maka orang-orang itu perlu mendengar Injil dan bertobat. Timotius dan setiap penginjil harus siap memberitakan Injil pada segala waktu. Tak jadi soal, apakah waktu itu tepat atau tidak tepat waktunya. Seorang penginjil harus memberitakan Injil tanpa membuang waktu. Tak cukup juga bagi Timotius hanya memberitakan Injil. Ia juga harus melawan ajaran sesat, karena ajaran sesat itu akan memalsukan Injil dan meracuni jiwa manusia. Harus menegur apa yang tidak benar pada kelakuan hidup manusia, tidak boleh dibiarkan, melainkan orang itu harus ditegor, supaya ia bertobat dan tidak binasa. Dan harus menasihati agar menunjukkan jalan hidup baru bagi orang itu. Timotius memang harus sabar mengajari orang, tapi kesabaran itu tidak boleh membawa dia kepada kelengahan. Dalam bahan bacaan kita ayat yang ketiga Paulus memberi keterangan, mengapa Timotius tidak boleh membuang waktu, tetapi siap sedia memberitakan Injil, baik atau tidak baik waktunya. Karena pada akhir zaman akan timbul roh penyesat dan kemerosotan moral, yang menjadikan orang tidak suka mendengarkan Injil, karena Injil mengandung kritik terhadap sikap dan kelakuan hidup mereka. Mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendak mereka. Guru-guru itu memberikan ajaran yang tidak berbobot. Untuk memuaskan keinginan dan telinganya, orang-orang hanya mau mendengarkan apa yang menyenangkan mereka: yang tidak mengandung kritik, yang memberikan hal-hal baru dan yang menarik. Oleh karena mereka tidak suka lagi mendengarkan kebenaran Injil, mereka hanya terbuka untuk dongeng-dongeng, yang menawarkan unsur-unsur keselamatan baru tetapi sebenarnya kosong dan merupakan penipuan diri.

Bahan khotbah kita Pengkhotbah 10:10-15, dalam bagian ini, kembali terlihat ciri khas dari pengkhotbah sebagai seorang guru kebijaksanaan. Banyak orang yang datang kepadanya lalu duduk di atas permadani (sebab orang Yahudi tidak biasa duduk di kursi), dan bebas menanyakan segala sesuatu mengenai masalah-masalah kehidupan. Inilah juga yang tampaknya menjadi latar belakang Pengkhotbah pasal 10 yang seolah-olah meloncat-loncat dari satu persoalan ke persoalan lainnya yang mencakup begitu banyak variasi dan masalah. Kemungkinan, itu terjadi karena ia menjawab setiap pertanyaan yang muncul yang tentunya tidak sistematis. Sekalipun demikian, tetap ada satu benang merah atau tema yang mempersatukan seluruh macam variasi persoalan itu. Benang merah itu adalah perbedaan yang tajam antara orang yang berhikmat dan orang yang bodoh yang ingin diperlihatkan oleh Pengkhotbah. Namun, bodoh di sini sekali lagi tidak berhubungan dengan masalah kemampuan intelektual seseorang, tetapi sebagai lawan kata dari hikmat atau bijaksana. Dalam bahan khotbah ini diperlihatkan orang yang bodoh sangat berbahaya sebab ia tidak pernah bisa menilai dirinya sehingga tidak akan bisa maju. Dia tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri karena memang ia selalu menganggap bahwa dirinyalah yang benar seratus persen. Orang seperti itu adalah orang yang paling malang karena bukan hanya tidak bisa maju, melainkan juga mengalami kemunduran. Ayat 12-15 berbicara tentang mulut atau pembicaraan orang bodoh. Jadi, fokus utama pembahasan pada bagian ini adalah tentang orang bodoh. Oleh karena itu, nasihat yang sebenarnya mau diberikan adalah jangan menjadi orang bodoh. Dalam ayat 12 disebutkan perbedaan antara antara orang yang bodoh dan orang yang berhikmat. Menurut Pengkhotbah yang membedakan keduanya adalah perkataannya. Perkataan yang berhikmat menarik, sedangkan perkataan orang bodoh mencelakakan dirinya sendiri. Kalau dikatakan bahwa perkataan orang berhikmat itu menarik, maksudnya adalah perkataan orang berhikmat itu bisa membuat orang lain menghargai atau menghormatinya. Sebenarnya dalam Bahasa Ibrani, kata menarik di sini artinya penuh dengan kebaikan atau kemurahan hati. Jadi orang yang bijaksana adalah orang yang perkataannya itu penuh dengan kebaikan. Perkataan yang tidak pernah dimaksudkan untuk menghina, merendahkan, mempermalukan, mengecam, dan menghancurkan orang lain. Jadi, kalau ada orang yang dalam pembicaraannya selalu ingin menyalahkan dan merendahkan orang lain, serta hanya membanggakan dirinya sendiri, ini jelas bukanlah orang yang berhikmat, melainkan orang yang bodoh atau tidak bijaksana. Perkataan orang bodoh hanya akan menjadi bumerang yang mencelakakan dirinya sendiri. Dengan perkataannya, dia menyakiti orang lain dan membuat orang lain tidak menyukainya. Lalu, orang akan menghindari dan membencinya. Jadi, kalau kita ingin menjadi orang yang bijaksana, perhatikanlah perkataan kita. Berpikirlah dahulu baik-baik sebelum kita berbicara atau sebelum kita mengeluarkan perkataan. Ingatlah bahwa perkataan itu bisa jauh lebih menusuk, melukai, dan menyakiti daripada pedang yang tajam. Ayat 14, Pengkhotbah membicarakan tentang ciri-ciri lain dari kebodohan atau ketidakbijaksanaan itu. Dalam ayat 14, ia mengatakan orang yang tidak bijaksana adalah orang yang banyak bicaranya, meskipun sebenarnya ia tidak tahu apa-apa. Orang yang tidak tahu apa-apa biasanya menjadi orang yang sok tahu dan banyak bicara. Orang yang seperti itu tidak pernah tahu kapan ia harus diam. Mereka terus-menerus bicara dan tidak mau mendengarkan orang lain. Itu membuat orang lain menjadi lelah dan bosan. Karena itu, kita harus ingat apa yang dikatakan Pengkhotbah 3 bahwa ada waktunya berbicara, tetapi juga ada waktunya mendengarkan. Dalam ayat 15 dijelaskan orang yang tidak bijaksana itu sering melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Mungkin orang itu bisa terlihat sibuk atau lelah, tetapi sebenarnya tidak ada satupun hal berarti yang dilakukannya, selain melelahkan dirinya sendiri. Dia tidak tahu tentang tujuan dari setiap hal yang dilakukannya. Ungkapan dalam ayat 15 ini kemungkinan berasal dari peribahasa orang Yahudi yang ingin menyatakan tentang seseorang yang mengerjakan segala sesuatu secara salah. Itu diibaratkan dengan orang yang tidak tahu jalan ke kotanya sendiri. Dia tidak tahu bagaimana keadaan kotanya atau rumahnya sendiri. Apabila orang tidak pernah tahu dan menyadari keterbatasannya sendiri, ia akan melakukan segala sesuatu secara salah. Sebaliknya, orang yang bijaksana itu justru adalah orang yang tahu kelemahan, keterbatasan, dan ketidaktahuannya, serta mau mengakuinya. Dalam Alkitab, ada dua sikap yang sangat penting yang sering dianjurkan untuk diteladani. Mengetahui kekurangan dan keterbatasan diri sendiri sehingga bisa selalu rendah hati. Menyadari talenta atau karunia yang Tuhan berikan supaya tidak rendah diri. Dua hal ini perlu kita lakukan secara seimbang sebab hanya mengakui keterbatasan saja akan membuat seseorang tidak mampu mensyukuri berkat Tuhan. Sebaliknya, hanya menyadari talenta saja, hanya akan membuat seseorang menjadi tinggi hati.

III.         Refleksi

Belajar adalah proses di mana orang mengubah pandangan tentang dirinya dan tentang lingkungannya, begitu kata teori Persepsi. Belajar adalah mengkondisikan perilaku dengan dorongan dari lingkungan, begitu kata teori Behavioristik. Belajar adalah rekonstruksi mental atau melihat ulang segala sesuatu dengan konfigurasi yang berbeda, begitu kata teori Gestalt. Belajar adalah memandang arti dan peristiwa sedemikian rupa sehingga menimbulkan arti yang baru dan hubungan yang baru, begitu kata teori Eksistensial. Belajar adalah proses di mana orang mengidentikkan diri atau menirukan perilaku pendudukm begitu kata teori Perkembangan. Apa persamaan antara semua definisi itu? Semua rumusan itu menyiratkan terjadinya perubahan pada waktu orang belajar. Belajar adalah berubah. Apanya yang berubah? Ada tiga hal yang berubah. Pertama, belajar adalah mengubah pikiran. Kita mengubah pikiran dengan jalan menambah, menganalisis, menilai, menata ulang dan mengaplikasi informasi yang ada di pikiran kita. Kedua, belajar adalah mengubah perasaan. Yang dimaksud dengan perasaan di sini bukanlah emosi atau impulse melainkan sikap atau nilai-nilai hidup yang kita anut. Belajar adalah mengubah sikap atau keengganan kita tentang gagasan, orang, benda, dan keadaan. Belajar adalah mengubah komitmen kita pada nilai-nilai hidup. Ketiga, belajar adalah mengubah perilaku. Belajar adalah mengubah tindakan, cara kerja, gaya hidup dan praktik hidup kita. Jadi, belajar adalah mengubah diri menjadi manusia yang lain dan baru.

Sering kali kita mengira bahwa belajar hanya berarti menambah pengetahuan, dari belum tahu menjadi sudah tahu atau dari sudah tahu menjadi lebih tahu. Memang itu belajar, namun dalam arti yang sempit. Dalam arti yang sempit itu kita belajar untuk hidup, sama seperti burung yang belajar terbang. Dalam arti sempit ini belajar hanya bertujuan mendapat ijazah atau gelar. Belajar hanya bertujuan menaiki anak tangga masyarakat yang lebih tinggi. Belajar hanya bertujuan mencari karir, gengsi, kedudukan, kekuasaan atau kekayaan. Dalam arti sempit ini belajar hanya terjadi sekian tahun. Begitu tujuan tercapai orang berhenti belajar. Begitu berhenti sekolah, orang berhenti baca buku.

Akan tetapi, untunglah belajar juga mempunyai arti yang luas. Dalam arti yang luas, belajar adalah mengembangkan mutu pemahaman dan sikap hidup terhadap diri sendiri, orang lain, alam, benda, kehidupan serta kematian dan tentunya juga terhadap Pencipta semua itu. Dalam arti luas ini, kita hidup untuk belajar. Dalam arti luas ini, belajar tidak ada akhirnya.

Dalam hal mengajar juga ada yang berpikiran sempit ada juga yang berpikiran luas. Mengajar dalam arti sempit adalah memberi pengetahuan. Tetapi dalam arti luas mengajar adalah menolong orang bertumbuh dalam pemahaman dan nilai-nilai hidup. Mengajar adalah menabur benih nilai-nilai hidup.

Kita belajar untuk hidup. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa kita hidup untuk belajar. Sebab kalau kita hanya belajar untuk hidup, maka apa bedanya kita dengan anak burung yang belajar terbang supaya bisa hidup. Arti belajar dan arti hidup menjadi dangkal. Karena itu, kita perlu tahap berikutnya, yaitu hidup untuk belajar. Belajar rupa-rupa hal. Belajar tahu diri dan mengenal diri. Belajar tahu apa kekuatan kita lalu menjadikan kekuatan itu berkat bagi banyak orang. Belajar tahu apa kelemahan kita lalu memperbaikinya. Belajar mengenal orang lain. Belajar menerima orang lain sebagaimana dia adanya, menempatkan diri pada perasaannya, mengagumi keunggulannya dan memaklumi kelemahannya. Belajar berterima kasih atas pemberian dan pertolongannya biar bagaimanapun kecilnya. Belajar menghadapi kesulitan sebab jalan hidup ini tidak selalu datar dan mulus, melainkan turun naik, mendung dan cerah, penuh tantangan dan persoalan. Belajar jujur. Sebab hidup ini ibarat permainan atau pertandingan yang pada akhirnya diukur bukan dengan menang atau kalah, melainkan dengan ukuran bagaimana cara kita memainkan pertandingan itu. Belajar bijak, mengatur waktu, menjaga kesehatan, bertanggung jawab, membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, menyuruh diri sendiri dan melarang diri sendiri. Belajar sabar, mengalah, memaafkan dan menerima keadaan. Belajar berprakarsa, memanfaatkan kesempatan bahkan menciptakan kesempatan, bekerja keras, ulet, tangguh, tahan bantingan, hemat, rajin, dan tekun; sebab perbandingan orang jenius adalah 1% inspirasi banding 99% transpirasi alias peras keringat. Belajar berjiwa besar, menghargai perbedaan, mengagumi yang berhasil, memuji yang berprestasi, membela yang kecil dan lemah, melindungi minoritas dan mengikutsertakan kaum pinggiran. Belajar menjaga keseimbangan dan keutuhan antara kesibukan dan keteduhan, antara banting tulang dan tidur nyenyak, antara urusan vertikal dan horizontal, antara mengatur diri dan mempercayakan diri. Juga antara iman dan ilmu, sebab iman tanpa ilmu adalah picik sedangkan ilmu tanpa iman adalah pincang. Hidup itu belajar. Selama Tuhan masih memberi hidup, selama itu kita masih diberi kesempatan belajar. Belajar rupa-rupa hal. Belajar setiap hari. Hidup itu belajar.

Pdt. Andreas Pranata Meliala, S.Th

GBKP Rg. Cibinong

Khotbah Minggu Tgl 13 Juni 2021 ; Amsal 12 : 24-28

Invocatio        : Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam pekerjaannya?  Di  hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di hadapan orang-orang yang hina. (Amsal 22:29)

Ogen            : Lukas 5 : 1 – 7

Khotbah        : Amsal 12 :  24-28

Thema          : kegigihan membawa berkat (kejingkaten maba ulih)

1.     Pendahuluan

Minggu ini adalah Mminggu etika kerja, dimana kita sebagai manusia sejak diciptakan maka Allah juga telah mengatakan dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu (Kej 3 : 17b), enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu (Kel 20 : 9). Dan masih banyak dalam Alkitab FirmanNya menganjurkan agar kita bekerja masih ada kesempatan diberikan-nya untuk bekerja. Bekerja keras adalah merupakan memotivasi hidup untuk masa depan yang lebih baik. Dan Rasul Paulus mengatakan kepada jemaat Tesalonika "jika seseorang tidak mau bekerja janganlah ia makan " (2 Tes 3 : 10). Bekerja untuk mendapatkan makanan dan kebutuhan hidup, dan hidup untuk bekerja. Bekerjalah dengan gigih maka kita akan mendapatkan berkat. Orang yang bekerja dengan gigih akan beroleh berkat dan berkat yang diperoleh itu dipergunakan untuk memuliakan nama Tuhan, untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan juga untuk menolong sesama agar merasakan berkat yang kita terima itu.

2.     Urian teks -> Bacaan

Tuhan Yesus setelah ia dibaptis di sungai Yordan, maka dia akan melakukan pekerjaanNya, sesuai dengan apa misi Allah ke dunia ini. Pekerjaan itu wajib dikerjakan agar misi kasih Allah terwujud di dunia ini maka dari itu sebelum dia memulai missiNya maka dia akan memilih murid-muridNya, dan bukan Dia tidak sanggup melakukan pekerjaan itu, namun untuk membentuk pilihannya agar memahami bagaimana besarnya arti dari kehadiran sesamanya di tengah-tengahnya. Maka Yesus awalnya ingin menguji keterbukaan para nelayan itu, gimana mereka sudah semalam malaman bekerja namun tidak ada mendapatkan hasil, gagal total hanya kerja letih, kerja keras namun tanpa memperoleh seekor ikan pun. Maka disini Yesus ingin menunjukkan bahwa bekerja keras itu belum tentu berhasil tanpa mendengarkan pesuruhan/perkataan Tuhan Yesus. Yesus menyuruh Simon: bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan, Simon menjawab : Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena engkau menyuruhNya, aku akan menyebarkan jala juga. Mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai robek (Lukas 5 : 5 - 6) disini kita melihat bahwa bekerja dengan mendengarkan apa yang diperintahkan Tuhan Yesus akan mendapatkan hasil yang luar biasa, bahkan hasilnya ikan-ikan yang besar bahkan jalanya hingga robek.

Di dalam kitab Amsal yang merupakan karya raja Salomo, mengingatkan kepada umat Israel dan teks ini merupakan amsal-amsal Salomo. Salomo menegaskan tangan orang rajin memegang kekuasaan, tetapi kemalasan mengakibatkan kerja paksa. Bagi mereka-mereka yang dalam kehidupannya bekerja keras, berarti dia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu, maka bagi mereka akan memegang kekuasaan, artinya kerja keras itu mendapatkan keberhasilan, namun bagi pemalas mendatangkan kerja paksa artinya sepanjang hidupnya ia berhadapan dengan kegagalan, dan berkeluh kesah, dan keputusasaan. Kerja keras itu akan mendatangkan keberhasilan dan keberhasilan itu akan mendatangkan kebahagiaan dan kebahagiaan akan membuat orang lain juga ikut merasakan apa yang dihasilkan oleh mereka yang sudah menuai titik bagi orang beriman kita dituntut untuk terus bekerja keras, dan tidak ada tempat bagi si pemalas, sebab bagi pemalas tidak akan menangkap buruannya, artinya tidak akan mendatangkan keberhasilan. Dan bagi orang yang rajin akan memperoleh harta yang berharga.

3.     Renungan

Kegigihan membawa berkah, hal inilah mengingatkan kita semua agar bekerja dengan sungguh-sungguh, semasih ada kesempatan kita mengerjakan pekerjaan yang berkenan bagi Tuhan.

a.  Kita bekerja harus disiplin, sebagai manusia kalau kita mengerjakan pekerjaan tanpa disiplin mustahil kita akan berhasil, kerja karena pekerjaan tanpa menunda-nunda.

b.  Berintegritas, mengerjakan pekerjaan dengan memegang teguh prinsip moral yang baik, jangan kerjakan pekerjaan yang bukan mendatangkan kebahagiaan.

c.   Memiliki profesionalisme kerja. Mengerjakan pekerjaan dengan serius dan tanggung jawab pekerjaan itu adalah bagian dalam hidup.

d.  Dapat diandalkan, setiap pekerjaan yang kita kerjakan maka dapat diandalkan untuk mendatangkan hasil.

e.  Bertanggung jawab. Mengerjakan pekerjaan itu jangan cepat mengolah bila belum berhasil, dan teruslah kerjakan pekerjaan yang sudah dirancang dengan baik, gagal merupakan pintu sukses.

f.   Berharap untuk jauh lebih maju. Pekerjaan itu dikerjakan dengan suatu harapan ada hasil kedepan.

4.     Etos kerja menurut Jansen Sinamo

1.      Kerja adalah amanah aku/kita bekerja tulus penuh syukur.

2.      Kerja adalah Rahmat : aku/kita bekerja penuh tanggung jawab.

3.      Kerja adalah panggilan : aku/kita bekerja tutus penuh integritas

4.      Kerja adalah aktualisasi : aku/kita bekerja keras penuh semangat

5.      Kerja adalah ibadah : Aku/kita bekerja penuh kecintaan

6.      Kerja adalah seni : aku/kita pekerja penuh kreativitas

7.      Kerja adalah kehormatan : aku/kita bekerja penuh dengan keunggulan

8.      Kerja adalah pelayanan: aku/kita bekerja penuh kerendahan hati

Pdt Andarias Brahaman

Ketua Klasis Jakarta Kalimantan 

Khotbah Minggu Tgl 06 Juni 2021 ; Maskus 3 : 20-35

Invocatio    : “Sungguh alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun” (Mazmur 133:1)

Bacaan       : Kejadian 50:17-21

Khotbah     : MARKUS 3:20-35

Tema          : BERSAUDARA DI DALAM TUHAN (Ersenina Erturang I Bas Tuhan)

Pendahuluan                          

Minggu sesudah Trinitatis umumnya dikenal sebagai "Minggu-minggu Biasa" (Ordinary Time Sundays). Minggu Sesudah Trinitatis ini berjumlah 25 minggu, diletakkan dalam penanggalan setelah Minggu Trinitas hingga sebelum memasuki Minggu Akhir Tahun Gereja. Tema-tema yang diangkat dalam Minggu Sesudah Trinitatis mencakup tema keseharian hidup jemaat, pergumulan hidup gereja dan dunia. Tugas-tugas pelayanan dan missi gereja di tengah dunia menjadi sentral pemberitaan di minggu-minggu ini.

Minggu ini disebut sebagai minggu UEM. Minggu yang merayakan persekutuan gereja kita yang tergabung dalam anggota UEM (United Evangelical Mission) yang berpusat di Jerman. UEM (dulu VEM) berdiri di Jerman di abad ke-18 sebagai cikal bakal RMG yang mengutus penginjil-penginjilnya ke Indonesia untuk mendirikan gereja-gereja Lutheran (mis. HKBP, HKI, GKPI, GKPS, GKE). Meskipun gereja kita GBKP beraliran Calvinis, tetapi di tahun 1962 kita juga menerima penginjil utusan UEM dan mulai bergabung dalam pelayanan UEM. Kerjasama inilah yang membangun berdirinya Zentrum GBKP, Alfa Omega, KWK, dan pelayanan-pelayanan di bidang kesehatan.

UEM bersifat global dan bekerja secara lokal di Afrika, Asia dan Jerman. Sejak berdiri hingga kini, UEM sangat peduli pada upaya penginjilan yang diikuti dengan tugas-tugas sosial. Memberi kesaksian tentang pesan perdamaian Bapa dengan semua umat manusia melalui anakNya Yesus Kristus dan bekerja untuk keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan, itulah yang menjadi misi UEM sekaligus yang menjadi spirit kita dalam menghayati minggu UEM ini.

Pembahasan Teks

Dianggap ‘tidak waras’ atau ‘aneh’ bahkan sampai difitnah karena melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan umum memang tidak menyenangkan. Apalagi kita melakukannya dengan kesadaran penuh, bahwa hal tersebut adalah tindakan yang baik dan benar. Inilah yang dialami Yesus menurut teks khotbah kita Markus 3:20-35. Ajaran Yesus selalu menimbulkan kontroversi bagi sejumlah kelompok. Pertama, keluarga Yesus yang berpikir Dia sudah terlalu lelah dan terganggu jiwaNya (ay. 21). Kedua, ahli-ahli Taurat menuduh Yesus mengusir roh-roh jahat dengan menggunakan kuasa dari “penguasa roh-roh jahat” itu, dan mereka juga menuduh Yesus, bahwa Dia “kerasukan roh jahat” (ay. 22,30). Mereka mengatakan bahwa Yesus kerasukan Beelzebul. Beelzebul dalam bahasa Yunani Βεελζεβουλ dan dalam bahasa Aram yang dihubungkan dengan bahasa Ibrani בַּעַל זְבוּב - Ba'al Zevuv yang berarti בַּעַל – Baal artinya tuan dan זְבוּב – Zevuv artinya lalat. Beelzebul secara harfiah artinya "majikan/tuan dari lalat"  dan ini merupakan ilah orang Filistin yang disembah di kota Ekron dalam Perjanjian Lama.

Bisa kita bayangkan bagaimana sulitnya situasi Yesus saat itu ketika orang-orang terpandang dalam masyarakat dan institusi agama menyatakan hal sedemikian rupa, menyampaikan fitnah yang keji. Namun, Yesus tidak gentar. Dia tahu apa yang sedang dilakukanNya. MisiNya sangat jelas, mewartakan Allah yang adalah Kasih.

Yesus menyingkapkan ketidakbenaran tuduhan para ahli Taurat itu dengan sebuah pertanyaan akal-sehat (logis): “Bagaimana Iblis dapat mengusir Iblis?” (ay. 23, lanjut sampai ay. 26). Karena kecemburuan atau sikap merasa paling benar, para ahli Taurat itu menjadi buta terhadap kebenaran. Melalui pengusiran roh-roh jahat dan penyembuhan orang-orang sakit Yesus sebenarnya sedang melakukan penghancuran Kerajaan Iblis, bukan membangunnya. Mereka seolah tidak menyadari bahwa pengusiran roh-roh jahat ini menjadi salah satu tanda datangnya Kerajaan Allah. Secara implisit Yesus sebenarnya mengatakan bahwa Dia telah datang untuk membangun Kerajaan Allah dengan pertama-tama menjarah rumah dari si “orang kuat” (ay. 27).

Yesus menegaskan bahwa dengan menuduh diriNya mengusir roh jahat dengan kuasa penghulu setan, para ahli Taurat itu telah melakukan penghujatan terhadap Roh Kudus, dan itu suatu dosa yang tidak terampuni selamanya, “Siapa saja yang menghujat Roh Kudus tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena berbuat dosa yang kekal” (ay. 29). Yesus sedang memperingatkan para pemimpin/pemuka agama Yahudi yang menyatakan karya penyelamatan Allah sebagai pekerjaan si Iblis. Mereka memutarbalikkan kebenaran, menolak karunia keselamatan Allah dan menempatkan orang-orang dalam posisi berisiko juga.

Di akhir perikop ini diceritakan, sementara Yesus masih terlibat dalam perdebatan dengan para ahli Taurat, ibu dan saudara-saudara Yesus datang dan memanggil Dia. Rupanya mereka telah berjalan dari Nazaret untuk membawaNya pulang agar memperoleh istirahat dan kesembuhan yang mereka kira diperlukan olehNya. Akan tetapi, Yesus menggunakan peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan pentingnya memiliki hubungan rohani dengan diriNya.

Lalu ada orang banyak duduk mengelilingi Dia, berkata kepadaNya, “Lihat, ibu dan saudara-saudaraMu ada di luar dan berusaha menemui Engkau.” Tetapi jawab Jesus kepada mereka, “Siapa ibuKu dan siapa saudara-saudaraKu?” IA melihat kepada orang-orang yang duduk di sekelilingNya dan berkata, “Ini ibuKu dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah ibuKu” (ay. 32-35).

“Siapa ibuKu? Siapa saudara-saudaraKu?” Mengapa Yesus mengajukan pertanyaan seperti ini? Tentu saja Dia mengenal para anggota keluarganya. Namun, Dia ingin menyampaikan sebuah pesan penting, bahwa menjadi anggota keluarga Allah tidak ada urusannya dengan hubungan darah dan sepenuhnya berurusan dengan pertobatan, iman, dan ketaatan kepadaNya dari hari ke hari. Menjadi keluarga Allah itu terlihat dengan melaksanakan kehendak Allah, dan ketaatan semacam itu diawali dengan mendengar, mempercayai dan mengikuti Anak Allah. Yesus berkata kepada orang banyak di sekelilingNya, “Ini ibu-Ku dan saudara-saudaraKu! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.”

Bacaan pertama Kitab Kejadian 50:17-21 menceritakan tentang Yusuf yang menghiburkan hati saudara-saudaraNya yang pada saat itu ketakutan karena Bapa mereka Yakub sudah mati, dan saudara-saudaranya berpikir itu menjadi kesempatan bagi Yusuf untuk membalas dendam. Karena ulah saudara-saudaranya, Yusuf menderita menjadi budak dan dipenjara selama tiga belas tahun. Namun, Yusuf tidak mendendam, ia memperlakukan saudara-saudaranya dengan sangat baik. Ia meminta mereka untuk tidak takut. Bahkan, Yusuf menyatakan akan menanggung makanan dan merawat anak-anak mereka (ay. 21). Mengapa Yusuf dapat bersikap begitu pengertian dan murah hati kepada saudara-saudaranya? Karena Yusuf sadar bahwa di balik semua kejadian itu, ada rencana baik Allah, yaitu untuk memelihara suatu bangsa yang besar (ay. 20). Yusuf memahami bahwa saudara-saudaranya adalah alat Tuhan untuk membawanya datang ke Mesir (bdk. 45:5-8). Demikianlah Yusuf menghibur dan menenangkan hati saudara-saudaranya.

KESIMPULAN

Teks khotbah kita menunjukkan sikap dari keluarga dan juga musuh-musuh Yesus terhadap diriNya. Kedua kelompok ini keliru memahami Yesus, sehingga mengakibatkan kaum keluargaNya secara berlebihan mencemaskan kesehatanNya, sedangkan para musuhNya melemparkan berbagai tuduhan kejam terhadap diriNya. Walau demikian Yesus tetap dengan hati tenang dan bijaksana menghadapi semuanya. Bahkan peristiwa ini Yesus pakai sebagai kesempatan untuk memberitakan Kabar Baik. Terkhusus tentang status keillahianNya dan tentang Kerajaan Allah.

Yesus tidak bermaksud untuk tidak mengakui keluargaNya di tempat umum. Ini bukan berarti Yesus tidak menghormati dan tidak mengasihi ibuNya atau saudara-saudaraNya. Tetapi Dia mau menegaskan bahwa pribadiNya adalah milik semua orang percaya yang mau melakukan kehendak Bapa. Yesus sedang berbicara tentang konteks Kerajaan Allah.  Relasi manusia dengan Allah rusak oleh karena dosa (bdk. Kej. 3:10). Tetapi, kita semua sudah diikat dalam satu persaudaraan karena iman akan Yesus Kristus. ”Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu jauh, sudah menjadi dekat oleh darah Kristus” (Efesus 2:13).

“Dalam Yesus kita bersaudara…. sekarang dan selamanya.” Kita tentu ingat bahwa lagu ini sangat populer terutama untuk kalangan anak-anak di sekolah minggu, syairnya sama dan diulang-ulang. Lagu ini mengingatkan kita akan khotbah kita pada saat ini yang pada intinya berbicara tentang persaudaraan sejati: “Siapa pun yang melakukan Kehendak BapaKu di Sorga, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah IbuKu.” Makna persaudaraan ini melampaui ikatan-ikatan kekeluargaan, ras, budaya dan agama. Dan inilah yang kita rayakan dalam Minggu UEM.

Minggu ini kita merayakan persekutuan gereja kita yang tergabung dalam anggota UEM (United Evangelical Mission) yang berpusat di Jerman. Kebenaran firman Tuhan mengatakan bahwa bagi orang-orang  yang percaya kepada Yesus maka mereka adalah keluarga Kristus. UEM adalah satu keluarga. Walaupun kita berasal dari denominasi Gereja yang berbeda-beda, aliran dan doktrin yang berbeda, juga daerah atau negara yang berbeda, tetapi kita bersaudara di dalam Tuhan (Tema Khotbah). Kemajemukan dan perbedaan tidak membuat kita terpecah dan tidak saling mengerti, tetapi kita saling melengkapi, Kasih Kristus yang mempersatukan kita.

Kemajemukan jangan sampai membuat kita berlaku dan bersikap menjadi ahli-ahli Taurat “zaman now” yang menganggap ajaran Gereja lain salah, sesat atau paling parahnya kita anggap berasal dari roh jahat. Dan kalau pun ada perbedaan yang tidak terhindari menyebabkan terjadi konflik, mari belajar dari sikap Yusuf kepada saudara-saudaraNya, ada pengampunan dan pemahaman bahwa tindakan saudara-saudaranya juga bagian dari rancangan dahsyat Tuhan untuk mendatangkan kebaikan. Sehingga boleh tercapai seperti Firman Tuhan sampaikan dalam Mazmur 133:1 “Sungguh alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun.”

Menjadi berkat bagi bangsa-bangsa adalah tugas yang mulia dan sesungguhnya menjadi tugas utama gereja. Seperti yang telah dilayankan oleh UEM selama ini, gereja perlu bergumul untuk melakukan teladan Kristus yang telah ditunjukkanNya selama pelayanan di dunia ini. Gereja bukan untuk dirinya sendiri, Gereja jangan bersifak egois yang mengganggap kelompok atau golongannya yang paling benar, tetapi Gereja harus senantiasa memiliki kerinduan untuk memuliakan Allah secara bersama-sama. Gereja perlu memikirkan tentang apa yang diharapkan Allah dari Gereja demi bangsa-bangsa. Gereja perlu bertindak dalam upaya-upaya mewujudkan harmoni demi bangsa-bangsa. Gereja bertugas membawa masyarakat dunia mengenal Allah dan memuliakan Dia.

Selamat Hari Minggu.

Selamat menghidupi Minggu UEM.

Pdt. Melda Tarigan

GBKP RG. PONTIANAK

Info Kontak

GBKP Klasis Jakarta - Kalimantan
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate