Khotbah Minggu Tgl 20 Juni 2021 ; Pengkhotbah 10 : 10-15
MINGGU PENDIDIKAN
Invocatio : “Tangan-Mu telah menjadikan aku dan membentuk aku, berilah aku pengertin, supaya aku dapat belajar perintah-perintah-Mu. (Mazmur 119:73)
Bacaan : Timotius 4:1-4
Khotbah : Pengkhotbah 10:10-15
Thema : “Mendalami Hikmat” (B.Karo: “Mpebagesi Kepentaren)
I. Pendahuluan
Dalam dunia masa kini, hikmat sering kali dianggap sebagai sesuatu yang kuno, kata yang berasal dari masa lalu yang lebih sederhana. Pepatah sering dipandang ketinggalan zaman. Kita pun meragukan relevansi dan manfaatnya di tengah dunia yang rumit dan teknis. Saat ini, hanya sedikit orang yang menjadikan hikmat secara serius sebagai sebuah tujuan pendidikan. Cukup sering sekarang, hikmat dipandang sebagai sebuah eufemisme untuk sesuatu yang pelik, atau paling baik, cukup diidam-idamkan tetapi seperti tidak dapat digapai. Sepertinya, hikmat dianggap sebagai sesuatu yang tersisa dari masa lalu atau cara primitif yang sebelumnya tertinggal ketika kemajuan dan modernitas datang, atau dengan kata lain juga dipandang sebagai “Zaman Baru”. Hal yang paling khas dari hikmat ada pada kualitas pendidikan atau pedagogisnya. Dimensi hikmat biblika ini jarang diperhatikan oleh para pendidik, demikian juga oleh para pakar biblika. Salah satu tanggung jawab utama pendidikan kontemporer adalah tendensinya untuk menjadi sebuah rangkaian keahlian khusus yang terisolasi, yang tampaknya hanya sedikit berperan dalam pembelajaran akan bagaimana seseorang menjalani kehidupannya sehari-hari di dunia nyata.
Kata “hikmat” sering kali mengacu kepada teks-teks alkitabiah seperti Amsal, Ayub, dan Pengkhotbah karena hikmat lebih sering muncul dalam ketiga kitab ini dibandingkan kitab-kitab lain di seluruh Alkitab Ibrani. Dalam literatur alkitabiah, kata hikmat sering kali mengacu kepada kualitas atau kemampuan seorang manusia. Kata Ibrani hokmah (hikmat) berarti pengetahuan sekaligus kemampuan penalaran untuk mengaplikasikannya dan dapat diterapkan kepada manusia, kegiatan, kepentingan dari kegiatan tersebut, atau bahkan kondisi saat menggunakannya. Dengan demikian, hikmat tidak terbatas hanya kepada manusia, karena manusia dapat belajar menjadi bijak dengan mempelajari mahkluk lain yang “bijak”.
II. Isi
Bahan invocatio kita Mazmur 119:73 berbicara mengenai pemazmur berdiri di hadapan Khalik dan meminta pengertian dari padaNya (bnd. Ul. 32:6). Ia sadar bahwa Allah memberikan keputusan hukum yang adil, sekalipun ia merasa tertinda karenanya; namun juga menyadari bahwa ia aman dan Tuhan tetap menunjukkan kasih setiaNya (sifat yang memungkinkan persekutuan antar orang dewasa) dan rahmatNya (sifat orangtua kepada anak kecil yang disayanginya).
Bahan bacaan kita 2 Timotius 4:1-4, dalam perikop ini untuk terakhir dalam surat yang kedua ini Paulus memberikan perintah kepada Timotius untuk sungguh-sungguh melakukan tugasnya. Perintah ini ditulis Paulus dengan serius, karena Paulus menyadari bahwa ia sebentar lagi akan mati dan ini merupakan kesempatan terakhir untuk memberikan peringatan kepada Timotius. Paulus dalam surat 1 Timotius dan 2 Timotius menyebut Allah dan Kristus sebagai saksi pada saat memberikan pesan kepada Timotius (di hadapan Allah dan Kristus Yesus … aku berpesan kepadamu) itu menandai bahwa apa yang ia sampaikan amat penting. Begitu juga dalam bahan bacaan diayat pertama ini. Hanya saja kata-kata yang ia pakai sekarang lebih serius (dengan sungguh-sungguh) dan bobot perintah yang menyusul diayat yang kedua lebih berat. Kata-kata dalam ayat yang pertama bahan bacaan ini dengan sengaja dibubuhkan dan mengandung peringatan bagi Timotius, bahwa pada akhir zaman ia harus mempertanggungjawapkan penyelesaian tugasnya di hadapan Hakim yang akan datang. Dalam ayat yang kedua Timotius harus memberitakan firman dan inilah tugasnya yang utama. Karena Allah akan menghakimi semua orang sesuai dengan Injil, maka orang-orang itu perlu mendengar Injil dan bertobat. Timotius dan setiap penginjil harus siap memberitakan Injil pada segala waktu. Tak jadi soal, apakah waktu itu tepat atau tidak tepat waktunya. Seorang penginjil harus memberitakan Injil tanpa membuang waktu. Tak cukup juga bagi Timotius hanya memberitakan Injil. Ia juga harus melawan ajaran sesat, karena ajaran sesat itu akan memalsukan Injil dan meracuni jiwa manusia. Harus menegur apa yang tidak benar pada kelakuan hidup manusia, tidak boleh dibiarkan, melainkan orang itu harus ditegor, supaya ia bertobat dan tidak binasa. Dan harus menasihati agar menunjukkan jalan hidup baru bagi orang itu. Timotius memang harus sabar mengajari orang, tapi kesabaran itu tidak boleh membawa dia kepada kelengahan. Dalam bahan bacaan kita ayat yang ketiga Paulus memberi keterangan, mengapa Timotius tidak boleh membuang waktu, tetapi siap sedia memberitakan Injil, baik atau tidak baik waktunya. Karena pada akhir zaman akan timbul roh penyesat dan kemerosotan moral, yang menjadikan orang tidak suka mendengarkan Injil, karena Injil mengandung kritik terhadap sikap dan kelakuan hidup mereka. Mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendak mereka. Guru-guru itu memberikan ajaran yang tidak berbobot. Untuk memuaskan keinginan dan telinganya, orang-orang hanya mau mendengarkan apa yang menyenangkan mereka: yang tidak mengandung kritik, yang memberikan hal-hal baru dan yang menarik. Oleh karena mereka tidak suka lagi mendengarkan kebenaran Injil, mereka hanya terbuka untuk dongeng-dongeng, yang menawarkan unsur-unsur keselamatan baru tetapi sebenarnya kosong dan merupakan penipuan diri.
Bahan khotbah kita Pengkhotbah 10:10-15, dalam bagian ini, kembali terlihat ciri khas dari pengkhotbah sebagai seorang guru kebijaksanaan. Banyak orang yang datang kepadanya lalu duduk di atas permadani (sebab orang Yahudi tidak biasa duduk di kursi), dan bebas menanyakan segala sesuatu mengenai masalah-masalah kehidupan. Inilah juga yang tampaknya menjadi latar belakang Pengkhotbah pasal 10 yang seolah-olah meloncat-loncat dari satu persoalan ke persoalan lainnya yang mencakup begitu banyak variasi dan masalah. Kemungkinan, itu terjadi karena ia menjawab setiap pertanyaan yang muncul yang tentunya tidak sistematis. Sekalipun demikian, tetap ada satu benang merah atau tema yang mempersatukan seluruh macam variasi persoalan itu. Benang merah itu adalah perbedaan yang tajam antara orang yang berhikmat dan orang yang bodoh yang ingin diperlihatkan oleh Pengkhotbah. Namun, bodoh di sini sekali lagi tidak berhubungan dengan masalah kemampuan intelektual seseorang, tetapi sebagai lawan kata dari hikmat atau bijaksana. Dalam bahan khotbah ini diperlihatkan orang yang bodoh sangat berbahaya sebab ia tidak pernah bisa menilai dirinya sehingga tidak akan bisa maju. Dia tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri karena memang ia selalu menganggap bahwa dirinyalah yang benar seratus persen. Orang seperti itu adalah orang yang paling malang karena bukan hanya tidak bisa maju, melainkan juga mengalami kemunduran. Ayat 12-15 berbicara tentang mulut atau pembicaraan orang bodoh. Jadi, fokus utama pembahasan pada bagian ini adalah tentang orang bodoh. Oleh karena itu, nasihat yang sebenarnya mau diberikan adalah jangan menjadi orang bodoh. Dalam ayat 12 disebutkan perbedaan antara antara orang yang bodoh dan orang yang berhikmat. Menurut Pengkhotbah yang membedakan keduanya adalah perkataannya. Perkataan yang berhikmat menarik, sedangkan perkataan orang bodoh mencelakakan dirinya sendiri. Kalau dikatakan bahwa perkataan orang berhikmat itu menarik, maksudnya adalah perkataan orang berhikmat itu bisa membuat orang lain menghargai atau menghormatinya. Sebenarnya dalam Bahasa Ibrani, kata menarik di sini artinya penuh dengan kebaikan atau kemurahan hati. Jadi orang yang bijaksana adalah orang yang perkataannya itu penuh dengan kebaikan. Perkataan yang tidak pernah dimaksudkan untuk menghina, merendahkan, mempermalukan, mengecam, dan menghancurkan orang lain. Jadi, kalau ada orang yang dalam pembicaraannya selalu ingin menyalahkan dan merendahkan orang lain, serta hanya membanggakan dirinya sendiri, ini jelas bukanlah orang yang berhikmat, melainkan orang yang bodoh atau tidak bijaksana. Perkataan orang bodoh hanya akan menjadi bumerang yang mencelakakan dirinya sendiri. Dengan perkataannya, dia menyakiti orang lain dan membuat orang lain tidak menyukainya. Lalu, orang akan menghindari dan membencinya. Jadi, kalau kita ingin menjadi orang yang bijaksana, perhatikanlah perkataan kita. Berpikirlah dahulu baik-baik sebelum kita berbicara atau sebelum kita mengeluarkan perkataan. Ingatlah bahwa perkataan itu bisa jauh lebih menusuk, melukai, dan menyakiti daripada pedang yang tajam. Ayat 14, Pengkhotbah membicarakan tentang ciri-ciri lain dari kebodohan atau ketidakbijaksanaan itu. Dalam ayat 14, ia mengatakan orang yang tidak bijaksana adalah orang yang banyak bicaranya, meskipun sebenarnya ia tidak tahu apa-apa. Orang yang tidak tahu apa-apa biasanya menjadi orang yang sok tahu dan banyak bicara. Orang yang seperti itu tidak pernah tahu kapan ia harus diam. Mereka terus-menerus bicara dan tidak mau mendengarkan orang lain. Itu membuat orang lain menjadi lelah dan bosan. Karena itu, kita harus ingat apa yang dikatakan Pengkhotbah 3 bahwa ada waktunya berbicara, tetapi juga ada waktunya mendengarkan. Dalam ayat 15 dijelaskan orang yang tidak bijaksana itu sering melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Mungkin orang itu bisa terlihat sibuk atau lelah, tetapi sebenarnya tidak ada satupun hal berarti yang dilakukannya, selain melelahkan dirinya sendiri. Dia tidak tahu tentang tujuan dari setiap hal yang dilakukannya. Ungkapan dalam ayat 15 ini kemungkinan berasal dari peribahasa orang Yahudi yang ingin menyatakan tentang seseorang yang mengerjakan segala sesuatu secara salah. Itu diibaratkan dengan orang yang tidak tahu jalan ke kotanya sendiri. Dia tidak tahu bagaimana keadaan kotanya atau rumahnya sendiri. Apabila orang tidak pernah tahu dan menyadari keterbatasannya sendiri, ia akan melakukan segala sesuatu secara salah. Sebaliknya, orang yang bijaksana itu justru adalah orang yang tahu kelemahan, keterbatasan, dan ketidaktahuannya, serta mau mengakuinya. Dalam Alkitab, ada dua sikap yang sangat penting yang sering dianjurkan untuk diteladani. Mengetahui kekurangan dan keterbatasan diri sendiri sehingga bisa selalu rendah hati. Menyadari talenta atau karunia yang Tuhan berikan supaya tidak rendah diri. Dua hal ini perlu kita lakukan secara seimbang sebab hanya mengakui keterbatasan saja akan membuat seseorang tidak mampu mensyukuri berkat Tuhan. Sebaliknya, hanya menyadari talenta saja, hanya akan membuat seseorang menjadi tinggi hati.
III. Refleksi
Belajar adalah proses di mana orang mengubah pandangan tentang dirinya dan tentang lingkungannya, begitu kata teori Persepsi. Belajar adalah mengkondisikan perilaku dengan dorongan dari lingkungan, begitu kata teori Behavioristik. Belajar adalah rekonstruksi mental atau melihat ulang segala sesuatu dengan konfigurasi yang berbeda, begitu kata teori Gestalt. Belajar adalah memandang arti dan peristiwa sedemikian rupa sehingga menimbulkan arti yang baru dan hubungan yang baru, begitu kata teori Eksistensial. Belajar adalah proses di mana orang mengidentikkan diri atau menirukan perilaku pendudukm begitu kata teori Perkembangan. Apa persamaan antara semua definisi itu? Semua rumusan itu menyiratkan terjadinya perubahan pada waktu orang belajar. Belajar adalah berubah. Apanya yang berubah? Ada tiga hal yang berubah. Pertama, belajar adalah mengubah pikiran. Kita mengubah pikiran dengan jalan menambah, menganalisis, menilai, menata ulang dan mengaplikasi informasi yang ada di pikiran kita. Kedua, belajar adalah mengubah perasaan. Yang dimaksud dengan perasaan di sini bukanlah emosi atau impulse melainkan sikap atau nilai-nilai hidup yang kita anut. Belajar adalah mengubah sikap atau keengganan kita tentang gagasan, orang, benda, dan keadaan. Belajar adalah mengubah komitmen kita pada nilai-nilai hidup. Ketiga, belajar adalah mengubah perilaku. Belajar adalah mengubah tindakan, cara kerja, gaya hidup dan praktik hidup kita. Jadi, belajar adalah mengubah diri menjadi manusia yang lain dan baru.
Sering kali kita mengira bahwa belajar hanya berarti menambah pengetahuan, dari belum tahu menjadi sudah tahu atau dari sudah tahu menjadi lebih tahu. Memang itu belajar, namun dalam arti yang sempit. Dalam arti yang sempit itu kita belajar untuk hidup, sama seperti burung yang belajar terbang. Dalam arti sempit ini belajar hanya bertujuan mendapat ijazah atau gelar. Belajar hanya bertujuan menaiki anak tangga masyarakat yang lebih tinggi. Belajar hanya bertujuan mencari karir, gengsi, kedudukan, kekuasaan atau kekayaan. Dalam arti sempit ini belajar hanya terjadi sekian tahun. Begitu tujuan tercapai orang berhenti belajar. Begitu berhenti sekolah, orang berhenti baca buku.
Akan tetapi, untunglah belajar juga mempunyai arti yang luas. Dalam arti yang luas, belajar adalah mengembangkan mutu pemahaman dan sikap hidup terhadap diri sendiri, orang lain, alam, benda, kehidupan serta kematian dan tentunya juga terhadap Pencipta semua itu. Dalam arti luas ini, kita hidup untuk belajar. Dalam arti luas ini, belajar tidak ada akhirnya.
Dalam hal mengajar juga ada yang berpikiran sempit ada juga yang berpikiran luas. Mengajar dalam arti sempit adalah memberi pengetahuan. Tetapi dalam arti luas mengajar adalah menolong orang bertumbuh dalam pemahaman dan nilai-nilai hidup. Mengajar adalah menabur benih nilai-nilai hidup.
Kita belajar untuk hidup. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa kita hidup untuk belajar. Sebab kalau kita hanya belajar untuk hidup, maka apa bedanya kita dengan anak burung yang belajar terbang supaya bisa hidup. Arti belajar dan arti hidup menjadi dangkal. Karena itu, kita perlu tahap berikutnya, yaitu hidup untuk belajar. Belajar rupa-rupa hal. Belajar tahu diri dan mengenal diri. Belajar tahu apa kekuatan kita lalu menjadikan kekuatan itu berkat bagi banyak orang. Belajar tahu apa kelemahan kita lalu memperbaikinya. Belajar mengenal orang lain. Belajar menerima orang lain sebagaimana dia adanya, menempatkan diri pada perasaannya, mengagumi keunggulannya dan memaklumi kelemahannya. Belajar berterima kasih atas pemberian dan pertolongannya biar bagaimanapun kecilnya. Belajar menghadapi kesulitan sebab jalan hidup ini tidak selalu datar dan mulus, melainkan turun naik, mendung dan cerah, penuh tantangan dan persoalan. Belajar jujur. Sebab hidup ini ibarat permainan atau pertandingan yang pada akhirnya diukur bukan dengan menang atau kalah, melainkan dengan ukuran bagaimana cara kita memainkan pertandingan itu. Belajar bijak, mengatur waktu, menjaga kesehatan, bertanggung jawab, membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, menyuruh diri sendiri dan melarang diri sendiri. Belajar sabar, mengalah, memaafkan dan menerima keadaan. Belajar berprakarsa, memanfaatkan kesempatan bahkan menciptakan kesempatan, bekerja keras, ulet, tangguh, tahan bantingan, hemat, rajin, dan tekun; sebab perbandingan orang jenius adalah 1% inspirasi banding 99% transpirasi alias peras keringat. Belajar berjiwa besar, menghargai perbedaan, mengagumi yang berhasil, memuji yang berprestasi, membela yang kecil dan lemah, melindungi minoritas dan mengikutsertakan kaum pinggiran. Belajar menjaga keseimbangan dan keutuhan antara kesibukan dan keteduhan, antara banting tulang dan tidur nyenyak, antara urusan vertikal dan horizontal, antara mengatur diri dan mempercayakan diri. Juga antara iman dan ilmu, sebab iman tanpa ilmu adalah picik sedangkan ilmu tanpa iman adalah pincang. Hidup itu belajar. Selama Tuhan masih memberi hidup, selama itu kita masih diberi kesempatan belajar. Belajar rupa-rupa hal. Belajar setiap hari. Hidup itu belajar.
Pdt. Andreas Pranata Meliala, S.Th
GBKP Rg. Cibinong