Khotbah Minggu Tgl 09 September 2019 : Epesus 4 : 25-32

(MINGGU PENINGKATAN EKONOMI JEMAAT)

 

Invocatio : “Berkat TUHANlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya.” (Amsal 10:22)

Khotbah       : Epesus 4: 25-32

Tema            : “BEKERJALAH DENGAN BAIK”

Sesuai dengan tema tahun ini “Meningkatkan Jiwa Kewirausahaan Warga GBKP dalam Bidang Ekonomi serta Kepedulian Terhadap Kesehatan dan Lingkungan”, dalam bimbingan PJJ dan PA kita terus didorong untuk lebih kreatif dan terus meningkatkan kualitas diri kita. Dengan demikian diharapkan dalam pelayanan dan pekerjaan ada kemajuan. Pekerjaan yang sudah ada, dilakukan dengan lebih baik, lebih berkualitas. Ada yang sudah memulai usaha sampingan dengan tujuan menopang keuangan keluarga atau sekedar pengembangan hobi. Dalam Minggu Peningkatan Ekonomi Jemaat ini kita kembali diingatkan dasar teologis dari semua pekerjaan yang kita lakukan.

Penjelasan Teks

Invocatio Amsal 10: 22

Amsal termasuk kitab hikmat. Ada banyak nasehat siap pakai di dalamnya. Bagaimana dengan Amsal 10:22? Benarkah “Berkat TUHANlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya.”? Bukankah pengajaran ini bisa disalahartikan orang sebagai pengajaran untuk tidak usah bersusah payah, tidak usah bekerja keras, karena toh tidak akan membuat kaya. Ini tentu penalaran yang tidak tepat. Amsal ini tidak bertujuan membuat orang menjadi malas. Penekanannya adalah motivasi dalam bekerja atau bersusah payah. Kalau manusia hanya bekerja keras untuk menjadi kaya, ia sudah mengesampingkan Tuhan. Segala yang dikerjakan semata-mata demi uang, maka ia sudah menjadi hamba uang. Ini motivasi yang keliru, karena bisa membuat orang menghalalkan segala cara demi mendapat uang dan menjadi kaya. Kemudian dia akan memegahkan diri dengan pengakuan bahwa semua kekayaannya berasal dari kerja kerasnya sendiri. Maka Amsal menegaskan, bukan kehebatan manusia, tapi berkat Tuhan yang menjadikan pekerjaan itu memberi hasil yang baik.

Bacaan Yeremia 17: 5-13

·         Perkataan Tuhan melalui nabi Yeremia ini membandingkan dua cara hidup umat yang bertolak belakang. Yang mengandalkan manusia dan yang mengandalkan Tuhan. Yang mengandalkan manusia, atau dirinya sendiri akan berujung pada kekecewaan dan pasti pengharapan itu akan lenyap. Sebaliknya yang mengandalkan Tuhan akan seperti pohon yang tidak berhenti menghasilkan buah.

·         Kejujuran adalah faktor yang sangat penting, Tuhan menyelidiki hati dan menguji batin. Seperti ayam hutan mengerami yang tidak ditelurkannya, setelah telur menetas anak itu akan pergi meninggalkannya. Demikian pula orang yang melakukan pekerjaan yang tidak halal. Harta kekayaan yang terkumpul hanya sementara, pada waktunya ia akan kehilangan segalanya.

Khotbah Efesus 4: 25-32

Jemaat di Efesus bukanlah jemaat yang kenal Kristus sejak lahir. Mereka lahir dalam lingkungan yang penuh dosa, hidup dalam dosa tanpa menyadari itu adalah dosa. Maka sejak belajar mengenal Kristus (ayat 20) dan menerima Kristus, mereka harus menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru. Manusia baru yang dibaharui dalam roh dan pikiran (ayat 23). Manusia baru bukan dalam wujud fisik melainkan dari hatinya. Pembaruan itu, menurut Paulus, harus terlihat dalam:

-          Ayat 25: Perkataan yang benar. Orang yang belum mengenal Yesus Kristus, terbiasa mengucapkan dusta dan kebohongan. Setelah hidup dalam Kristus perkataan yang keluar dari mulut orang percaya haruslah kebenaran.

-          Ayat 26-27: Penguasaan diri saat marah. Karakter pemarah bukanlah karakter Kristus, meskipun Alkitab mencatat Yesus pernah marah karena melihat hal yang tidak benar di Bait Allah. Siapapun bisa marah. Siapapun pernah marah. Tapi marah tanpa harus berbuat dosa. Mengutip Aristoteles: “Anybody can be angry. That is easy; but to be angry with the right person, to the right degree, for the right purpose, and in the right way-that is not easy.” Marah kepada orang yang tepat, dengan takaran yang pas, untuk tujuan yang benar dan dengan cara yang benar, tidaklah mudah. Maka kita semua perlu belajar mengelola rasa marah, bukan membiarkan kemarahan itu menguasai kita. Supaya tidak ada kesempatan bagi si Iblis menguasai kita.

-          Ayat 28: Bekerja dengan baik. Orang yang mencuri harus berhenti mencuri. Ia harus mencari pekerjaan yang menghasilkan uang dengan cara yang benar. Lebih dari itu, kalau dulu sebagai pencuri dia tinggal menikmati hasil jerih payah orang lain, setelah bertobat dan mengenal Kristus dia justru harus memberi kepada orang lain. Ia harus membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan, dari hasil pekerjaan tangannya. Inilah salah satu tujuan bekerja yang kadang kita lupakan. Hasil pekerjaan kita digunakan untuk memberkati orang-orang yang berkekurangan, bukan untuk kita sendiri saja.

-          Ayat 29: Perkataan yang membangun. Perkataan yang baik, pada momen yang tepat, akan menjadi penguatan yang membangun bagi yang mendengarnya. Oleh sebab itu haruslah orang-orang percaya memperhatikan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Bukan hanya saat-saat tertentu seperti di gereja, dalam persekutuan, tetapi di mana saja. Termasuk di tempat kerja, kantor, sekolah, pasar, perkataan harus menjadi berkat.

-          Ayat 30-32: Buang kepahitan dan kejahatan, pelihara kasih mesra dan saling mengampuni.

Aplikasi

Ketiga bacaan minggu ini memberi penjelasan bahwa pekerjaan itu adalah dari Tuhan, dikerjakan dengan mengandalkan Tuhan, dan hasilnya untuk memuliakan Tuhan karena jadi berkat bagi sesama.

Dalam buku Institutio Pengajaran Agama Kristen, Yohanes Calvin menulis: “Tuhan menetapkan tugas-tugas bagi setiap orang menurut jalan hidupnya masing-masing. Dan masing-masing jalan hidup itu dinamakan panggilan.” Ini berarti dalam setiap pekerjaan atau profesi, kita harus menyadari pekerjaan itu panggilan Tuhan. Kita terpanggil untuk melakukan yang terbaik, bertanggung jawab, berdedikasi, dan jujur dalam pekerjaan kita. Kalau kita guru, jadilah guru yang berdedikasi, mendidik untuk mencerdaskan, bukan semata-mata mengejar penuhnya jam mengajar demi tunjangan tertentu. Kalau kita pegawai, jadilah pegawai yang mengerjakan bagiannya sesuai fungsinya, bukan sekedar mengisi absensi kehadiran lalu sibuk mengerjakan hal lainnya yang bukan tugas utama. Kalau kita pebisnis, juallah produk atau jasa tanpa unsur menipu pembeli, jangan menjual kebohongan demi keuntungan yang besar. Kalau kita tenaga medis, jadilah tenaga medis yang rindu menolong orang dengan talenta dan ilmu yang ada pada kita, bukan hanya mengejar uang. Baiklah kita semua bekerja keras sebagai ucapan syukur karena Tuhan memberi nafas, kesehatan, dan pekerjaan. Kita kerja keras sebagai pertanggungjawaban kepada Tuhan Sang Pemberi Kehidupan.

Pdt. Yohana br Ginting

GBKP Runggun Samarinda

Khotbah Minggu Tgl 01 September 2019 : Markus 7 : 1-13

Invocatio    : “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dankepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.” (Mazmur  25 : 15)

Khotbah     : Markus  7 : 1 – 13 

Tema         : “Mersaksi Melalui Adat”

Pendahuluan

Saudara-saudari yang terkasih, bersaksi adalah satu dari tiga tugas/ panggilan Tuhan bagi umat percaya (Gereja). Kita senang dan berbangga bahwa umumnya gereja kita cukup semangat dan semarak dalam minggu budaya. Minggu budaya tampil beda dari minggu-minggu lainnya. Dalam minggu budaya liturgos dan pengkhotbah memakai bulang/ tudung dan beka buluh/ uis nipes  atau istilahnya berpakaian lengkap tanpa emas-emas. Sementara jemaat berpakaian adat baik Lansia, Mamre, Moria ras Permata. Mimbar Gereja dan ruangan juga dihias/ didekorasi bernuansa budaya. Tidak ketinggalan alat musik dan musik etnis/ tradisional kita ikut menyemangati ibadah kita. Semua senang dan gembira. Itulah salah satu bentuk dan wujud Gereja yang menghargai adat dan budaya, Gereja yang bersaksi melalui budaya. Namun, apakah hanya dengan begitu saja kita telah bersaksi melalui budaya kita? Apakah cukup hanya dengan pakaian adat, aksesori dan alat musik etnis Karo saja yang namanya bersaksi melalui budaya? Mari kita melihatnya lebih jauh dan lebih dalam lagi.  

ISI

Bukan lahiriah dan formalitas belaka

Para Farisi dan ahli Taurat sengaja datang dari Yerusalem untuk menjumpai Yesus tapi bukan dengan maksud baik. Mereka menolak Yesus sebagai Mesias, Anak Allah oleh karena sebelumnya Yesus meminta mereka untuk menunjukkan iman mereka melalui perbuatan. Berkali-kali sebelumnya mereka mengkritik Yesus karena Ia menunjukkan kepada orang banyak bahwa Ia bisa mengampuni dosa, murid-muridNya tidak berpuasa, Ia memberikan pengertian baru tentang hari Sabat, bahkan menyembuhkan orang lumpuh pada hari Sabat (2:1-3:6). Orang Farisi dan ahli Taurat datang menjumpai Yesus untuk menyalahkan dan menolak Dia. Mereka mencari celah untuk ‘menyerang’ Yesus. Ketika mereka melihat murid Yesus makan dengan tidak mencuci tangan terlebih dahulu maka mereka mengangkat kasus itu sebagai senjata untuk menjatuhkan Yesus. Mereka ‘mendakwa’ Yesus bahwa murid-muridNya telah melanggar adat istiadat nenek moyang mereka. Kita tahu adat pembasuhan sangat penting bagi orang Yahudi. Hal ini diperkuat oleh penemuan arkeologi dimana ada banyak tempat pembasuhan sebagai adat, ritual mereka. Salah satunya yaitu di Qumran. Yesus justru membalikkan tuduhan mereka. Yesus mengkritik balik mereka dengan menyebut mereka sebagai orang munafik. Yesus mengutip firman yang tertulis dalam Yes. 29:13. Orang Farisi cs memuliakan Allah hanya dengan bibirnya saja, tapi hatinya jauh dari Allah. Ajaran mereka hanyalah ajaran manusia saja. Karena itu sia-sia mereka beribadah kepada Allah. Mereka telah mengabaikan perintah Allah dengan berpegang pada adat istiadat manusia.  

Jangan menghakimi dari kulitnya/ penampakan luarnya saja. Inilah yang telah dilakukan orang Farisi dkk terhadap Tuhan Yesus dan muridNya. Mereka menolak Tuhan hanya dengan melihat yang terlihat oleh mata jasmaninya saja. Mereka tidak mampu melihat lebih dari yang terlihat oleh mata. Mereka tidak mampu melihat sampai ke dalam hati. Mereka terlalu berfokus pada yang lahiriah dan formalitas saja. Mereka terlalu memutlakkan adat dan aturan belaka. Adakah gereja kita juga berlaku demikian? Adakah aturan yang adat dan gereja kita sedemikian keras dan ketat sehingga bisa mengabaikan perintah Tuhan? Perhatikan aturan diakonia di runggun kita. Apakah tindakan, perlakuan harus persis sama terhadap anggota yang ada? Perhatikan cokong-cokong di pesta adat Karo khsususnya di Sumatra. Aturan yang tidak tertulis itu telah demikian membebani tamu/ undangan. Contoh lain tentang pembagian harta warisan. Ada anak yang meminta pembagian warisan harus sama. Kalau tidak sama berarti tidak adil. Bukankah pembagian warisan itu didasari dengan kasih? Sudah saatnya kita gereja melihat isi, inti dan hakekat dari satu aturan, adat dan tradisi yaitu untuk saling mengasihi seperti perintah Allah bagi kita. 

Adat istiadat tidak menggantiken firman Allah 

Yesus menegor dengan keras orang Farisi dkk karena mereka telah menggantikan perintah Allah dengan adat istiadat nenek moyang mereka. Melalui jawabNya, Yesus sangat prihatin apabila tafsiran manusia dibiarkan menggantikan firman Tuhan yang adalah sumber otoritas dan kuasa. Adat ada bukan menggantikan perintah Allah, tapi untuk menegaskannya. Adat ada untuk mendukung firman Tuhan, bukan sebaliknya. Adat tidak boleh menggantikan posisi firman Tuhan. Yesus memberi contoh bagaimana orang Farisi cs mengesampingkan firman Tuhan demi adat istiadat. Perintah Allah yang kelima, “Hormatilah ayahmu dan ibumu!” (ayat 7, Kel. 20:12). Selain firman ini ada ayat mengatakan bahwa nazar atau sumpah kepada Allah harus ditepati (Bil. 30:2). Orang Farisi cs telah mengembangkan firman ini dan telah menjadi tradisi. Tradisi tersebut mengatakan bahwa seseorang dapat bersumpah menyatakan bahwa sebagian harta bendanya dia persembahkan kepada Allah. Lebih lanjut adat/ tradisi mengatakan bahwa harta yang telah dipersembahkan tersebut tidak harus diserahkan ke Bait Allah. Harta tersebut tetap di tangan mereka sekalipun telah dinazarkan untuk Allah. Harta yang telah dipersembahkan itu akan diberikan bila dia sudah mati. Sementara mereka masih hidup, harta tersebut boleh mereka pakai dan nikmati. Tetapi ketika orangtuanya butuhndibantu dan didukung secara finansial, mereka bisa mengelak dengan alasan uang tersebut telah disumpahkan untuk dipersembahkan kepada Allah. Mereka menggunakan sumpah mereka bukan untuk menghormati Allah tetapi sebagai cara untuk mengelak dari tanggungjawab mereka menghormati orangtua. Tuhan Yesus mengatakan bahwa Dia dapat memberi banyak contoh lain bagaimana adat dan tradisi mengizinkan orang mengelak dari hukum Allah daripada mematuhinya (ayat 13).       

Dalam hal membuat aturan, undang-undang dan adat orang Farisi jagonya. Dari 10 perintah Allah mereka telah kembangkan menjadi 613 perintah dan aturan. Tetapi banyak sekali akhirnya yang dikembangkan itu yang disebut dengan adat, aturan tradisi telah begitu bersifat legal, procedural dan formalitas. Kita harus begitu berhati-hati dalam menggunakan adat, budaya dan tradisi yang kita punya dalam menyatakan kehendak Allah. Jangan kiranya adat dan tradisi kita menggantikan kebenaran firman Allah. Jadikanlah Alkitab sebagai otoritas tertinggi dan terakhir dalam hidup dan kesaksian kita. Jangan pandai sekali membuat aturan, AD/ ADT kalau itu justru keluar dari perintah Tuhan. 

Adat tidak boleh menggantiken firman dan perintah Tuhan. Ketika adat dipakai untuk menggantikan perintah Allah maka yang ada hanyalah peraturan-peraturan manusia saja. Saat adat menggantiken perintah Tuhan maka adat telah ditempatkan di atas Kristus. Kristuslah justru yang mentransformasi budaya dan tradisi. Dimana budaya ditransformasi, maka budaya itu akan baik, berguna dan mejadi berkat. Itulah yang menyenangkan Tuhan. Tuhan mau kita menyembah dan memuliakan Dia dengan hati kita. 

Bersaksi melalui adat

Kita percaya bahwa segala sesuatu dari Allah, oleh Dia dan kepada Dia. Kita dan adat kita yang baik juga berasal dari Dia. Tuhan memanggil kita semua untuk memuliakan Dia (Roma 11:36). Kita bisa memuliakan Dia dengan memuji-muji Dia bdk Mazmur 150). Pujian kita bisa menjadi kesaksian kita. Dan kita bersaksi melalui adat kita. kita bisa bersaksi melalui falsafah kekaroan kita yaitu merga silima, tutur siwaluh, rakut sitelu dan perkade-kaden 12 tambah sada. Kita bisa beraksi melalui pakaian adat kita, tarian kita, alat musik kita, seni budaya, seni suara dst. Tetapi sudah saatnya bersaksi melalui adat dan budaya yang lebih substansial bukan formalitas dan lahiriah saja. Memakai adat dan budaya, kita untuk menyatakan kasih kepada Allah dan sesama.        

Memakai pakaian adat, bulang-bulang, beka buluh, tudung langge-langge dan uis nipes, rose la eremas-emas di saat minggu budaya itu bagus dan indah. Tetapi akan jauh lebih bagus dan lebih indah bila fisosofi dan pesan dibalik aksessori dan adat yang ada itu kita tunjukkan di dalam hidup berjemaat dan bermasyarakat. Sebagai senina, kita semakin peduli dan mendukung saudara dan keluarga kita. Sebagai kalimbubu, kita semakin memberkati anak beru kita. Dan sebagai anak beru kita menyatakan hormat dan kasih kita kepada kalimbubu kita.

Penutup/ kesimpulan

Gereja yang hidup adalah gereja yang bersaksi. Sebaliknya, gereja yang tidak bersaksi, enggan/ malu bersaksi, dan tidak mau bersaksi adalah gereja yang mati. Panggilan untuk bersaksi tetap berlaku sampai Tuhan Yesus datang kali kedua (bnd Mat. 28:18-19; Mrk. 16:16; Kis. 1:8; 2 Tim. 4:2). Kita dipanggil untuk bersaksi kapan saja dan dimana saja kepada siapa saja. Bersaksi bisa melalui banyak media dan cara. Kita bersaksi melalui adat dan budaya kita. Adat dan budaya kita bisa menjadi sarana dan alat yang efektif untuk menyampakan kehendak Tuhan. Bersaksi melalui budaya kita membuat orang Karo semakin mudah memahami firman Tuhan dan melaksanakannya. Bersaksilah melalui budaya menjangkau jiwa-jiwa yang belum percaya. Bersaksilah baik secara pribadi, keluarga maupun bersama. Kita bersaksi melalui adat kita untuk memuliakan Dia. BagiNyalah kemuliaan dari sekarang sampai selama-lamanya. Amin.

Pdt. Juris Tarigan, MTh; 

GBKP RG Depok – LA

Khotbah Minggu Tgl 25 Agustus 2019 : Matius 17 :14-18

 

Minggu X Kenca Trinitatis/Mamre GBKP

Invocatio      : “Ayah seorang yang benar akan bersorak-sorak; yang memperanakkan orang-orang yang bijak akan bersukacita karena dia.” (Ams. 23:24)

Khotbah        : Matatius 17:14-18 

Tema           : “Bapa yang Pengasih”

Pendahuluan

Setiap orangtua tentunya mengasihi anak-anaknya dengan sangat. Hal ini terlihat bagaimana orangtua berjuang dan berusaha agar seluruh kebutuhan anaknya tercukupi, bahkan semuanya yang diinginkan anaknya dapat diperolehnya. Pertanyaannya apakah dengan memberikan semua yang diinginkan anak adalah baik? Atau cukupkah dengan setiap hari kita berjerih lelah bekerja agar dapat meninggalkan sebidang tanah untuk masa depannya yang baik kelak?

Pembahasan

Injil Matius sarat dengan makna melakukan, yakni melakukan kehendak Bapa. Tidak jarang Yesus menegur/menentang gaya hidup orang-orang Farisi dan guru-guru agama yang sesungguhnya semu (tidak nyata, berpura-pura). Mereka tampil baik, namun sesungguhnya hati mereka jauh dari perbuatan mereka. Padahal iman dan perbuatan itu sejatinya adalah bersama.

Perikop Matius 17:14-18 berbicara tentang seorang laki-laki yang mendapatkan Yesus dan bersujud meminta kepada Yesus agar anaknya yang sedang sakit ayan dan menderita disembuhkan oleh Yesus. Ia juga menyatakan telah membawa anaknya kepada murid-muridNya tapi mereka tidak mampu menyembuhkannya. Setelah menegur murid-muridNya, Yesus menegur anak itu, lalu keluarlah setan daripadanya, sembuhlah ia.

Menarik bahwa dari kisah ini, ditemukan seorang ayah yang mengasihi anaknya. Kasihnya terlihat dari usahanya untuk mendapatkan kesembuhan anaknya. Pada pihak yang lain, kabar Yesus yang semakin cepat berkembang dikarenakan pengajaran dan  mujizat yang IA lakukan. Tentu ayah tersebut berusaha mencari berita, dan menemui murid-murid. Akan tetapi, karena murid-murid tidak dapat menyembuhkan anaknya, ia berusaha menemui Yesus dan menyembahNya agar anaknya memperoleh kesembuhan. Hal ini dilakukannya, karena ia sungguh mengasihi anaknya dan merasakan kesakitan yang dirasakan anak itu – anaknya telah berulang kali masuk ke dalam api dan air. Melalui kisah seorang ayah tersebut, beberapa hal yang dapat diperhatikan bahwa: 1) kasih itu harus terlihat dari yang kita lakukan – bukan semu. 2) ayah yang berempati, merasakan sakit dan penderitaan anaknya, sehingga apapun dilakukannya untuk kesembuhan anaknya.

Demikian pula halnya dengan Ayub, seorang yang jujur dan saleh, takut akan Tuhan, dan seorang yang memiliki kekayaan yang berlimpah. Ia memiliki tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Anak-anaknya biasa melakukan pesta secara bergantian di rumah mereka – makan dan minum bersama. Setiap hari perta telah berlalu, Ayub memanggil anak-anaknya dan menguduskannya, serta keesokan harinya, pagi-pagi Ayub langsung membuat korban bakaran sejumlah anak-anaknya kepada Tuhan – kemungkinan anak-anaknya telah berbuat dosa kepada Tuhan.

Melalui kisah ayub juga kita menemukan seorang ayah yang mengasihi anaknya; 1) Takut akan Tuhan dan tidak mengandalkan kekayaan materi yang ada padanya. 2) senantiasa mengajarkan anak-anaknya; 3) rendah hati dan berhati-hati dalam mendidik anaknya.

Sesuai tema saat ini “Bapa yang Pengasih/penuh kasih”, melalui bahan khotbah dan bacaan ditujukkan bagaimana seharusnya bapa yang penuh kasih, yaitu bapa yang takut akan Tuhan, rela berkorban kepada anaknya, tidak mengutamakan kekayaan kepada anaknya, serta senantiasa mengajarkan takut akan Tuhan kepada anaknya. Inv: Ayah seorang yang benar akan bersorak-sorak; yang memperanakkan orang-orang yang bijak akan bersukacita karena dia. Karena anak yang takut akan Tuhan adalah kebanggan orangtua.

Oleh karena itu, minggu ini merupakan minggu mamre/Bapa (HUT mamre 24 tahun), mengajak semua orangtua, khususnya mamre agar dapat menyatakan  kasih bukan hanya dengan ucapan, tapi dari hati/pikiran, perbuatan, yang terlihat sebagai pengajaran/teladan sehari-hari kepada seluruh anggota keluarga.

Pdt. Iswan Ginting

GBKP Runggun Pondok Gede

Info Kontak

GBKP Klasis Jakarta - Kalimantan
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate