Suplemen PA Moria : Matius 5 : 43-48 ; Tgl 09-15 Mei 2021
Ogen : MATIUS 5:43-48
Tema : TETAP ERKELENG ATE TANDA PASU-PASU
Tujun : Gelah Moria:
1. Meteh maka engkelengi imbang sada bagin erti pasu-pasu
2. Lanai erelem-elem nandangi kalak si lagi ukurna
Ada Pepatah yang mengatakan “Seribu teman kurang, satu musuh terlalu banyak”. Sungguh! Pepatah ini mengingatkan kita agar senantiasa memperbanyak teman, saudara, relasi yang baik dengan semua orang. Dengan satu pemahaman semakin banyak teman, hidup kita pasti lebih tenang, senang, aman, tentram dan damai. Sebaliknya, kendati kita hanya memiliki satu orang musuh, namun hal itu bisa membuat kehidupan kita jadi tidak nyaman. Hati dan jiwa kita tidak tenang dan tidak damai. Karenanya, hindarilah permusuhan.
Musuh harus dikasihi dan didoakan? Demikian salah satu perintah yang disampaikan Yesus dalam KhotbahNya di Bukit. Tidak sedikit mungkin kita yang berkata: ”Yang benar saja, siapa yang sanggup?” Seorang filsuf Jerman, bernama Freidrich Nietzsche, pernah berkata bahwa perintah Yesus itu terlalu idealis, tidak praktis.
Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat mengajarkan kepada orang Yahudi selama ini: ”Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuh-musuhmu” (ay. 43). Sesama manusia bagi mereka adalah sama-sama orang Yahudi, yang menjalankan Taurat Musa. Di luar itu mereka anggap musuh dan wajar untuk dibenci, tidak disukai. Khotbah Yesus Di Bukit menyediakan deskripsi tentang manusia baru yang sudah hidup di dalam Kristus. Seluruh sikapnya telah berubah, kehidupan kita telah diubahkan sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi persamaan dengan cara pikiran yang lalu ketika kita belum hidup di dalam Kritus.
Yesus menegaskan bahwa dengan mengasihi musuh, bahkan mendoakan orang yang menganiaya kita, dengan demikianlah identitas kita sebagai anak-anak Tuhan menjadi nyata, kita menjadi berkat buat orang lain (Tema PA Moria). Itulah yang membedakan diri kita dengan orang-orang yang belum mengenal Kristus! Seperti Tuhan baik terhadap orang baik ataupun orang jahat, menerbitkan matahari bagi orang jahat dan orang baik, menurunkan hujan bagi orang benar dan tidak benar (ay. 44-45). Kita pun demikian, kita dipanggil untuk terus berbuat baik tanpa pilih kasih, baik kepada orang baik ataupun orang jahat. Yang kita benci adalah perbuatannya, tetapi setiap pribadinya selalu kita kasihi dan kita doakan.
Sungguh, prinsip kekristenan berbeda dari prinsip dunia ini. Yesus berkata, "Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada berbuat demikian?" (ayat 46-47). Tuhan Yesus adalah teladan yang luar biasa bagi kita. IA sanggup mengalahkan yang jahat dengan kebaikan; diejek, diludahi, dimusuhi, dianiaya, bahkan sampai mati di kayu salib, Dia tidak pernah membalas perbuatan jahat mereka, tapi berdoa bagi mereka “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Kejahatan tidak akan dapat ditaklukkan oleh kejahatan, tetapi kebaikanlah yang mampu mengalahkan kejahatan! Di mata Tuhan Yesus, kasih bukan hanya ada di dalam hati. Ini berkaitan dengan tindakan (action), bukan hanya perasaan (emotion). Ada bukti konkrit dari kasih itu (teridah janah tergejab), sehingga kehidupan kita jadi berkat buat orang lain.
Ketika kita menerima Firman Tuhan ini, kita berkata, "Saya adalah manusia biasa, mustahil bisa mengasihi musuh, ini terlalu berat buat saya!" Benarkah ini sebuah perintah yang mustahil? Tentu tidak, karena status kita adalah anak-anak Allah, IMAGO DEI, kita mewarisi sifat dan karakterNya. Dikatakan, "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih" (1 Yoh. 4:8) dan di ayat 48 disampaikan: "...haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna" (ay. 8). Pastilah TUHAN tidak pernah memberi perintah yang mustahil untuk kita lakukan.
Semua orang pasti pernah punya pengalaman memandang seseorang sebagai musuh. Mungkin saat inipun ada yang masih memiliki list panjang berisi orang-orang yang dianggap sebagai musuh. Ada banyak alasan menjadikan orang sebagai musuh. Misalnya orang tersebut pernah menyakiti kita, mengkhianati kita, menipu dan lain sebagainya. Permusuhan berjalan beriringan dengan sakit hati. Orang yang menganggap seseorang sebagai musuh akan selalu ingin membalas perbuatan jahat. Dendam dan kebencian tidak lagi dapat dihindarkan, dan semakin lama rasa ini akan semakin dalam, hingga kita sering mendengar ucapan: "Tidak akan saya maafkan hingga tujuh turunan!"
Dalam hidup kita tidak bisa menghindari benturan dengan orang lain. Ada kalanya kita akan merasa disakiti. Itu wajar karena manusia adalah mahluk yang tidak luput dari kekeliruan. Tuhan Yesus mengajarkan sebuah ajaran yang baru dihadapan murid-muridNya dan orang banyak dalam KhotbahNya di Bukit. Tidak ada prinsip mata ganti mata, melainkan ajakan untuk mengasihi musuh. Bagaimana caranya? Dengan tidak membalas perbuatan buruk mereka, tetapi mengampuni bahkan berdoa bagi mereka. Mengapa kita harus mengasihi musuh kita? Bukankah kita disakiti atau dikecewakan? Kita melakukan hal itu karena kita adalah anak-anak Allah. Bukankah dari Bapa yang sempurna, kita anak-anakNya juga harus mampu mencerminkan hal itu? Ketika orang dunia juga mampu mengasihi atau memberi salam? Bukankah orang-orang dunia juga mampu mengampuni? Apa jadinya jika kita yang mengaku anak-anak Allah malah sulit untuk mengampuni atau mengasihi musuh?
Siapakah musuh kita saat ini? Saudara kandung atau keluarga yang tidak membantu kita? Teman sekantor atau sekelas yang mengecewakan kita? Tetangga yang sinis? Orang tua yang tidak pernah menghargai keberadaan kita? Anak kita yang selalu mengecewakan kita? Berdamailah. Sadarkan mereka dengan tindakan mengasihi dan doakanlah terus. Sebagai anak-anak Tuhan, kita harus mampu keluar dari permusuhan dan menunjukkan kasih melalui doa dan perbuatan. Anak-anak Tuhan harus senantiasa dalam segala hal kehidupannya menjadi berkat.
Pdt. Melda Tarigan, STh
GBKP Rg. Pontianak