Suplemen PA Moria : Hosea 11 : 4 ; Tgl 11-17 April 2021
THEMA : ANAK KEKELENGENKU
BAHAN OGEN : HOSEA 11:4
TUJUAN:
1. Ngusih perbahanen Dibata ibas engkelengi bangsaNa
2. Megenggeng i bas ngarak-ngarak ras mpebelin-belin anak
PENGANTAR
Dalam sebuah sharing pelayanan, ada sepasang orangtua yang menceritakan pengalaman mereka. Mereka mengisahkan bagaimana mereka memiliki sebuah kerinduan (seperti layaknya kerinduan yang dimiliki setiap orangtua) agar anak semata wayang mereka bisa berhasil dalam dalam sekolahnya serta mencapai cita-cita yang mulia untuk kehidupannya. Segala daya upaya dan dukungan yang bisa mereka berikan mereka usahakan dengan semaksimal mungkin demi anak yang sangat mereka kasihi. Bila mereka mengalami kesulitan sekalipun, mereka akan tetap berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan dan tuntutan anaknya itu. Suatu sore, kedua orangtua ini pun menerima sebuah panggilan telepon dari sekolah tempat anaknya menuntut ilmu. Informasi yang disampaikan melalui percakapan itu sungguh mengejutkan bagi mereka berdua karena ternyata selama ini anaknya telah lama tidak masuk sekolah dan pendidikannya terbengkalai. Bahkan pihak sekolah mengatakan tidak ada jalan lagi untuk memperbaiki kesalahan itu sehingga anaknya pun dikeluarkan dari sekolah. Dengan putus asa orangtua tersebut mengatakan; rasanya tidak ada lagi yang kurang karena semua untuk anak akan kami penuhi. Dalam kasih orangtua yang demikian besar, sang anak ternyata tidak mengingat jerih lelah orangtuanya dan berbelok dari tujuan semula. Memang tak asing saat pepatah mengatakan: kasih orangtua sepanjang jalan, tetapi kasih anak sepanjang galah.
PENDALAMAN TEKS
Dalam kitab Hosea diberikan sebuah gambaran yang menarik mengenai hubungan antara Allah dengan umatNya. Bila dalam pasal-pasal 1-3 hubungan Allah dan bangsaNya digambarkan sebagai relasi antara suami dan istri, maka pada pasal 11 relasi Allah dan Israel (Efraim) digambarkan dalam relasi antara Bapa dan anak. Mengapa Tuhan menggambarkan hubungan-Nya dengan umat-Nya seperti bapa-anak, bukan sebagai suami-isteri sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1-3? Mari kita coba pikirkan sejenak tentang perbedaan antara "suami-isteri" dengan "hubungan bapa-anak". Hubungan suami-isteri tidak selalu mencerminkan hubungan yang abadi. Hubungan itu karena satu dan lain hal bisa terputus, tetapi hubungan antara bapadan anak tetap abadi dan tidak ada yang dapat memutuskannya, sekalipun oleh perceraian. Dari sini kita dapat melihat demikian besarnya kasih Allah kepada bangsaNya sekalipun dalam banyak hal bangsa/anak yang dikasihiNya seringkali melupakan kebaikan dan kasih setia Allah dalam sejarah hidup mereka.
Dalam Hosea 11:1 kita melihat tahap penurunan keimanan/kerohanian bangsa Israel. Ayat 1 ini menunjuk kepada peristiwa pembebasan Israel dari perbudakan di Mesir. Keadaan Israel ketika mereka dibebaskan dibandingkan dengan keadaan anak yang masih kecil (bdk. Pasal 1-4 dan Ay.3). Ketika Allah membebaskan mereka dari perbudakan Mesir, mereka seperti anak kecil yang perlu terus diajar dan dibimbing oleh Allah. Ketika itu, Allah membebaskan mereka, tetapi mereka justru melawan Allah dengan menyembah kepada ilah lain/berhala. Tetapi Allah sebagai Bapa yang baik tetap menunjukkan kesabaran dan kasihNya. Dia mengajar “anak kecil” itu berjalan, Allah menggendong mereka dalam kesusahan, Allah hadir dalam setiap ketakukan, setiap luka yang dialami Israel. Israel kemudian bertumbuh dari fase anak kecil yang belajar kepada fase anak muda yang mulai menunjukkan perlawanan dan pemberontakan kepada Allah. Mereka menolak dan berpaling dari Allah dengan menyembah berhala serta mencari bantuan dan kekuatan militer dari Mesir untuk menjamin keselamatan mereka dari serangan bangsa Assyur (bdk. Ay. 2-ay.5).
Tidak hanya sampai di situ saja, dalam bagian awal kitab Hosea kita melihat sesungguhnya kehidupan bangsa Israel dalam konteks kitab Hosea ini ada dalam kondisi sejahtera. Ayat-ayat seperti 2:8 dan 10:1 mengindikasikan kesejahteraan yang baik melalui hasil panen yang melimpah dan kekayaan yang diperoleh dari keberhasilan panen itu. Kondisi yang baik itu justru dipermasalahkan oleh Hosea. Hosea melihat kesuksesan materi tidak berjalan seiring sejalan dengan kesuksesan moral/keimanan umat. Dengan memakai bahasa sekarang, kesuksesan materi tersebut adalah justru bukti dari keserakahan. Keserakahan tersebut membuat orang melupakan Allah, padahal Allah adalah sumber dari kesuksesan tersebut. Sebagai hukuman dari dilupakannya Yahweh itu, 2:13 menyebutkan tentang pembalikan keadaan dari sejahtera ke keadaan seperti di padang gurun. Padang gurun itu dapat dipahami sebagai keadaan yang serba sulit. Oleh karena itu, kita dapat menangkap bahwa kondisi padang gurun itu lebih baik bagi bangsa Israel daripada hidup berkelimpahan. Bahkan ketika padang gurun itu berarti sebuah hidup yang penuh penderitaan, itu tetap lebih baik ketimbang hidup dalam kelimpahan namun membuat orang lupa akan Tuhan. Di 13:5-8 padang gurun dilukiskan seperti semacam tempat pendidikan bagi Israel untuk mengenal kekuasaan Tuhan. Sebagai konsekuensi dari perilaku yang menjauh dari Allah maka Allah pun marah dan bermaksud memberikan penghukuman atas ketidaksetiaan bangsa Israel. Bila kita teruskan pembacaan kita pada ayat-ayat selanjutnya, maka Allah akan menempatkan Israel kembali ke Mesir dengan Assyur sebagai raja mereka. Tetapi dalam kemarahanNya, pada ayat 8 dikatakan hati Allah berbalik kembali atas anak (Israel) yang selama ini dikasihiNya sehingga Allah berkata: Bagaimana mungkin Aku menyerah atas Israel? Dalam kasih seorang Bapa, hati Allah berbalik dari hukuman yang sedianya akan ditimpakan kepada Israel menjadi sebuah rangkulan kasih untuk kembali membimbing dan memulihkan kehidupan anak-anakNya.
APLIKASI/PENUTUP
1. Tentu sebagai orangtua, kita mengasihi anak-anak yang telah Tuhan percayakan kepada kita. Dalam kasih kita kepada anak-anak, tentu kita berjuang dalam berbagai cara untuk membuat anak-anak kita merasakan dan mengerti akan kasih dan didikan dari orangtua. Karena itu seperti kasih Allah kepada Israel, kita perlu belajar menyatakan kasih kita bukan hanya dalam sikap permisif/ memaklumi, tetapi juga melalui tindakan disiplin/ teguran. Tentu teguran disini dimaksudkan dalam taraf pengajaran/ hukuman (konsekuensi) yang bersifat membangun dan mendidik anak-anak kita.
2. Tuhan memberikan berbagai kebaikan kepada Israel, termasuk kesejahteraan, tetapi ternyata kecukupan itu tidak serta merta membuat seseorang menjadi pribadi yang menyembah Tuhan dan berjalan sesuai kehendakNya. Hidup kerohaniannya ternyata tidak sejalan dengan pertumbuhan kemakmuran yang mereka alami. Karena itu pentinglah kita terus memperkenalkan Tuhan dan mengajarkan Firman Tuhan kepada anak-anak kita sebagai bukti kasih kita kepada mereka sekarang dan kelak. Tentu kita tidak mau bila anak-anak kita nantinya akan bertumbuh menjadi orang yang pintar secara kognitif, tetapi tidak mendatangkan kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya serta bagi dunia ini. Pada kenyataannya para orangtua seringkali lebih menitikberatkan pendidikan formal daripada pendidikan iman kepada anak-anak mereka. Alangkah luar biasa bila kelak anak-anak kita menjadi orang yang berhasil dan di atas keberhasilannya, dia menjadi penyembah Tuhan yang luar biasa.
3. Dalam mengasihi anak-anak, tentu banyak tantangan yang kita rasakan, terlebih dalam menghadapi anak zaman sekarang kita bisa lelah secara mental dan emosional. Karena itu sebagai orangtua kita pun perlu mengambil waktu untuk berefleksi tentang bagaimana cara kita menghadapi anak-anak kita. Allah sendiri mengambil waktu dan karena itu Allah mengatakan hatiNya berbalik untuk Israel. Dengan mengambil waktu berefleksi, berdoa dan memohon tuntunan Tuhan, kita akan dimampukan untuk mengambil dan melakukan sikap terbaik yang bisa kita lakukan dalam menghadapi anak-anak yang kita kasihi.
Pdt.Eden P. Funu-Tarigan, S.si (Teol)
GBKP Perpulungen Kupang