Suplemen PA Moria : Yusus 3 : 4-10 ; Tgl 28 Maret - 03 April 2021

BACAAN      : YUNUS 3:4-10

THEMA        : PATUH MABA KESELAMATEN/KETAATAN MEMBAWA KESELAMATAN

TUJUAN      :

1.   Belajar pada kepatuhan orang Niniwe yang membawa keselamatan

2.   Merubah kebiasan hidup untuk keselamatan kita

PEMBUKA

Bagi kaum ibu/ moria yang memiliki kesukaan menonton drama berseri, tentu  serial berjudul  The Penthouse tidak asing di telinga kita. Drama ini memiliki jalan cerita yang cukup rumit dan penuh komplikasi. Dari berbagai konflik menegangkan yang terjadi,  salah satu inti masalah yang sebenarnya adalah karena tidak adanya sebuah ketaatan pada peraturan. Para orang tua dalam serial ini merasa mereka berkuasa, kaya dan memiliki segalanya sehingga segala sesuatu bisa diatur dan dipoles sedemikian rupa. Yang benar menjadi salah, yang tidak bermutu justru dipoles dengan cara-cara kotor menjadi permata, bahkan seluruh peraturan dapat dipatahkan dan dilanggar. Semakin lama kejahatan mereka semakin berat sebab mereka menjadi terbiasa dan merasa tidak ada yang salah dalam hidup mereka. Sungguh ironis bagi semua tokoh dalam kisah ini; yang melakukan pelanggaran dan tidak setia kepada peraturan tidak pernah merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup mereka malahan mereka terseret semakin dalam pada pusaran kejahatan. Anak-anak mereka yang selalu mereka “bantu” dengan cara-cara yang tidak benar pun akhirnya terganggu secara psikologis dan tertekan dengan prestasi-prestasi yang sesungguhnya tidak mampu mereka raih bila diukur dari kemampuan mereka yang sebenarnya. Sebuah pelanggaran dan ketidak-taatan akan selalu membawa dampak yang merusak bagi kita. Bahkan bila diteruskan, bisa-bisa kita akan membayarnya dengan kehidupan kita yang demikian berharga ini. 

ISI

 Dalam bahan renungan kita, kita juga dapat melihat bahwa penduduk Niniwe juga akan segera menghadapi akibat dari kejahatan dan dosa mereka. Ketidaktaatan yang telah mereka hidupi bertahun-tahun akhirnya mengundang murka Tuhan atas seluruh isi kota. Dalam kemurahanNya, Allah masuh memberikan kesempatan kepada penduduk Niniwe melalui hambaNya Yunus. Pembacaan kita memperlihatkan pemanggilan Allah yang ke dua kalinya kepada Nabi Yunus untuk membawa berita kepada penduduk Niniwe.  Bila pada pemanggilan yang pertama , berita pemanggilan lebih diarahkan pada kejahatan penduduk Niniwe (bdk. 1:2),  pada panggilan ke-2 ini,  berita yang harus disampaikan difokuskan pada hukuman yang mereka akan dialami  penduduk Niniwe (bdk. 3:4). Walaupun berita yang disampaikan Tuhan kepada Yunus semakin tidak menyenangkan telinga untuk disampaikan kepada penduduk Niniwe, kali ini Yunus pun pergi dan meneruskan berita tersebut kepada mereka sesuai dengan apa yang difirmankan Tuhan kepadanya. Dalam menyampaikan berita tersebut kita dapat melihat beberapa proses yang terjadi dalam kisah pertobatan Niniwe dan segenap isinya; antara lain:

1.    Ketatan dimulai dari hati yang terbuka  dan percaya kepada Tuhan dari seluruh Penduduk Niniwe. Untuk memiliki hati terbuka dibutuhkan kesediaan dan kemauan untuk mendengarkan teguran Tuhan, lalu disertai dengan langkah konkret untuk mengubah kehidupan. Ketika Nabi Yunus memberitakan di dalam ayat 4, : “… empat puluh hari lagi maka Niniwe akan ditunggangbalikkan.”; Penduduk Niniwe tidak menganggap sepi berita dan seruan pertobatan tersebut. Bukan saja para penduduk, tetapi di ayat 5 dikatakan bahkan Raja Niniwe pun mau turun dari singgasananya dan berkabung atas dosa dan kejahatan yang selama ini telah berlaku di Niniwe. Hati yang terbuka akan teguran dan firman Tuhan membuat orang Niniwe percaya kepada Tuhan dan menyadari kesalahannya sehingga mereka sama sekali tidak mencari celah untuk membela diri sama sekali. Kepercayaan ini lalu diwujudkan dalam sebuah tindakan konkret yaitu seluruh negeri dan isinya tanpa kecuali sepakat  berpuasa.

2.    Tahapan yang  berikutnya dalam  proses taat kepada Tuhan, penduduk Niniwe mengambil langkah pertobatan dan menyesali kejahatan yang telah dilakukan tangan mereka. Pertobatan mereka ditandai oleh tindakan puasa yang mereka lakukan, LAI TB menerjemahkan ayat 5 dengan “dari dewasa sampai anak-anak” (berdasarkan usia), tetapi  dalam terjemahan NKV/KJV/RSV  diterjemahkan dengan lebih jelas lagi  dengan menggunakan ungkapan:  “dari tertinggi sampai terendah” (berdasarkan posisi/kedudukan). Ini sejalan dengan ayat 6 yang menggambarkan bagaimana raja kota dan semua pembesar juga ikut tanpa kompromi merendahkan diri. Mereka tidak hanya  berpuasa, tetapi juga mengenakan kain kabung serta duduk di abu sebagai ekspresi penyesalan mendalam atas pelanggarannya. Ini adalah sebuah simbol mereka mau berbalik dari dosa-dosa mereka.

3.    Tahapan ketiga yaitu mereka  berbalik dari kejahatan mereka. Tanda ketaatan ini disebutkan dalam ay. 8 dan ayat 10. TB LAI menerjemahkan kebiasaan hidup mereka dengan frasa: ‘melakukan kejahatan” dalam hal ini untuk lebih jelas lagi kita dapat melihat terjemahan RSV/NKV (Inggris) yang menerjemahkan perilaku mereka bukan hanya melakukan kekerasan, tetapi kekerasan itu ada dalam kedua tangan mereka. Artinya adalah kejahatan itu sudah merasuk demikian dalam dan menjadi kebiasaan dalam hidup penduduk Niniwe. Ternyata ketika ada sebuah  kepercayaan, tekad dan penyesalan yang sungguh, kejahatan dan dosa yang telah mengakar sekalipun dapat diubah bila kita sungguh mau diubahkan. Dalam hal ini kita perlu menggarisbawahi bahwa perubahan itu dimungkinkan bukan hanya karena upaya kita, tetapi karena anugerah dan kemurahan Allah . Bahkan penduduk Niniwe yang bertobat dan menyesal pun memohon di ayat 9 dengan mengatakan: “Siapa tahu mungkin Allah akan berbalik dan menyesal.. ”

Dari ayat 10 kita lalu mengetahui bahwa penduduk Niniwe akhirnya selamat dari bencana kehancuran yang telah menanti mereka. Dalam hal ini kita melihat betapa besarnya anugerah dan kemurahan Tuhan bagi  mereka yang mau bertobat dan bertekad untuk taat dalam kehidupannya. Bila kita cermati bacaan kita, kita akan menemukan frasa menarik yaitu “Allah menyesal”. Tentu penyesalan Allah disini berbeda dengan penyesalan manusia.  Allah tidak berdosa atau melakukan kesalahan dengan apa yang sudah dirancang-Nya. Allah “menyesal” karena Dia  tidak merasa bahagia dengan apa yang dirancang-Nya, yaitu menghadirkan malapetaka yang menghancurkan Niniwe.

PENUTUP

Dari perikop ini kita belajar bahwa ketaatan benar-benar membawa keselamatan bagi kita. Mari kita merenungkan kehidupan. Bila sampai saat ini kita hidup dalam cara yang tidak menyenangkan hati Tuhan, mari kita membuka hati lalu  meresponnya dengan penyesalan dan pertobatan. Inilah yang menyenangkan hati Tuhan sehingga IA menyesal dan mengurungkan kehendak-Nya, sekalipun Ia sudah berencana menimpakan hukuman kepada kita. Bukan hanya dalam kehidupan beriman, tetapi dalam kehidupan sehari-hari pun ketaatan sangat penting. Ketaatan kepada peraturan, ketaatan pada protokol kesehatan yang berlaku, ini semua sangat menolong dalam menjaga keselamatan hidupp kita. Jadi mari kita tidak menunda-nunda lagi untuk hidup dalam ketaatan. Kita tidak pernah tahu berapa lama lagi kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk meninggalkan pelanggaran kita sebelum “bahaya” itu menghampiri kita. Seperti yang dinyatakan sebuah lagu karangan Ebiet G Ade yang berjudul: Masih Ada Waktu; demikian lirik yang disampaikan pada kita:

Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu
Entah sampai kapan, Tak ada yang bakal dapat menghitung

Hanya atas kasih-Nya, Hanya atas kehendak-Nya
Kita masih bertemu matahari, Kepada rumput ilalang
Kepada bintang gemintang, Kita dapat mencoba
Meminjam catatan-Nya

Sampai kapankah gerangan, Waktu yang masih tersisa
Semuanya menggeleng, Semuanya terdiam
Semuanya menjawab tak mengerti

Yang terbaik hanyalah, Segeralah bersujud
Mumpung kita masih diberi waktu

Pdt. Eden P. Funu-Tarigan, S.si (Teol)

GBKP Perpulungen Kupang 

Info Kontak

GBKP Klasis Jakarta - Kalimantan
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate