Khotbah Amsal 6:6-11, Minggu 7 Juni 2015
Invocatio :
Orang malas tidak akan menangkap buruannya, tetapi orang rajin akan memperoleh harta yang berharga. (Amsal 12:27)
Bacaan : Yohanes 6:25-27 (Tunggal); Khotbah : Amsal 6:6-11 (Anthiponal)
Pendahuluan
“Hidup untuk makan” atau “makan untuk hidup”, kedua kalimat ini dari kedua kalimat ini, manakah yang menurut kita paling tepat untuk diri kita? Masing-masing kita tentu punya pilihan sendiri. Firman Tuhan hari ini, berjudul “Tuhan bekerja melalui pekerjaan kita”
Pembahasan
Kitab Amsal adalah kumpulan ucapan-ucapan bijak. Secara keseluruhan kitab ini bertujuan untuk mengetahui hikmat dan didikan yang menjadikan pandai, kebenaran, keadilan dan kejujuran, dan untuk memberikan pengetahuan serta kebijaksanaan. Dengan kata lain, orang Israel menyatakan bahwa hikmat menjadikan hidup berhasil. Jika kita perhatikan secara menyeluruh kitab amsal ini, penulis sepertinya selalu membandingkan antara orang benar dan orang fasik, orang yang jujur dan orang yang curang, si malas dan si rajin dan lainnya, yang menunjukkan perbedaan yang tajam antara keduanya. Penulis sedang memperjelas atau memperlihatkan secara nyata pertentangan antara hasil-hasil dari mencari hikmat dan menghidupi suatu kehidupan yg bodoh.
Namun, pada kenyataannya terjadi bahwa tidak selalu yang baik memperoleh yang baik dan tidak selalu yang jahat mendapatkan yang jahat. Justru yang baik semakin tertindas, sedangkan yang kurang baik atau yang kurang baik, semakin kaya dan memiliki banyak fasilitas dan sebagainya. Apakah maksud daripada semuanya ini? Secara umum, dapat kita lihat bagaimana disebutkan secara berulang-ulang kata “Takut akan Tuhan”, dengan demikian, yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa hikmat berawal adalah takut akan Tuhan, sehingga hikmat yang takut akan Tuhan yang paling berharga dari semuanya.
Jemaat yang dikasihi Tuhan, pada hari kita disuruh belajar kepada binatang yang kecil, yakni semut. Betapa hebatnya seekor semut, yang merupakan binatang kecil dan mungkin bisa jadi tidak ada apa-apanya bagi kita. Namun, kita manusia justru diarahkan untuk belajar kepada binatang kecil seperti semut. Ada beberapa hal yang diperlihatkan di sini tentang semut, yakni:
1. Mampu memimpin diri sendiri
Semut tanpa perlu harus diatur dan diarahkan, mereka dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masng. Di samping mereka juga tidak perlu diatur, mereka juga tidak mau mengatur orang lain.
2. Pekerja keras/senantiasa bekerja
Dikatakan bahwa pada musim panas, ia menyediakan roti dan pada musim panen ia mengumpulkan makanan. Hal ini menunjukkan ketekunan seekor semut, yang tidak pandang waktu dalam bekerja, ia tetap tekun bekerja baik siang maupun malam, baik dalam keadaan yang susah maupun senang.
Pertanyaannya bahwa mengapa manusia harus belajar kepada semut? Semut hanyalah binatang kecil yang tidak memiliki akal pikiran dan budi pekerti. Mengapa manusia yang diberikan akal dan budi pekerti justru harus belajar kepada semut?
Secara gamblang di sini ingin menunjukkan agar manusia juga rendah hati dan tidak menganggap bahwa dialah yang paling hebat dari segala yang telah diciptakan. Sikap takut akan Tuhan akan menuntun manusia itu semakin berhikmat di dalam kehidupannya sehari-hari. Berhikmat si sini adalah mensyukuri anugerah Tuhan atas pekerjaan/usaha yang kita miliki.
Manusia diberikan akal dan budi pekerti oleh Tuhan dalam menjalankan kehidupannya, yakni mengusahakan kehidupannya agar bermakna dan berkenan di hadapan Tuhan, sehingga ia setiap usaha ataupun pekerjaan yang kita lakukan. Sebagai contoh, dahulu, umumnya gereja-gereja pada hari natal senang sekali memperagakan liturgi profesi yaitu: ada seorang guru yang tampil dan berkata bahwa dirinyalah yang paling hebat sebab dialah yang mengajar semua orang sehingga dapat mengerti dan menjadi pintar membaca dan menulis; ada juga seorang dokter yang menganggap bahwa dirinya yang paling hebat dari semuanya, sebab jika tidak ada dirinya, maka akan banyak orang yang sakit dan kemudia meninggal; lalu datang lagi seorang pengacara yang juga menyatakan betapa hebat dan penting dirinya, lalu kemudian juga datang juga seorang arsitek, supir, presiden, dan sebagainya. Hingga pada akhirnya datanglah seorang pendeta, dan menyatakan bahwa mereka semua berharga di mata Allah.
Jemaat yang dikasihi Tuhan, cerita ini mengajarkan betapa Tuhan mengasihi kita melalui apapun yang menjadi pekerjaan kita. Pekerjaan kita yang berbeda bertujuan juga agar kita saling melengkapi dan menopang satu dengan yang lain. Bayangkan jika semuanya manusia adalah dokter, siapakah yang hendak menjadi pasien dan sebagainya.
Tuhan bekerja melalui pekerjaan kita, menunjukkan bahwa sebagai orang yang percaya akan Tuhan dan Tuhan memberikan kita akal pikiran dan budi pekerti, bertujuan agar kita tidak bermalas-malas, sebab Tuhan juga tidak suka dengan umat yang malas. Bahkan Paulus juga berkata: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. (2 Tes. 3:10). Akan tetapi, hal ini bukan mengajarkan kita agar senantiasa menjadi gila bekerja (worker holic) tetapi sebagaimana dalam bacaan kita Yoh. 6:25-27, Yesus berkata bahwa: Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya.
Sebagai manusia seutuhnya, kita membutuhkan makanan untuk dimakan agar dapat tetap melanjutkan hidup. Namun, kehidupan orang percaya bukanlah hidup untuk makan, tetapi makan untuk hidup. Artinya kita membutuhkan makanan untuk tubuh kita, agar kita juga mampu semakin kuat lagi menjalankan tugas pelayanan kita kepada Tuhan.
Allah juga pada proses menciptakan alam semesta dan segala isi, dikatakan bahwa IA bekerja 6 hari lamanya, dan pada hari yang ketujuh Ia berhenti dan memuliakan Bapa di sorga. Demikian juga dengan kita, kerja keras sangat penting, bahkan betapa indahnya jika kita, tanpa harus diatur dan diawasi, kita tetap setia menjalankan tugas tanggung jawab dan pekerjaan kita, sebagaimana seekor semut. Namun, jangan pekerjaan ataupun kesibukan kita membuat kita tidak memiliki waktu untuk datang kepada Tuhan.
Ingat bahwa hari-hari bukanlah kita yang empunya, tetapi Dia, maka kita bekerja sebagai bentuk kita mengucap syukur atas hidup dan mengelola alam semesta yang telah Tuhan berikan dalam kehidupan manusia. Jadi apa yang dapat kita lakukan hari ini, lakukanlah! Jangan menunggu hari besok, sebab hari esok bukan kita empunya, maka lakukan yang pekerjaan kita yang terbaik saat ini untuk Tuhan. Selamat bekerja Tuhan memberkati.
Nanda Br. tarigan (Mahasiswi STT - Praktek)