Khotbah Minggu Tgl 11 April 2021 ;Kisah Rasul 4 : 17-20)
Quasimodogeniti : Bagi Anak Si Mbaru Tubuh/ Seperti Bayi Yang Baru Lahir
Invocatio : “karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,” (Flp. 2:2)
Bacaan : Amsal 17:17-20
Kotbah : Kisah Para Rasul 4:32-37
Tema : Ersada Ukur Ersada Penggejapen/ Satu Hati Satu Perasaan
1. Bagian Kis. 4:32-37 ini merupakan hal yang persis sama dengan apa yang telah diceritakan dalam 2:42-47. Sebelumnya di 4:1-22 diceritakan terjadi penolakan para pemimpin umat Israel, tetapi tidak membuat jemaat mundur. Tetapi justru ditengah tantangan dari luar tersebut membuat mereka “sehati dan sejiwa” secara khusus dalam cara memandang milik mereka, yaitu sebagai milik bersama. Apa yang terdapat dalam nats kita ini, sebagai gelombang lanjutan atas hari Pentakosta, yang membuat rasul Petrus bersemangat memberitakan Injil. Semangat dari Roh Kuduslah yang menjadikan Petrus berani berhadapan dengan Mahkamah Agama. Ditengah ancaman masuk penjara Petrus dan Yohanes jika tetap memberitakan Injil, tetapi mereka memilih lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia. Kekuatan para rasul dan komunitas jemaat mula-mula ada pada saat mereka saling mendukung satu dengan yang lainnya. Sehingga, kuantitas jemaat mula-mula bertambah signifikan kira-kira tiga ribu orang (2:41) atau lima ribu orang (4:4). Jemaat mula-mula memiliki kehidupan kerohanian yang baik, mereka bertekun dalam pengajaran para rasul, memecah roti dan berdoa bersama. Bahkan tanda-tanda mujizat terjadi pada waktu tersebut, Petrus juga mengawali tanda-tanda mujizat tersebut. Tetapi kehidupan berbagi kasih adalah bagian yang tidak kalah penting pada waktu itu. Dan inilah kekuatan dari gereja sesungguhnya sampai saat ini. Mereka mampu bertahan ditengah penganiayaan ketika mereka saling menanggung beban masing-masing. Mereka berbagi tanpa merasa dirugikan. Secara kuantitas mereka bertambah, diiringi juga kualitas yang baik.
2. Meski seolah diceritakan ulang, tetapi dalam nats ini diberi tekanan mengenai cara mereka memperlakukan harta kepunyaan mereka. Sikap mereka terhadap harta mereka tersebut didasari karena mereka “sehati dan sejiwa”. Luar biasanya, hal ini menjadi kesaksian bagi kalangan Yahudi maupun Yunani. Bagi kalangan Yahudi misalnya dalam Ul. 15:4 “Maka tidak akan ada orang miskin di antaramu,...” cita-cita Yahudi seperti ini menjadi kenyataan di jemaat perdana di Yerusalem karena masing-masing mereka membuka tangan mereka lebar-lebar/ mau berbagi (baca Ul. 15:8,11). Sekaligus bagi orang Yunani pun hal ini menjadi kesaksian yang hidup, karena dalam pemikiran orang Yunani bahwa sahabat yang “sejiwa” itu dibuktikan dengan “segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama”. Sehingga cara hidup jemaat mula-mula ini menjadi kesaksian yang hidup baik bagi orang Yahudi maupun orang Yunani.
3. Kebangkitan Kristus merupakan pusat penggerak kehidupan jemaat serta anugerah Allah yang berlimpah-limpah menjadi nyata dalam persekutuan mereka. Anugerah Allah menjadi nyata dalam sikap jemaat merespon terhadap mereka yang berkekurangan. Dorongan untuk peduli satu dengan yang lain karena Kristus telah lebih dahulu mengasihi kita. Kasih Kristus yang memampukan manusia mengasihi dengan benar. Kristus yang dinyatakan oleh para rasul adalah kekuatan jemaat mula-mula dan juga sumber kelimpahan mereka. Mereka menyerahkan harta kepunyaan mereka untuk kepentingan bersama. Bukan sebaliknya, kepentingan sendiri diutamakan. Meski, kemudian ada juga dampak negatif dari cara hidup ini. Cara hidup jemaat perdana ini muncul di antara mereka di Yerusalem, barangkali karena mereka mengharapkan kedatangan kembali Yesus Kristus dalam waktu dekat. Oleh sebab itu, mereka tidak memikirkan hari depan keluarga-keluarga mereka. Perilaku ini kemudian menjadi penyebab kemiskinan di jemaat itu (bdk. Rm. 15:26) Akan tetapi, bagi Lukas penulis Kisah Para Rasul ini hal ini yang penting ia menceritakan cara hidup ini sebagai pengarahan dan teladan menempatkan kepentingan persekutuan dibanding kepentingan pribadi.
Saat ini penting kita memberi diri bagi orang yang membutuhkan, tetapi memikirkan juga hari depan. Perlu juga kita memikirkan perbedaan antara membagikan serta menghabiskan begitu saja.
4. Kesadaran segala sesuatu adalah milik Tuhan mendorong mereka menjadi berkat bagi sesama mereka. Terlepas ada penafsiran yang mengatakan bahwa jemaat mula-mula merasa Kristus akan segera datang kembali sehingga mereka menjual harta kepunyaan mereka, tetapi lebih dari hal itu, alasan utama tidak demikian! Alasan utamanya adalah karena banyaknya orang lain yang memerlukan (Kis. 4:35 “dibagi-bagikan ...sesuai keperluannya”). Mereka berbagi karena begitu banyak orang miskin di sana. Mungkin karena penganiayaan atau alasan lain. Tetapi kepekaan akan kebutuhan orang lain adalah menjadi salah satu ciri utama kesehatian jemaat mula-mula. Keyakinan bahwa apapun yang Allah berikan kepada kita merupakan sebuah penatalayanan. Kita hanya dipercaya oleh Allah untuk mengurus pemberian itu secara bijaksana. Posisi kita lebih ke arah “pengatur” (manajer) daripada “pemilik” (owner), kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban.
5. Tidak egosentris, mereka tidak mengukur segala sesuatu dari kepentingan, kesenangan, dan selera diri sendiri. Tidak seorang pun yang berkata bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri dan hanya dirinya sendiri yang berhak menikmati (ay. 30). Dalam persekutuan jemaat perdana, semua orang itu menjadi saluran berkat dan kasih bagi sesamanya. Dan tujuan orang percaya adalah bukan hanya menerima berkat, melainkan juga menyalurkan berkat. Tanpa diwajibkan tetapi mau berbagi. Kerinduan seperti itu harusnya ada dalam persekutuan orang percaya. Kerinduan seperti ini didorong karena sehati dan sejiwa, sehingga tanpa diatur-atur atau tanpa disuruh mereka dengan sukarela dan sukacita tetap berbagi.
6. Memberi/ berbagi tidak harus memiskinkan diri dan tidak memuat kita semakin miskin. “Semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual...” (ay. 34). Kata semua orang dalam terjemahan Yunani “hosoi gar ktetores” secara harafiah bisa diterjemahkan “banyak pemilik” (bhs. Karo, “kalak si lit”) itu berarti bahwa sebenarnya ada kebebasan untuk menjual atau tidak (bdk. 5:4). Jelas pula bahwa ibu Markus, warga jemaat, mempunyai rumah di mana jemaat dapat berkumpul bersama (12:12). Rumah ini tidak dijual, tetapi menjadi “milik bersama” dalam arti dapat dipakai jemaat sebagai tempat perkumpulan. Inilah juga suatu cara untuk mewujudkan hal “kepunyaan bersama”. Jadi masalah menjual harta kepunyaan tersebut bukan peraturan yang mengikat, tetapi jiwa dari aksi tersebutlah menjadi teladan bagi kita saat ini. Ada kebiasaan negatif bagi sebagian orang pada gereja mula-mula, bahwa ada juga yang memiskinkan dirinya dengan menjual harta kepunyaannya untuk orang lain dan kemudian pergi ke padang gurun untuk beraskese, mengasingkan diri dari kehidupan yang nyata. Seharusnya tidak demikian, kita justru diutus untuk terjun menjadi berkat ditengah-tengah dunia ini, bukan malah mengasingkan diri.
7. Tidak hanya teori tetapi nyata dalam aksi. Jemaat mula-mula tidak hanya luar biasa di dalam pemberitaan dan kotbah, melainkan juga jemaat yang hebat dalam perbuatan. Persekutuan mereka yang indah dan baik menjadi salah satu sarana kesaksian yang kuat untuk orang di sekitar mereka. Mereka bersaksi di luar (ay. 21, 23) dan bersekutu di dalam (ay. 32, 37). Itu berarti mereka tidak hanya jemaat yang rutin mendengar pengajaran para rasul/ tidak hanya mengerti doktrin yang benar, tidak hanya gigih berdoa. Tetapi mereka peduli satu dengan yang lain. Saling memperhatikan. Memang kita perlu pemahaman Alkitab yang benar, kita perlu berdoa tanpa jemu-jemu, kita juga perlu memberitakan Injil. Tetapi tidak akan berguna sama sekali menjadi kesaksian yang hidup bagi orang lain, tanpa ada kasih. Meritaken berita si meriah ningen kari, tapi terjeng berita ngenca, si meriahna lalap la dat. Tentu tidak tepat demikian! Sebaliknya, kasih kepada sesama tanpa doktrin yang benar, tanpa doa, tanpa pemberitaan Injil akan menjadi kasih yang buta yang tidak membangun dan mungkin tidak diperkenan Tuhan, sehingga bisa saja membuat gereja sama seperti lembaga-lembaga sosial lainnya. Jadi seharusnya gereja itu harus utuh, baik pemberitaan, pengajaran, juga dalam kasih yang benar.
8. Tidak lebih penting uang daripada manusia. Tidak penting pemilik harta, melainkan sikap orang percaya terhadap harta. Penjualan harta tersebut dilakukan untuk keperluan bukan syarat resmi menjadi orang percaya. Menjual harta milik dan membagi-bagikannya sebagai bentuk kesehatian. Rasul atau bahkan Tuhan sendiri tidak mewajibkan hal tersebut untuk dilakukan. Namun, itu bisa terjadi karena ada kesehatian dan kesejiwaan di antara mereka. Mereka mengalahkan egoisme diri mereka, dan dengan sendirinya merasakan kerinduan atau dorongan untuk saling berbagi. Mereka merasa resah jika mereka mempunyai banyak sekali harta, sedangkan saudara mereka tidak memiliki apa-apa. Di dalam ayat 36 dan 37 dikatakan bahwa bantuan yang diberikan oleh Barnabas sangat besar. Dia menjual tanahnya dan memberikan semuanya untuk persembahan. Dia tidak memberi sekadarnya, asal terlihat sudah memberi sudah cukup (ingat dan percayalah, orang pelit pun tidak suka dengan orang pelit). Dia rela mempersembahkan semuanya karena kebutuhan yang begitu besar dan mendesak diperlukan oleh saudara-saudara seimannya pada waktu itu. Ayat ini tidak hanya menyatakan jumlah saja. Ayat ini mengajarkan bahwa bagi Barnabas orang lain lebih penting daripada uang sendiri. Motivasinya dalam memberi hartanya adalah tulus dan murni oleh karena Kasih, bukan untuk memperoleh nama, pujian dan status. Sama hal seperti Yesus Kristus menganggap orang lain lebih penting daripada kemuliaan-Nya sendiri sehingga Dia rela menjadi manusia yang begitu lemah dan miskin. Yesus Kristus menganggap orang lain lebih penting daripada nyawa-Nya sendiri sehingga Dia rela mati bagi orang lain.
9. Kesehatian tidak seperti Ananias dan Safira. Segera ditengah kebaikan jemaat mula-mula ditampilan langsung bahwa masih ada orang seperti Ananias dan Safira. Dosa mereka bukan terletak pada penguasaan atas hasil penjualan itu, melainkan pada yang telah mereka rencanakan jauh sebelumnya. Kebaikan mereka menjadi kesaksian bagi orang lain, sedang hukuman bagi Ananias dan Safira menjadi peringatan bagi komunitas Kristen. Ditengah kebaikan akan tetap ada permasalahan yang muncul, mengajar kita kesehatian Ananias dan Safira bukan kesehatian yang layak ditiru. Mereka sehati tetapi untuk mengelabui.
10. Perbedaan pendapat tidak menghilangkan perasaan sejiwa dan sehati. Ini merupakan ciri jemaat perdana. Hal ini tidak berarti bahwa mereka selalu cocok dan sependapat dalam setiap hal. Itu tidak mungkin sebab tidak ada orang yang bisa terus-menerus seperti itu. Namun, perbedaan pendapat tidak harus berarti tidak lagi bisa sejiwa dan sehati. Kita bisa berbeda atau bahkan berdebat, tetapi tujuan kita tetap sama. Kita mungkin mempunyai kecepatan berjalan yang berbeda, tetapi menuju tujuan yang sama. Artinya, meski ada banyak perbedaan dalam komunitas perdana tetapi perbedaan itu tidak memisahkan atau menghalangi untuk tetap sehati dan sejiwa melakukan visi dan misi bersama.
11. Bersama-sama belum tentu saling memikirkan kepentingan bersama-sama. Sada kiniteken tapi lenga tentu siteken (satu kepercayaan belum tentu saling mempercayai). Kebersamaan sesungguhnya dimulai dari hati dan diwujudkan melalui kebiasaan berbagi. Dimulai dari pengajaran yang benar, doa yang benar. Tanpa motivasi tulus dari dalam hati pemberian bantuan hanyalah keterpaksaan atau pencitraan.
12. Para rasul juga menjadi orang yang bisa dipercayai dan mampu mengatur untuk kebutuhan orang yang membutuhkan. Sehati sejiwa tetapi tetap juga harus transparan. Betapa penting jemaat-jemaat memiliki kepercayaan terhadap para rasul dan para rasul juga menjadi orang yang bisa dipercaya termasuk dalam hal keuangan. Jangan lupa bahwa “akar segala kejahatan ialah cinta uang dan karena memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman...” (1 Tim. 6:10). Jemaat mula-mula mempersembahkan pemberian mereka kepada para rasul tetapi bukan untuk para rasul, tetapi untuk mereka yang membutuhkan (ay. 35). Jemaat mula-mula tidak mau mengatur persembahan mereka sendiri. Tetapi kemudian, para rasul mengatur persembahan itu untuk kebaikan orang lain, bukan untuk kebutuhan diri sendiri.
13. Minggu Quasimodogeniti, seperti bayi yang baru lahir. Begitu turunya Roh Kudus ada banyak orang-orang percaya baru yang bertambah setiap hari. Ada banyak orang-orang yang lahir baru, memberi diri untuk menjadi Kristen. Pada saat jemaat mula-mula dipenuhi oleh Roh Kudus pada Hari Pentakosta (2:1-11) dan banyak orang bertobat melalui khotbah Petrus (2:37-41), kumpulan orang percaya tersebut juga menunjukkan kebiasaan baru (2:42-47). Mereka bertekun dalam pengajaran para rasul, persekutuan, sakramen dan doa. Lahir kembali di dalam Kristus menjadikan munculnya kebiasaan baru. Ula kari enggo ndekah jadi Kristen, tapi Keri Sitik Mis Tensin.
Kehadiran Roh Kudus dalam komunitas Kristen membawa transformasi dalam berbagai sisi. Ada kebiasaan baru yang positif. Tercipta sebuah kebiasaan baru yang melampaui kebiasaan pada zaman atau umumnya. Jadi, Roh Kudus bukan hanya memberikan karunia-karunia rohani yang terlihat spektakuler atau harus wah!! Dia juga memampukan setiap orang percaya untuk memainkan mengambil bagian dalam kehidupan sesama. Orang yang dipenuhi Roh Kudus hatinya ditarik ke arah vertikal (bagi Allah) dan horizontal (bagi orang lain).
14. Kebiasaan baru muncul bukan karena emosi sesaat. Ada banyak orang yang tiba-tiba baik, tiba-tiba murah hati, dsb. Kebiasaan berbagi di 4:34-37 bukan sebuah respons spontan yang emosional belaka. Jemaat mula-mula secara sadar melakukanya. Mereka berbagi bukan karena ada materi saja, tetapi mereka juga karena memiliki hati yang benar, dasar/ doktrin yang benar, doa yang tiada henti dan lebih lagi anugerah Kristus.
Salam
Pdt. Dasma Sejahtera Turnip, S.Th
GBKP Rg. Palangka Raya