Minggu 21 Februari 2021 ; Kejadian 9 : 8 -17
Invocatio : “Aku akan menaruh yang sepertiga itu dalam api dan akan memurnikan mereka seperti orang memurnikan perak. Aku akan menguji mereka, seperti orang menguji emas. Mereka akan memanggil nama-Ku, dan Aku akan menjawab mereka. Aku akan berkata: Mereka adalah umat-Ku, dan mereka akan menjawab: TUHAN adalah Allahku!” (Za.13:9)
Bacaan : 1 Petrus 3 : 18 - 22
Khotbah : Kejadian 9 : 8 - 17
Tema : “Janji Dan Kuasa Allah”
Keselamatan yang dialami Nuh dan anak-anaknya dari air bah menandai suatu era kehidupan baru. Bumi telah dibersihkan dari dosa. Umat yang berdosa telah menolak untuk bertobat dan berjalan dalam kebenaran Tuhan, sehingga Dia memutuskan untuk membinasakan mereka dengan air bah. Saat Nuh dan anak-anaknya keluar bahtera dan menginjak tanah, sesungguhnya mereka berada di bumi yang baru. Mereka kini memiliki peran dan kemungkinan baru dalam episode sejarah keselamatan yang Allah sediakan. Dengan respon iman yang tepat, Nuh mengawali episode baru tersebut dengan mempersembahkan persembahan syukur kepada Allah. Ketika Allah mencium persembahan yang harum itu, Dia berfirman, “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan” (Kej. 8:21).
Nuh dan anak-anaknya memilih untuk mengawali era kehidupan baru dengan sikap merendahkan diri dan mengucap syukur atas kasih karunia Allah agar mereka dimampukan berjalan dalam kebenaranNya. Mereka tidak menganggap keselamatan dari bencana air bah sebagai hukuman Allah tersebut sekadar peristiwa kebetulan, tetapi dengan sadar dihayati sebagai wujud rencanaNya yang memanggil mereka untuk menjadi berkat dan keselamatan bagi umat manusia selanjutnya. Tidaklah mengherankan jika Allah mengawali era kehidupan baru tersebut dengan mengadakan perjanjian keselamatan dengan Nuh. Perjanjian keselamatan Allah dengan Nuh tersebut didasarkan pada janji firmanNya, yaitu bahwa Allah tidak akan membinasakan lagi segala yang hidup, walaupun yang ditimbulkan hati mereka adalah jahat dari sejak kecilnya. Perjanjian keselamatan Allah dengan Nuh sama sekali didasarkan pada anugerah pengampunanNya. Dalam konteks ini, Allah tampil lebih sebagai seorang Penyelamat daripada pembinasa umat manusia. Tujuannya adalah agar seluruh umat manusia yang lahir dari keturunan Nuh dapat berjalan dalam kebenaranNya.
Namun, perlu juga diingat bahwa Allah memilih Nuh karena selama ini, ia terbukti mampu hidup benar di tengah masyarakat dan umat yang begitu jahat. Itu sebabnya, Kejadian 6:9 menyaksikan, “Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah”. Pola kehidupan Nuh sangat kontras dengan pola hidup manusia sezamannya yang amoral dan melakukan berbagai kekerasan dan kejahatan. Nuh mampu bertahan dengan hidup suci dan konsisten berjalan dalam kebenaran Tuhan. Ia berhasil menghadapi pengaruh dan tekanan zaman dengan penyerahan hidup yang selalu taat pada firman Tuhan. Karena itu, ciri menonjol dalam kepribadian Nuh adalah integritasnya, sehingga ia adalah satu-satunya orang yang tamim (dalam Bahasa Ibrani berarti hidup benar dan tidak bercela di hadapan Allah dan sesamanya).
Nuh senantiasa hidup dalam prinsip iman yang menempatkan kehendak Allah sebagai yang terutama dan termulia. Di sisi lain, pola keteladanan hidup Nuh tersebut dalam kehidupan sehari-hari justru sering kita abaikan. Kehendak Allah dan firmanNya justru sering kita anggap hanya sekadar menjadi salah satu bagian yang melengkapi berbagai kebutuhan religius dan psikologi kita. Bukankah kehidupan sehari-hari kita sering tidak menempatkan kehendak Allah dan firmanNya sebagai satu-satunya fondasi yang paling utama dan mulia? Kita sering terlalu cepat dan mudah untuk menyerap atau mengadaptasi setiap trend yang berkembang tanpa sikap kritis dan selektif, apalagi bila trend tersebut didukung banyak orang atau teman di sekitar kita.
Sendi-sendi kehidupan kita sesungguhnya dijalin, dipintal dan bertumbuh karena relasi eksistensial. Relasi eksistensial yang dimaksud meliputi relasi dengan Allah, sesama, lingkungan dan diri kita sendiri. Putusnya salah satu aspek relasi tersebut akan menghambat atau merusak proses pertumbuhan dan sendi-sendi kepribadian kita. Akibatnya, pertahanan diri kita akan rapuh dan mudah terbelenggu oleh pergaulan yang makin menyeret kita ke arah yang negatif dan destruktif. Hakikat relasi dengan Allah, sesama, lingkungan dan diri sendiri bukan sekadar suatu kebutuhan sosial dengan “pihak lain”, melainkan juga dasar untuk menciptakan pemaknaan terhadap hidup ini. Pemaknaan tersebut akan mendorong kita untuk menciptakan arah dan tujuan hidup tertentu. Itu sebabnya, apabila relasi kita retak, khususnya dengan Allah, sesama dan diri sendiri, kita akan kehilangan makna dan tujuan dari hidup ini. Pada saat itulah, kita akan mengalami kehidupan yang tanpa arti dan tujuan. Hidup terasa gelap dan kelam.
Pada posisi demikian, setiap orang yang mengalaminya akan sangat mudah untuk ditarik ke dalam pusaran duniawi yang sebelumnya sangat ia tolak. Sekali ia memasuki kawasan duniawi, sangat sulit baginya untuk keluar dengan selamat. Ia merasa telah kepalang basah. Dengan pemahaman demikian, kita dapat mengerti mengapa seseorang yang telah terjebak dalam suatu perbuatan dosa sangat sulit untuk dinasihati atau dikritik. Jadi, sangat keliru apabila kita berlaku kasar dan menyudutkan sesama yang sedang jatuh dalam dosa, agar ia bertobat dan menyesal, karena ia akan makin mengeraskan hati dan membenamkan diri lebih dalam ke berbagai perbuatan dosa. Yang sangat ia butuhkan adalah relasi yang penuh kasih dan pengertian, sehingga sedikit demi sedikit ia dapat memulihkan relasi eksistensial yang terputus. Dalam konteks demikian, Allah berkenan menyatakan anugerah kasihNya, sehingga relasiNya dengan manusia diikat oleh perjanjian keselamatan.
Di era baru setelah air bah, Allah tidak lagi mengambil solusi hukuman untuk membinasakan umat manusia, tetapi mengikutsertakan manusia sebagai mitraNya dalam perjanjian keselamatan. Dalam Kejadian 9:12-12, Allah berfirman, “Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala mahkluk yang hidup, yang bersama-sama dengan kamu, turun-temurun, untuk selama-lamanya: BusurKu Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi”. Tanda perjanjian keselamatan Allah yang penuh anugerah dinyatakan dalam simbol busur (qeset). Semula, busur yang dilengkapi dengan anak panah dipakai Allah untuk memanah tiap orang berdosa, sehingga mereka binasa. Tetapi, setelah bumi dibersihkan dari perbuatan dosa, Allah mengambil keputusan untuk menempatkan kasih karuniaNya yang memperbarui kehidupan umat yang berdosa. Karena itu, simbol busur yang dilambangkan dalam wujud pelangi bermakna tumbuhnya pengharapan dan keselamatan yang baru. Busur Allah yang pernah membinasakan kehidupan umat kini berubah fungsi menjadi busur Penebus dan Penyelamat orang berdosa.
Sebagai Penebus dan Penyelamat, Allah menggunakan busur dan senjataNya untuk menjaga dan melindungi umat agar mereka terjaga dari serangan kuasa maut. Itu sebabnya dosa yang begitu besar tidak lagi menghalangi kasih karunia Allah yang terus bekerja dalam kehidupan ini, sehingga umat dikaruniai pengharapan dan kesempatan untuk bertobat. Busur Allah yang ditampilkan dalam bentuk pelangi juga mengingatkan umat agar mereka selalu ingat akan kasih karuniaNya yang menjaga dan melindungi mereka, sehingga umat dapat menjaga diri dari dorongan dan daya tarik dunia seperti yang pernah dilakukan orang pada zaman Nuh.
Jalan kebenaran Allah hanya dinyatakan kepada orang yang rendah hati. Spiritualitas kerendahan hati itulah yang menjadi pintu utama karya keselamatan Allah. Melalui karya penebusan Kristus, Allah mendamaikan diri kita yang berdosa agar dapat menjadi orang yang dibenarkan. Dalam 1 Petrus 3:18 dikatakan, “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaanNya sebagai manusia, tetapi Ia yang telah dibangkitkan menurut Roh”.
Karya penebusan Kristus bagi orang berdosa tidak dilakukan dengan cara menghukum atau membinasakan umat dengan air bah sebagaimana yang dilakukan Allah pada zaman Nuh. Hal itu dilakukan Kristus dengan cara menyerahkan diriNya sebagai tebusan bagi umat manusia melalui kematian dan kebangkitanNya. Akar dosa tidak dipotong dengan mematikan kehidupan umat manusia, tetapi dengan cara mengurbankan diriNya. Tepatnya, Kristus datang untuk memberi kehdiupan agar orang berdosa dapat memperoleh hidup dalam kelimpahan rahmat Allah. Bahkan lebih jauh lagi, 1 Petrus menyaksikan bahwa karya keselamatan Kristus juga menjangkau roh-roh manusia yang dahulu dibinasakan Allah pada zaman Nuh. Surat 1 Petrus 3:19-20 mengatakan, “Dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepad roh-roh yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-roh mereka yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah, ketika Allah tetap menanti dengan sabar waktu Nuh sedang mempersiapkan bahteranya, di mana hanya sedikit, yaitu delapan orang, yang diselamatkan oleh air bah itu”. Karya keselamatan Kristus yang memberi hidup pada hakikatnya merupakan perwujudan dari busur Allah, sehingga melalui kematian dan kebangkitanNya, Kristus mematahkan kuasa maut. Selain itu, dengan kematian dan kebangkitanNya, Kristus juga telah memanahkan ribuan “anak panah” kasih Allah yang menghancurkan tiap hati yang keras dan mereka yang terbelenggu kuasa dosa. Dengan demikian melalui dan di dalam Kristus, terbukalah kini jalan Tuhan yang transformatif. Apabila umat manusia sejak semula selalu gagal untuk berjalan dalam kebenaran Allah karena dicengkeram oleh kuasa dosa, kini di dalam Kristus, kita dimampukan oleh kuasa anugerahNya sehingga kita dapat hidup sebagai anak-anakNya.
Pdt. Andreas Pranata Meliala, S.Th
GBKP Rg. Cibinong