Minggu 15 Maret 2020 ; Roma 8 : 18-25
Invocatio : “Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia” (1 Kor. 15:19)
Bacaan : Mazmur 25:15-22
Khotbah : Roma 8:18-25
Tema : “Dibata Ingan Erpengarapen / Tuhan Tempat Berpengharapan”
PENDAHULUAN
Dari seluruh ciptaan Allah hanya manusialah yang memiliki pengharapan di dalam hidupnya, meskipun tidak semuanya manusia berpengharapan kepada Allah. Adapun pengharapan itu seperti, orang tua yang berpengharapan kepada Allah tentang pendidikan dan pekerjaan anak-anaknya, ibu yang berpengharapan kepada Allah agar kebutuhan sehari-hari di rumah selalu cukup, siswa-siswi berpengharapan kepada Allah agar memperoleh nilai yang baik, seorang pemuda/pemudi yang berpengharapan kepada Allah agar mendapat pendamping yang baik dan setia, dan pengharapan lainnya.
Harapan pasti akan ada di dalam diri dan jiwa seseorang apabila dia percaya dan yakin akan kesetiaanNya. Sering terjadi malah kita yang tidak setia kepada Allah itu hal wajar, tetapi jika Allah tidak setia kepada kita pasti itu tidak wajar. Maksudnya adalah Allah selalu setia kepada janjiNya dan kasihNya, hanya saja kita tidak tau kapan dan dimana itu terjadi tetapi iman kita dapat merasakan hal itu.
Paulus mengingatkan kembali melalui suratnya agar jemaat memiliki pengharapan hanya kepada Allah saja, meskipun ada banyak pengetahuan dan perkembangan yang terjadi pada waktu itu. Hal itu ditentang secara tidak langsung dengan pernyataan; Jangan pernah berpengharapan kepada dunia ini, sebab dunia ini boleh saja memberikan tawaran yang sangat luar biasa namun akhirnya tidak tahu kepastiannya. Hanya Allah saja yang memberikan kepastian yaitu kebangkitan Yesus Kristus dari kematian dan naik ke sorga menyediakan tempat bagi kita. Pengaharapan kepada Allah merupakan sikap yang benar dan harus tetap dipertahankan di dalam iman percaya kepada Yesus Kristus.
PENDALAMAN NAS
Pengharapan dapat kita artikan sebagai permohonan, minta ,keinginan supaya sesuatu terjadi dan sesuatu itu biasanya hal yang sesuai dengan kebutuhan atau keinginan(Bnd. Ibrani 6:19-20). Jadi Pengharapan tidak berdiri sendiri tapi bersanding dengan iman, karena iman membuat orang memiliki pengharapan kepada Allah.
Yang harus kita pahami, pengharapan berbeda dengan keinginan . Menginginkan adalah sesuatu yang kita mau untuk memuaskan diri kita pribadi. Sedangkan pengharapan adalah sikap dan cara hidup yang mengandalkan pada apa yang Allah kehendaki. Hidup dalam pengharapan adalah hidup yang mendasarkan diri pada anugerah keselamatan Allah di dalam diri Tuhan Yesus Kristus, karena di dalam diri-Nya ada pengharapan kehidupan.
Banyak orang kecewa, marah dengan keadaan atau penderitaan yang dialami dalam kehidupannya. Mereka mulai menyalahkan Tuhan atas apa yang dialami. Dengan kekecewaan yang kita alami. Akhirnya kita melakukan tindakan yangtidak logis untuk keluar dari permasalahan yang ada, apa pun caranya, tidak peduli apakah jalan yang ditempuhnya nanti berujung pada kesia-siaan, seperti tertulis: “Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut.” Itu terjadi karena kita di dalam berpengharapan hanya “suam-suam kukuoh Kudus.
Hidup oleh Roh di samping hidup dipimpin oleh Roh Kudus, tetapi hidup itu memiliki orientasi atau juntrungan akan pengharapan dari Allah selama kita hidup bahkan pada saat kemuliaan dinyatakan pada kita. Pemuliaan inilah tujuan pengharapan sejati di dalam Kristus. Hal inilah yang Paulus ajarkan.Tetapi pengharapan sejati tidak membuat kita terbebas dari penderitaan.
Setelah mempelajari tentang makna dan penyebab hidup oleh Roh, Paulus mulai menjelaskan tentang hubungan erat antara hidup oleh Roh dengan pengharapan sejati anak-anak Allah di ayat 18 s/d 25. Hidup oleh Roh bukan hanya hidup dipimpin oleh Roh Kudus, tetapi hidup itu memiliki arah pengharapan yang pasti karena Allah Pribadi Ketiga yang memimpin hidup kita sampai kepada akhir hidup kita. Inilah kepastian hidup Kristen yang tidak mungkin dimiliki oleh orang-orangnon-Kristenlainnya.Penderitaan yang dipaparkan oleh Paulus pada ayat 17 sebagai salah satu janji Allah yang kita terima tidak berhenti hanya di dalam penderitaan, tetapi berlanjut sampai kepada pemuliaan. Pemuliaan inilah tujuan pengharapan sejati di dalam Kristus. Sehingga dengan penuh iman, di pasal 8 ayat 18, Paulus mengajarkan, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita”. Kata “yakin” di dalam ayat ini tidak berarti beriman, karena beberapa terjemahan menerjemahkan bukan believe, tetapi : reckon (berharap/menganggap) dalam King James Version ; consider (menganggap/memperhatikan/memikirkan) dalam English Standard Version, International Standard Version, New American Standard Bible dan New International Version. Lalu, apa yang kita harapkan di dalam penderitaan? Di dalam penderitaan, kita bukan berfokus pada penderitaan sesaat, tetapi berfokus kepada Kristus dan hidup oleh Roh, sehingga hidup kita dipenuhi dengan sukacita Kristus ketika menghadapi penderitaan. Oleh karena itu, Paulus dengan berani menyatakan pengharapannya bahwa penderitaan (atau bisa diterjemahkan: kesukaran) zaman sekarang ini tidak bisa dibandingkan (atau bisa diterjemahkan: tidak layak dibandingkan) dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.Mata iman Paulus bukan mata yang memandang kepada kesementaraan, tetapi kepada kekekalan dan jaminan hidup kekal. Agama palsu duniawi tidak akan pernah mampu menjamin keselamatan umat manusia kelak di Surga, karena mereka tidak memiliki kunci ke sana, tetapi puji Tuhan, Kristus itu adalah kunci ke Surga telah tersedia bagi umat pilihan-Nya yang percaya, sehingga mereka tidak lagi terkatung-katung di dalam penderitaan semu dunia, tetapi memiliki pengharapan yang pasti bahwa kelak mereka pasti bersama-Nya di Surga.
Di ayat 19, Paulus menjelaskannya, “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan”. Pengharapan sejati ini ada karena adanya pemuliaan anak-anak Allah yang akan terjadi di dalam kekekalan. Kata “makhluk” di dalam ayat ini adalah ciptaan (creature). Dengan kata lain, ayat ini mengajarkan bahwa semua ciptaan dengan sangat rindu menantikan pemuliaan anak-anak Allah. Sungguh menarik, di dalam ayat ini, anak-anak Allah bukan memuliakan diri, tetapi dimuliakan. Inilah keKristenan. Melihat keKristenan harus melihat Kristus sebagai pusat, karena keKristenan tanpa Kristus adalah sia-sia/mati.
Kemudian, Paulus menapak tilas kondisi awal manusia dan ciptaan lainnya dengan mengatakan di ayat 20, “Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya”.Kata “makhluk” di dalam ayat 19 (juga ayat 20) ditafsirkan sebagai dunia (world) oleh Geneva BibleTranslation Notes. Karena manusia berdosa, seluruh ciptaan Allah juga rusak total. Inilah efek tragis dosa manusia. Dosa juga mengakibatkan seluruh dunia/ciptaan juga menjadi sia-sia. Kata “sia-sia” diterjemahkan KJV : vanity (=keadaan yang tidak berguna lagi) ; ESV dan NASB : futility (=kesia-siaan/kehampaan) ; dan dalam bahasa Yunani : mataiotēs (artinya: inutility {=tidak berguna}, secara figuratif berarti transientness {=kesementaraan}, secara moral berarti depravity {=kerusakan}). Kesia-siaan ini timbul dalam berbagai bentuk, misalnya sesama hewan saling memangsa, membunuh, hewan juga takut dengan manusia, begitu juga sebaliknya. Semua bentuk itu menunjukkan bahwa makhluk hidup di dunia hidup dengan kesia-siaan tanpa arti diakibatkan oleh dosa manusia (lihat Kejadian 3:17-19). Lalu, kesia-siaan atau kerusakan dunia ini diizinkan oleh kehendak Allah. Allah mengizinkan dosa terjadi di dalam dunia, tetapi ingat, bukan Allah sebagai penyebab dosa. Lalu, mengapa Allah mengizinkan dosa? Karena Allah ingin menunjukkan betapa rapuh dan rusaknya manusia tanpa-Nya. Hal ini seharusnya menyadarkan kita betapa kita tak berharga dan tak memiliki hidup yang bermakna jika tanpa-Nya.
Tetapi, di tengah-tengah ketiadapengharapan, di ayat 21, Tuhan melalui Paulus mengingatkan, “tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah”. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), kata “ciptaan” sejak dari ayat 19 diterjemahkan : “alam”. Kembali, karena manusia sudah berdosa dan rusak total, maka alam semesta juga rusak dan hancur, tetapi puji Tuhan, Allah menganugerahkan keselamatan bagi umat pilihan-Nya yang berdosa di dalam Kristus, dan tentunya keselamatan ini bukan hanya keselamatan manusia, tetapi juga keselamatan dan pemulihan alam semesta. Penebusan dan keselamatan alam semesta ini menjadi “tempat” persiapan kita hidup di dalam langit dan bumi yang baru kelak di mana tidak ada lagi penderitaan, ratap tangis, dll (Wahyu 21). Di dalam langit dan bumi yang baru ini, semua ciptaan dan umat pilihan-Nya akan disempurnakan dan dimuliakan bersama-sama, di mana khususnya umat pilihan-Nya (anak-anak Allah) diberi tubuh baru yang tak bisa lagi berdosa (Augustinus menyebutnya : non-possepeccare). Inilah pengharapan kedua yang diterima oleh anak-anak Allah, yaitu hidup bersama-sama di dalam langit dan bumi yang baru.
Lalu, apakah pengharapan sejati ini membutakan kita dan mengakibatkan kita tidak perlu menderita ? TIDAK. Paulus kembali menyatakan hal ini di dalam ayat 22 s/d 23, “Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita”. Seluruh dunia/ciptaan/alam meskipun memiliki pengharapan kelak, mereka tetap harus mengeluh dan menderita seperti perempuan yang sakit bersalin. Bukan hanya alam, kita yang dikatakan telah menerima karunia sulung Roh pun harus menderita dan mengeluh di dalam dunia yang fana ini. Sungguh menarik, kita disebut telah menerima karunia sulung Roh. Pernyataan “karunia sulung” dalam KJV diterjemahkan firstfruits (=buah pertama) dan bahasa asli (Yunani)nya menerjemahkan aparchē yang berarti a beginningofsacrifice (=permulaan/awal penebusan/pengorbanan). Ini berarti anak-anak Allah adalah umat pilihan-Nya yang pertama kali menerima karunia sulung Roh Kudus yang menjadikan mereka anak-anak Allah di dalam Kristus. Mengapa disebutkan pertama kali? Karena penebusan pertama berlaku pada manusia pilihan-Nya, dan kedua berlaku pada kosmos/dunia (penebusan kosmis) sebagai efek dari penebusan manusia. Ini menandakan bahwa manusia pilihan-Nya yang memiliki status yang lebih tinggi dari alam pun tetap harus mengeluh dan menderita di dalam dunia ini. Meskipun kita memiliki pengharapan akan kemuliaan kita di dalam kekekalan, kita tetap harus rela menderita di dalam dunia yang semu ini. Sambil menderita, Paulus mengingatkan kita untuk terus merindukan tempat kediaman Surgawi jauh melebihi tempat kediaman kita di dunia ini. Dengan demikian, hidup dan keselamatan Kristen bersifat paradoks, yaitu sudah (already) dan belum (not yet). Kita sebagai umat pilihan-Nya hidup di dalam dua dunia, yaitu dunia kita sekarang yang fana dan dunia kekekalan. Kita juga menjadi warga negara di dalam dua dunia ini, sehingga kita dituntut untuk bertanggungjawab di dalam dunia yang fana ini dengan perspektif dunia Surgawi.
Inilah status kita sebagai anak-anak Allah, yang lahir dari Allah (1 Yohanes 3:9). Kita memang adalah anak-anak Allah karena Roh Kudus mengadopsi kita di dalam Kristus menjadi anak-anak Allah, tetapi status kita masih belum sempurna, karena status kita menjadi anak-anak Allah sempurna ketika kita semua berada di dalam kekekalan (1 Yohanes 3:2). Itulah sebabnya mengapa Paulus di ayat 23 ini mengatakan, “...sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita”. Kata “pembebasan” dalam pernyataan “pembebasan tubuh” seharusnya diterjemahkan penebusan tubuh (KJV : theredemptionofourbody ; ESV dan ISV : theredemptionofourbodies), karena pernyataan “pembebasan tubuh” bisa salah ditafsirkan dan seolah-olah mirip dengan ajaran filsafat Yunani yang mengajarkan bahwa keselamatan adalah pembebasan jiwa dari tubuh.
Kemudian, di ayat 24 s/d 25, Paulus menjelaskan ayat 23 yaitu “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun”. Kalaupun harus menderita, Paulus tetap mengingatkan dan menghibur orang Kristen bahwa mereka diselamatkan dalam pengharapan. Dengan kata lain, kata “diselamatkan” bisa berarti diselamatkan dalam ketegangan paradoksikal, yaitu sudah dan belum (lihat penjelasan di atas). Saya sampai pada kesimpulan ini, karena kalimat selanjutnya menjelaskan bahwa pengharapan ini bukanlah pengharapan yang dilihat, karena pengharapan yang dilihat bukanlah pengharapan, tetapi pengharapan ini adalah sesuatu yang tidak dilihat. Inilah pengharapan sejati ketiga yaitu kita berharap kepada sesuatu yang tidak dilihat. Pengharapan ini disertai dengan iman yang teguh. Pengharapan pasti kepada yang tidak dilihat ini mengakibatkan kita hidup terus-menerus ingin memuliakan Allah, karena kita berharap kepada Allah yang layak dipercaya (trustworthy) dan akan memuliakan kita bersama-Nya.
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita hari ini mau bertekun menantikan pengharapan sejati di dalam Kristus yang akan memimpin setiap langkah hidup kita melalui Roh Kudus ? Pengharapan itulah yang akan dinikmati oleh setiap anak-anak Allah yang hidup menurut Roh. Sudahkah kita hidup menurut Roh dan mengalami pengharapan yang pasti yang tidak dilihat ini?
APLIKASI
Meskipun kita memiliki pengharapan akan kemuliaan kita di dalam kekekalan, kita tetap harus rela menderita di dalam dunia yang semu ini. Hidup dan keselamatan Kristen bersifat paradoks, yaitu sudah (already) dan belum (not yet).Pengharapan itulah yang akan dinikmati oleh setiap kita yang hidup menurut Roh. Sudahkah kita hidup menurut Roh dan beriman akan pengharapan yang pasti?Setiap kita pasti selalu berharap bahwa perjalanan hidup kita baik-baik saja tanpa hambatan yang merintangi. Demikian pun Tuhan selalu ingin kita menjadi kuat seperti rajawali, yang meskipun harus melewati badai tetapi mampu terbang tinggi.Tuhan tidak pernah membiarkan kita bergumul seorang diri, Dia sangat peduli dan sanggup memberikan pengharapan yang pasti dan tidak pernah mengecewakan!Kita harus yakin dan berpengharapan bahwa di dalam Tuhan bahwa “pasti ada jalan keluar.” Sesulit apapun persoalannya, jalan keluar selalu tersedia. Yang perlu diingat, kesulitan adalah bukan akhir dari segala-galanya.
Tekun dan penuh motivasi dalam berpengharapan merupakan syarat untuk bisamemiliki pengharapan yang berkemenangan.Tantangan kehidupan adalah sebuah harapan bahwa di balik sebuah tantangan, selalu ada makna, hasil sesuatu yang didapatkan. Berserah kepada kehendak Tuhan Filipi 4:13 menyaksikan bahwa “segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”
Hidup sebagai orang percaya bukanlah hidup yang hanya untuk mendapatkan sesuatu dari Tuhan.
Hidup berpengharapan dapat mengandung sikap dan tindakan yang percaya akan pengharapan janji Tuhan dalam kemuliaan.Sikap dan tindakan hidup yang terus menerus berjuang menuju kesempurnaan walaupun susah kita tetap berusaha.Hidup yang terus memandang ke depan kepada rencana Allah.
Saudaraku marilah kita berpegang teguh pada pengharapan yang kita imani, sebab Dia yang kita imani itu adalah setia. Telah teruji dari dunia perjanjian lama sampai saat ini. Masihkan kita bimbang akan hal itu? Jika tidak bimbang, mengapa masih ada diantara kita yang tidak mau bangkit dari setiap masalah-masalah dan pergumulan hidupnya?
Bagaimana kita yang mempunyai masalah agar mempunyai pengaharapan hanya kepada Allah yang setia saja? Mungkin kita tidak cukup disuguhkan dengan kata-kata yang bermuara pasti Tuhan Yesus menolong, memberikan jalan keluar, dsb. Tetapi jangan salah, yang pasti Allah tau dan sudah merancang kebaikan bagi kita yang mempunyai masalah dan pergumulan hidup di dalam pengharapan kita kepada Dia. Untuk itu, marilah kita teguhkan kembali pengharapan kita pada dasar yang setia yaitu Yesus Kristus.
Ibrani 10:23 “Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia”.
Pdt. Irwanta Brahmana
(GBKP Rg. Surabaya)