Suplemen Khotbah Minggu Tgl 24 Juni 2018 ; Lukas 2 : 39-52
Khotbah Minggu 24 Juni 2018
(Minggu IV Kenca Trinitatis/ Minggu Pendidikan)
Invocatio : Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka
pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu (Amsal 22 : 6)
Bacaan : Ulangan 6 : 1 - 9 (Tunggal)
Khotbah : Lukas 2 : 39 – 52 (Tunggal)
Tema : Semakin Besar Semakin Berhikmat
Pendahuluan
Saudara-saudari yang terkasih, Minggu ini selain disebut minggu ke 4 setelah Trinitas, gereja kita GBKP menyebut minggu ini sebagai Minggu Pendidikan. Gereja dipanggil untuk ikut mencerdaskan kehidupan warga gereja dan bangsa. Kebodohan dan keterbelakangan adalah musuh bersama yang harus dilawan dan diterangi. Kita bersukur atas keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Kristen di negara kita. 4 dari 5 sekolah SMA di Indonesia tahun 2018 ini adalah sekolah-sekolah Kristen yang menghasilkan lulusan terbaik. Perlombaan olimpiade dalam berbagai bidang mata pelajaran baik tingkat nasional maupun internasional umumnya dimenangkan siswa-siswi dari sekolah Kristen. Gereja harus terus berbuat sesuatu agar anak-anak bangsa dan generasi muda menjadi pribadi yang terdidik. Kita merindukan agar semakin banyak anak-anak, remaja dan pemuda kita menjadi cerdas dan bijak. Pribadi cerdas, pintar dan bijaklah yang bisa lebih lagi menjadi berkat bagi banyak orang. Untuk mendalami minggu pendidikan ini marilah kita belajar dari Firman Tuhan.
ISI
Yesus membuat semua orang sangat heran mendengar kecerdasanNya di usia 12 tahun (ayat 39, 41-48)
“Tiap-tiap tahun orangtua Yesus yaitu Yusuf dan Maria pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah” (ayat 41). Sebelum ayat di atas kita diberitahun bahwa Yusuf dan Maria taat dan patuh menjalankan perintah Taurat. Mereka membawa bayi Yesus yang berumur 8 hari untuk disunat. Selanjutkan mereka menjalankan upacara pentahiran juga bagi Yesus (ayat 21-38). Ketika Yesus telah berumur 12 tahun, Yusuf dan Maria membawa Yesus ke Yerusalem untuk mengikuti hari raya Paskah. Mereka bertiga pergi untuk mengikuti Paskah. Sesuatu terjadi ketika dalam perjalanan pulang sangka Yusuf dan Maria bahwa Yesus ikut dalam iring-iringan pulang kembali ke Nazaret. Ternyata Yesus tidak ikut pulang tetapi tinggal di Bait Allah di Yerusalem. Ia ada di tengah-tengah para alim ulama atau pengajar Taurat di Bait Allah. Yesus tekun mendengar mereka dan bertanya kepada mereka. Ia juga ditanya oleh para alim utama. Ketika Yesus menjawab, semua orang sangat heran, takjub mendengar jawabanNya. Jelas sekali terdengar dan terlihat akan kecerdasanNya yang luar biasa.
Beberapa waktu yang lalu musisi Erwin Gutawa mengumpulkan anak-anak pra remaja yang memiliki bakat seni khususnya tarik suara. Dia memberi nama grup penyanyi remaja tersebut DR2 (Diatas Rata-Rata). Mengapa disebut ‘Diatas Rata-Rata’ karena memang olah vocal mereka yang melebihi manusia pada umumnya. Kita mau anak-anak kita tidak sekedar saja dalam iman dan ilmu. Kita tidak mau anak-anak kita hanya mencapai rata-rata saja apalagi di bawah standar. Kita mau mereka di atas rata-rata. Kita mau anak-anak kta memeliki nilai plus. Kita mau agar anak-anak kita cerdas dan bijak. Dalam hal ini peran orangtua tidak bisa dilepaskan. Peran orangtua memegang peranan penting. Orangtua harus menunjukkan keteladanan bagi anak-anaknya. Disiplin harus dimulai dari orangtua. Seperti Yusuf dan Maria displin dan rutin pergi merayakan Paskah ke Yerusalem, demikianlah kita orangtua harus displin dalam iman/ rohani, displin dalam hidup, pekerjaan dan bersosial-masyarakat. Selanjutnya orangtua wajib mengajarkannya dan mengingatkannya terus dan tetap (kontinyu dan konsisten) terhadap anak-anaknya. Ingatlah firman Tuhan yang mengatakan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6). Dan firman ini mendapat penegasan lagi dari bacaan pertama Ulangan 6:1-9. Dari Ulangan 6 kita diingatkan bahwa mengajar dan mendidik anak adalah keharusan, kewajiban. Kalau kita mau agar kehadiran anak-anak kita di gereja, di sekolah, di masyarakat menimbulkan decak kagum oleh karena kecerdasannya maka marilah kita mulai dengan displin mulai dari kita orangtua. Seperti menuntun kuda melewati sungai, maka kitalah pertama yang harus turun ke sungai dan menarik kuda dari depan.
Yesus semakin besar dan semakin bertambah hikmatNya (ayat 40, 52a)
Lazimnya semua bayi yang lahir akan bertambah dan bertumbuh besar. Demikianlah yang terjadi terhadap Yesus dalam kemanusiaanNya. Yesus bertumbuh dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada padaNya (ayat 40). Semakin besar Dia, semakin bertambah dan berkembang hikmatNya (ayat 52a).
W.R. Supratman adalah pencipta lagu kebangsaan kita “Indonesia Raya”. Perhatikan liriknya tentang cara membangun orangnya, rakyat dan bangsa kita Indonesia. Kata-kata:
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia raya
Yang pertama sekali yang mau dibangun menurut Supratman adalah jiwanya. Baru membangun badannya, phisiknya. Untuk apa yaitu Indonisa raya, Indonesia jaya. Pertumbuhan yang menyeluruh, seimbang dan sepenuh itulah harapan kita terhadapan anak-anak kita. Bertumbuh secara jasmani, jiwani dan rohani. Tidak cukup hanya dengan menyediakan dan mencukupkan makanan dan keperluan keseharian. Tapi juga menyediakan kebutuhan jiwa anak dan rohaninya. Janganlah anak-anak kita seperti berudu (Karo: Berek), besar kepala tapi kecil badan dan ekor. Tidak seimbang. Artinya diajar hanya soal pengetahuan/ kognitif saja tapi tidak memikirkan hati dan jiwanya. Ada ungkapan dan singkatan ‘UCOK’ yaitu Umur Cukup Otak Kurang. Kiranya hal seperti ini jauh dari anak-anak Kristen. Kita mau agar anak-anak kita bertumbuh secara seimbang dan menyeluruh. Kita mau agar anak-anak kita sehat secara jasmani, sehat jiwani dan rohani. Tema: “Semakin Besar Semakin Berhikmat”. Semakin besar seyogianya semakin pintar, bukan sebaliknya semakin besar semakin liar. Bertambah umur itu pasti, tetap bertambah hikmat dan bijaksana itu pilihan. Kalau kita mau anak-anak kita semakin berhikmat, semakin bijak maka kita harus mau dan rela bayar harga.
Yesus disukai oleh Allah dan oleh manusia (ayat 49-52b).
Yesus yang berumur 12 tahun suka dan senang ada, berada di Bail Allah. Dia suka mendengarkan pengajaran di Bait Allah. Dia juga mau belajar dengan bertanya kepada para guru di Bait Allah. Dia mengatakan bahwa Dia harus berada di Rumah BapaNya ketika Maria bertanya kepadaNya (ayat 49). Namun demikian Yesus tidak melawan dan membangkang terhadap Yusuf dan Maria. Yesus mau pulang bersama mereka ke Nazaret, dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka (ayat 51a).
Kayu Salib terdiri dari dua balok. Satu tegak lurus keatas (vertikal) dan satu lagi mendatar (horizontal). Yang keatas adalah hubungan dengan Tuhan, yang mendatar adalah hubungan dengan sesama manusia. Keduanya satu, bersatu dan tidak bisa dipisahkan. Demikianlah hidup manusia. Kita tidak bisa memisahkan hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia. Hubungan dengan Tuhan dilanjutkan dan dinyatakan dalam hubungan dengan manusia. Hubungan dengan manusia adalah perintah dan buah dari hubungan dengan Allah. Manusia juga anak-anak kita menjadi pribadi yang disukai Allah dan oleh manusia. Ukuran disukai Allah adalah kita bisa diterima dan disukai oleh sesama kita. Umumnya, apa yang disukai, dicintai Allah manusia. Contoh, Tuhan senang akan kasih, sukacita dan damai sejahtra. Manusia pada umumnya juga suka dan senang dengan kasih, sukacita dan damai sejahtra.
Penutup/ kesimpulan
Pertambahan umur tidak serta merta berbanding lurus dengan pertumbuhan kualitas hidup dan nilai-nilai hidup yang baik dan benar. Pertambahan kuantitas tidak menjamin pertumbuhan kualitas. Kuantitas tidak sama dengan kualitas. Kita mau, dan terlebih Tuhan mau agar keduanya baik kuantitas dan kualitas tumbuh bersama secara seimbang. Keduanya harus diperhatikan dan didukung secara baik dan benar. Tidak boleh ada ketimpangan. Semakin besar semakin pintar. Semakin besar semakin hidup luhur dan benar. Inilah yang mau kita lihat dan capai dalam diri anak-anak kita. Dalam hal ini, kita tidak bisa hanya berharap dan berpangku tangan saja. Kita harus mulai dari diri kita. Contoh dan keteladan harus mulai dari orangtua. Kemudian kita ajarkan, ingatkan, didik dan latih terus menerus anak-anak kita sampai menjadi pribadi yang terdidik dan bijak. Mari berharap pada Tuhan, dan lakukan yang terbaik juga yang bisa kita lakukan bagi anak-anak kita. Amin
Pdt. Juris Tarigan, MTh
GBKP RG Depok – LA