Pekan Kebaktian Keluarga , 1 Korintus 2 :13-16, Wari VII
PEKAN KEBAKTIN KELUARGA WARI - VII TAHUN 2017
Invocatio : Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin (Amsal 17: 27)
Bacaan : Ulangan 30: 15-20
Khotbah : 1 Korintus 2: 13-16
Thema : Dewasa Dalam Memilih (Dewasa Ertimbang)
I. Pendahuluan
Tahun 2018 yang akan datang GBKP mengarahkan programnya untuk memberikan pendidikan politik bagi jemaatnya. Berbagai peristiwa politik akan mewarnai kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Puluhan ribu orang bergerak mengkampanyekan dirinya sebagai orang yang peduli dengan bangsa ini. Kepedulian itu akan diwujudkan apabila ia berhasil duduk di DPR atau DPRD, atau mungkin menjadi Presiden. Perjuangan mereka sebagai yang peduli terhadap bangsa ini sangat ditentukan oleh rakyat Indonesia, termasuk kita sebagai jemaat GBKP. Kita diminta menentukan pilihan pada orang-orang yang kita anggap dapat membawa aspirasi kita. Tapi jika kita salah pilih, maka harapan tidak menjelma menjadi kenyataan dan gelap tidak berubah menjadi terang.
II. Isi
Bahan Invocatio kita berisi pengajaran mengenai kemampuan menahan perkataan dan sikap hidup berkepala dingin. Orang yang menahan perkataannya adalah orang yang berpengetahuan (ay. 27a). Dengan situasi seperti apapun orang ini mampu mengontrol diri dalam berkata-kata. Dengan kata-kata yang sedikit, ia membuat orang lain mampu memahami apa yang sedang ia pikirkan. Dengan kata-kata yang dapat dikontrol, ia tidak mengungkapkan apa yang tidak seharusnya dibeberkan. Istilah Ibrani pada ayat ini adalah “orang yang memiliki pengetahuan umum sesuai dengan norma yang berlaku, pengetahuan moral, teknis dan praktis”. Orang yang seperti ini adalah orang yang mempunyai hikmat, memiliki pertimbangan yang bagus. Pengajaran ini bukan mau menolak keramahtamahan, melainkan berupa peringatan atas kata-kata yang banyak, tetapi tidak dipertimbangkan lebih dahulu dengan baik. Pengajaran yang sama ditemukan dalam Amsal 10: 19. Sejalan dengan ayat 27a, dikatakan: “orang yang berkepala dingin adalah orang yang berpengertian” (ay. 27b). Kata Ibrani yang dipakai maknanya adalah sama dengan yang dikemukakan dalam ayat 27a, orang ini adalah yang emosinya tidak meledak-ledak, yang dapat mengontrol diri dalam berkata-kata. Orang ini adalah orang yang berpengertian.
Kitab Ulangan banyak mengajarkan agar umat Tuhan selalu hidup dalam firman Tuhan. Orangtua diingatkan supaya mengajarkan firmanNya bagi anak-anaknya. ‘Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! …haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun’ (Ulangan 6:4-7).
Bahan bacaan kita (Ulangan 30:15-20) disajikan sebagai perkataan-perkataan terakhir Musa kepada generasi Israel yang akan memasuki tanah perjanjian. Perkataan Musa ini mengacu pada pengalaman umat bersama Tuhan. Namun perkataan Musa juga mengarah ke depan dan menjadi pengajaran bagi generasi mendatang.
Musa telah memimpin umat ini dari Mesir hingga menjelang masuk tanah perjanjian. Sebagai pemimpin umat, Musa memiliki pengalaman bersama umat ini. Musa melihat kedegilan dan sungut-sungut bangsa ini. Mereka tidak segan-segan melakukan penyembahan berhala, sebagai pengaruh dari bangsa-bangsa lain. Mereka acapkali menyembah baal atau dewa, bahkan mereka pernah membuat patung lembu untuk disembah. Semua itu mereka lakukan tatkala mereka merasa tidak puas dengan Allah yang diperkenalkan Musa. Itulah bentuk-bentuk ketidaktaatan kepada Allah. Sikap ini hanya membangkitkan amarah Tuhan. Memang, adakalanya umat juga menikmati pengalaman indah bersama Tuhan ; Tuhan mencukupkan mereka dengan makanan, minuman, pakaian, dan kemenangan menghadapi musuh. Saat ada hidup yang penuh keindahan itu, umat memang memuji dan memuliakan Tuhan. Tapi jelas, mereka bukanlah bangsa yang setia.
Karena itu, disaat akan memasuki negeri yang Tuhan janjikan, Musa ingin supaya bangsa ini menetapkan pilihan ; menjadi bangsa yang ‘setia kepada Tuhan’ atau menjadi ‘bangsa yang menentang Tuhan’. Ketaatan mematuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian Allah dengan umatNya akan membuahkan keberhasilan ; sebaliknya ketidaktaatan akan membuahkan kematian dan kehancuran. Musa memberikan pilihan bagi umat Tuhan ; apakah mau menjadi bangsa yang diberkati atau akan binasa.
Musa meyakini, bahwa Tuhan telah memilih umatNya agar dapat menjadi berkat (Kejadian 12:2). Karena itu, di antara dua pilihan itu, Musa menasehatkan agar umat Tuhan memilih kehidupan. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup; baik engkau maupun keturunanmu (19b). Dengan pilihan itu, mereka masuk ke negeri yang Tuhan janjikan, memperoleh kehidupan, bertambah banyak, lanjut usia. Mereka yang taat pada perintah Tuhan, bukan saja diberkati tetapi dapat menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Itulah hidup yang berarti.
Dalam ayat 15 jelas dikatakan bahwa, “Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan”. Melalui firman ini, dalam kehidupan sehari-hari umat Israel diberi Tuhan pilihan untuk memilih apakah mereka mau beroleh hidup dan keberuntungan atau malah lebih memilih kematian dan kecelakaan. Lebih jelas firman Tuhan katakan dalam ayat 16 bahwa setiap orang yang mau hidup dalam perintah Tuhan dan mau diatur oleh firman Tuhan, maka dia akan beroleh hidup dan bertambah banyak dan diberkati oleh TUHAN Allah di negeri ke mana mereka masuk untuk mendudukinya. Memang, mengikut Tuhan itu tidak gampang, karena kita akan diperhadapkan dengan banyak tantangan, namun meskipun tidak gampang, mengikut Tuhan itu indah dan tentu penuh berkat dan sukacita bagi yang mensyukurinya. Akan tetapi, jika mereka memilih untuk tidak patuh terhadap perintah Tuhan dan lebih patuh terhadap berhala dan menduakan Tuhan, maka sudah jelas hukuman dan kecelakaan bahkan kebinasaan akan menjadi bahagian dari hidupnya (ay. 18). Larangan keras ini Tuhan sampaikan agar bangsa Israel tidak menduakan Tuhan dengan menyembah berhala. Sebenarnya bangsa Israel sudah tahu bahwa Allah itu adalah Allah yang sangat benci kepada orang yang menduakan-Nya. Bahkan dalam Titah yang kedua jelas dikatakan agar bangsa itu tidak membuat bagi mereka patung yang menyerupai apapun dan dimanapun untuk disembah, karena Allah tidak mau ciptaan-Nya bersembah sujud kepada ciptaan lain. Karena itu adalah pelanggaran besar yang pasti juga akan menghadirkan ganjaran yang besar bagi orang yang menduakan Tuhan.
Pilihan yang harus diambil oleh bangsa Israel bukan pilihan yang main-main, sebab kata Musa: "Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk" (ayat 19a). Mereka harus memilih antara "kehidupan" atau "kematian", antara "berkat" atau "kutuk". Tuhan memang memberi kesempatan untuk hidup bebas. Namun, kebebasan orang percaya memilih itu seperti kebebasan ikan di dalam akuarium atau di dalam kolam, ikan bebas berenang di dalamnya tetapi jika ia keluar pasti akan kering dan mati. Kebebasan manusia adalah kebebasan yang terikat hanya untuk lingkungan kemuliaan Tuhan saja, keluar dari lingungan itu pasti akan mati. Kita bebas menjalani hidup namun harus tetap seturut dengan kehendak Tuhan, karena di luar Dia, maka kematian, kutuk dan kebinasaan yang akan menjadi bagiannya. Musa dengan tegas katakan, “Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu”. Dari perintah ini dapat kita pahami bahwa yang taat akan firman Tuhan akan beroleh hidup, bahkan lebih dari pada itu, anak-anaknya juga akan terberkati. Untuk itu, Musa mengingatkan bangsa itu untuk senantiasa tinggal dalam kehidupan yang benar dan mengajarkan ajaran Tuhan pada anak-anak mereka, sehingga berkat itu akan mereka terima secara turun-temurun. Dengan mengasihi TUHAN Allah, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya, maka mereka akan hidup dan lanjut umur di tanah yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek moyang mereka, yakni kepada Abraham, Ishak dan Yakub. Panjang umur adalah anugrah Allah yang harus di syukuri, sebagai kesempatan menikmati berkat berkat Tuhan dalam waktu yang panjang. Panjang umur juga berarti kesempatan untuk hidup bergaul dengan Tuhan selama hidup dibumi juga tetap terpelihara dengan baik.
Dalam bahan khotbah kita (1 Kor. 2: 13-16) keyakinan Paulus di ayat 10-12 membawa beberapa implikasi penting. Pertama, pemberitaan salib harus dilakukan melalui perkataan Roh (ay. 13). Secara hurufiah, ayat 13 seharusnya diterjemahkan “dan yang kami katakan, bukan dalam perkataan-perkataan yang diajarkan hikmat manusiawi tetapi yang diajarkan roh, menjelaskan hal-hal rohani dalam perkataan-perkataan yang rohani”. Perdebatan para penafsir terpusat pada frase “menjelaskan hal-hal rohani dalam perkataan-perkataan yang rohani” (pneumatikois pneumatika sunkrinontes). Sebagian memahami pneumatikois sebagai rujukan pada orang yang mendengar injil (LAI:TB/RSV “kepada mereka yang memiliki Roh”), sedangkan yang lain menganggap pneumatikois merujuk pada media yang dipakai dalam pemberitaan injil (NASB/NIV “dengan perkataan-perkataan rohani”). Karena ayat 13a membicarakan tentang “perkataan-perkataan”, maka di ayat 13b sebaiknya dipahami dalam arti yang sama, sebagaimana dinyatakan dalam terjemahan NASB atau NIV. Apa yang disampaikan Paulus di sini sekaligus berfungsi sebagai penjelasan terhadap cara pekabaran injil yang dilakukan Paulus di ayat 1-5.
Kedua, orang yang tidak menerima Roh Allah tidak dapat mengenal hikmat Allah (ay. 14). Ungkapan “manusia duniawi” sebenarnya berarti “manusia alamiah” (psychikos anthropos; KJV/NASB), yaitu manusia yang tidak rohani (RSV) atau tidak memiliki Roh (NIV). Mereka bukan hanya terus-menerus tidak menerima (bentuk present ou dechetai), tetapi mereka juga tidak dapat mengetahui (ou dunatai gnonai). Hal ini berarti bahwa mereka tidak memiliki kemauan maupun kemampuan untuk menerima injil.
Mengapa mereka bersikap seperti ini? Ada dua alasan. Mereka menganggap salib sebagai kebodohan (ay. 14a; bdk. 1:18, 20, 21, 23; 3:19). Menurut pemikiran mereka yang sudah teracuni oleh filsafat dunia, seorang yang mati di atas kayu salib tidak mungkin menjadi Juru Selamat orang berdosa. Orang yang disalib adalah orang yang paling berdosa. Selain itu, Allah tidak mungkin menjadi manusia lalu mati dengan cara seperti itu. Alasan lain adalah karena hal itu hanya dapat dinilai secara rohani (ay. 14b). Cara berpikir alamiah atau duniawi pasti tidak mampu memahami hal-hal rohani.
Ketiga, hanya orang rohani yang dapat menilai hal-hal rohani dan mereka sendiri tidak dinilai oleh orang lain (ay. 15-16). Sebagai kontras terhadap manusia alamiah di ayat 14, manusia rohaniah dapat menilai segala sesuatu (ay. 15a). Bukan hanya itu, mereka juga tidak dinilai oleh siapapun juga (ay. 15b). Pernyataan ini merupakan sindiran terhadap sebagian jemaat Korintus yang duniawi dan menganggap orang lain yang menerima salib sebagai orang-orang bodoh.
Mengapa orang-orang yang rohani tidak dapat dinilai oleh mereka yang tidak rohani? Jawabannya ada di ayat 16a (bdk. kata sambung “sebab”). Bagian ini merupakan kutipan dari Yesaya 40:13 “siapa yang dapat mengatur Roh TUHAN atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat?”. Lebih spesifik, Paulus sebenarnya mengutip dari versi LXX yang secara hurufiah diterjemahkan “siapa yang mengetahui pikiran Tuhan dan siapa yang menjadi penasehat-Nya yang mengajar Dia”. Melalui kutipan ini Paulus mengajarkan bahwa orang yang memiliki Roh Allah dalam dirinya tidak membutuhkan nasehat atau penilaian dari orang-orang yang tidak memiliki Roh Allah, karena Roh Allah sendiri yang akan mengajar dan memberitahukan kita segala sesuatu (Yoh. 14:26; 1Yoh. 2:27). Dalam bagian lain Paulus menegur jemaat Korintus yang membutuhkan penilaian orang dunia untuk menyelesaikan persoalan di antara mereka (6:1).
Di akhir ayat 16, Paulus menegaskan bahwa kita memiliki pikiran Kristus. Penggunaan sebutan “Kristus” di sini sangat menarik. Konteks 1 Korintus 2:6-16 berbicara tentang pikiran Allah (ay. 10-11) yang hanya bisa diketahui melalui Roh Allah. Di ayat 16a Paulus mengutip versi LXX (Septuaginta) dari Yesaya 40:13 yang memakai sebutan “pikiran Tuhan”, sedangkan dalam teks Ibraninya dipakai sebutan “Roh Tuhan”. Beragam sebutan yang dipakai (Allah – Roh Allah – Tuhan - Kristus) dengan maksud yang sama seperti ini mengajarkan kesejajaran antara Allah Bapa, Roh Kudus dan Kristus. Hal ini semakin jelas apabila kita mempertimbangkan prinsip “like is known only by like” yang sudah disinggung di ayat 10.
Hikmat yang benar bukan berasal dari dunia. Paulus memberitakan hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia. Paulus menyebut tersembunyi dan rahasia dikarenakan hikmat ini menyentuh kehidupan masa depan, yaitu rencana keselamatan yang dirancang Tuhan. Hikmat Allah hanya dimiliki oleh orang yang menerima dan digerakkan oleh Roh Allah. Roh Allah yang mampu menerangkan kepada manusia untuk menyelidiki segala maksud Allah. Dengan Roh Allah dan hikmat Allah itulah maka manusia dimampukan memahami karunia Allah kepada manusia.
Hikmat dunia diperoleh dari dunia dan tujuannya untuk kepentingan dunia semata. Hikmat ini dicari dan dimiliki untuk menguasai dunia. Buah dari hikmat demikian cenderung kejahatan, menindas manusia lainnya. Mereka menipu sesama manusia untuk kepentingan sendiri. Ia licik, memperdaya orang lain, ia memainkan lidahnya seperti orang benar tetapi penuh kemunafikan. Hikmat yang demikian diterapkan untuk ‘kepopuleran’ dirinya. Hikmat dunia tidak dapat menerima Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan. Hikmat dunia menolak ajaran Tuhan Yesus. Mereka tidak dapat menghidupi dirinya dengan firman Tuhan. Mereka sulit mengerti, memahami, apalagi melakukan firman Tuhan. Mereka tak akan mengerti bahwa dibalik kematian ada kehidupan kekal, mereka tak dapat memahami, bahwa Allah menjadi manusia, lahir dari manusia, disalibkan, mati, dan dikuburkan, dan bangkit pada hari ketiga. Mereka sulit melakukan kebenaran, karena mereka tak percaya ungkapan : ‘Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan (Matius 5:6). Perkataan-perkataan Yesus yang demikian tidak akan pernah dapat mereka terima untuk menghidupi dirinya. Hikmat dunia mengabaikan Allah.
III. Refleksi
Secara normatif hubungan gereja dan negara dikemukakan dalam “Pemahaman Bersama Iman Kristen” (PBIK, Keputusan SR ke-XIII PGI di Palangka Raya, 2000), dalam Bab tentang “Penyelamatan”, butir 4. Dalam Lima Dokumen Keesaan Gereja (1994), ini terdapat pada butir 13. Bunyi selengkapnya sebagai berikut: “Dalam penantian penggenapan rencana penyelamatan Allah itu, Allah menetapkan pemerintah sebagai hamba-Nya yang dilengkapi dengan wewenang untuk memuji perbuatan baik dan menghukum perbuatan jahat (Rm. 13: 1-7; 1 Ptr. 2: 13-14). Oleh karena itu gereja yaitu persekutuan orang-orang yang telah dibaharui di dalam Kristus, dipanggil untuk mendoakan dan membantu pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah demi kebaikan semua orang (1 Tim. 2: 1-2; bnd. Yer. 29: 7). Tetapi pemerintah dapat pula menyalahgunakan kuasa yang ada padanya (Why. 13). Oleh sebab itu, gereja pun dipanggil untuk senantiasa siap sedia melaksanakan tugas kenabiannya dengan mendoakan dan membantu pemerintah agar pemerintah tidak menyalahgunakan kuasa yang diberikan Allah kepadanya (Mzm. 58: 2-3; Yes. 1: 16-17; Mi. 6: 8). Apabila pemerintah melampaui batas kekuasaannya dengan menuntut sesuatu yang hanya dapat diberikan kepada Allah (Mat. 22: 21; Mrk. 12: 17; Luk. 20: 25), maka orang-orang percaya harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia (Kis. 5: 29)”.
Dari statement yang lumayan panjang ini dapat dicatat beberapa hal berikut ini:
a. “Pemerintah” (boleh dibaca: negara) dimasukkan pada pemahaman tentang “Penyelamatan”. Luther dan Calvin memasukkan negara dalam order of Providence (Ordo Pemeliharaan), bukan dalam order of Creation. Penyelamatan adalah akibat dari kejatuhan manusia yang memang dapat pula dipahami sebagai yang terkait erat dengan order of Providence.
b. Tugas-tugas pemerintah dirumuskan dengan jelas, yaitu untuk memuji perbuatan baik dan menghukum perbuatan jahat.
c. Maka panggilan orang Kristen adalah untuk taat kepada pemerintah (mendoakan dan membantu pemerintah).
d. Namun ketaatan itu bukannya tanpa batas. Ada saatnya gereja lebih taat kepada Allah ketimbang pada manusia (baca: pemerintah), yaitu apabila pemerintah ternyata berlaku represif.
Allah berkuasa atas segalanya. Semua kuasa yang ada di bumi berasal dari Allah. Kuasa yang dimiliki pemerintah pun berasal dari Allah. Setelah digantikan dengan pemerintahan yang barupun, itu tetap dari Allah. Jadi tidak ada kuasa melebihi kuasa Allah. Sebagai WNI yang memiliki hak memilih pemimpinnya secara langsung, kita adalah wakil Allah. Wakil-Nya untuk memilih pemimpin yang mengenal DIA. Maka kita harus memilih PEMIMPIN bukan PENGUASA. Dua hal itu sangat berbeda. Pemimpin rela berkorban, mengabdi, menjadi teladan. Seperti M. Gandhi yang sangat dikasihi rakyat India. Sedang penguasa mengambil kebijakan untuk kepentingan sendiri dan untuk golongan tertentu, seperti Soeharto.
Pilihlah yang memang kesehariannya meneladankan sifat jujur, transparan, pancasilais. Bukan mereka yang tiba-tiba baik, yang banjir ide, banjir janji dan berslogan banyak padahal selama ini entah dimana dan entah apa yang dikerjakan. Politik itu baik adanya. Politik menjadi tempat masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah mereka. Ahok menyatakan politik itu suci tapi kita telah keluar dari nilai politik yang sebenarnya. Ia terpanggil menjadi “show case” kuasa transformasi, menjadi saksi Kristus menjalankan politik yang adil, tidak takut mati dan tidak mau kompromi dengan praktik suap menyuap. Ia sering mendorong mahasiswa terjun ke politik. Jika anda yang baik tidak mau masuk ke dunia politik maka yang berkuasa adalah yang tidak baik.
Seorang hamba Tuhan berkata, “kalau dulu seorang pemimpin dihormati oleh karena jabatannya, tetapi sekarang ini mereka dihormati bukan lagi hanya karena jabatan mereka tetapi karena orangnya”. Maksudnya adalah bagaimana orangnya dan apa yang dilakukan di dalam jabatan yamg dia emban. Hal ini menandaskan bahwa dari seorang pemimpin dan pelayan, yang diharapkan dan yang dituntut adalah sikap hidup dan perbuatan yang nyata bagi yang dipimpindan yang dilayani (bnd. 1 Tim. 4: 12a). Seorang pemimpin dianggap rendah bukan karena faktor umur tetapi bagaimana sikap hidup dan apa yang dilakukannya. Hal ini juga menyatakan bahwa apa yang diharapkan dari seorang pemimpin adalah adanya kesatuan dan keselarasan antara “sikap hidup, perkataan, dan perbuatan”. Dengan kata lain, pemimpin yang dibutuhkan pada masa kini adalah pemimpin yang mempunyai “integritas”. Kepemimpinan ideal membuat orang lain bekerja ketika mereka tidak dwajibkan. Kepemimpinan dimulai dengan hati, bukan dengan kepala. Kepemimpinan tumbuh subur dengan hubungan yang berarti, bukan peraturan lebih banyak. Kita tidak akan mampu memimpin tanpa mencintai mereka. Seorang pemimpin yang hebat, bukan karena kekuasaan, tetapi karena kemampuannya memberikan kekuatan kepada orang lain. Seorang pemimpin harus mampu memiliki seni menjadi orang bijaksana yaitu mengetahui apa yang tidak perlu dilihat. Semua pemimpin yang sejati telah belajar untuk mengatakan “tidak” kepada yang baik supaya bisa mengatakan “ya” kepada yang terbaik karena hidup dibatasi oleh waktu. Bahan khotbah Pekan Keluarga malam yang terakhir ini ditutup dengan sebuah kalimat, “Kejahatan akan merajalela, kalau orang baik tidak melakukan apa-apa”. Mari memilih pemimpin yang takut akan Tuhan. Dan semua itu dimulai dari pengajaran di keluarga kita masing-masing. Untuk menjadikan anak-anak kita sebagai pemimpin masa depan yang takut akan Tuhan.
Pdt. Andreas Pranata S. Meliala, S.Th