Kebaktian Pekan Keluarga Wari Ketelu 2021 : Amsal 17:24-28

(Komunikasi Keluarga)

Invocatio :“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang    hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” Yakobus 1:19

Bacaan    : 1 Petrus 3:1-3

Khotbah   : Amsal 17:24-28

Thema      : Keluarga Yang Bijaksana (Jabu Si Beluh Rukur)

I.             Pendahuluan

Yang mencirikan keluarga bukanlah komposisinya, melainkan komitmennya. Dalam keluarga orang berkomitmen untuk saling terima, saling memahami, saling setia, saling didik, saling memperbaiki, saling tegur, saling memaafkan, saling setia, saling tolong, dsb. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Itu ciri kualitas keluarga, dan ini juga yang dinamakan keluarga yang bijaksana/berhikmat. Menerima seseorang berarti menerima dia sebagaimana adanya, dengan segala keunggulannya dan kelemahannya. Bukan menerima dia sebagaimana yang kita idealkan, melainkan sebagaimana kondisinya. Mengapa kita menerima dia? Oleh karena Kristus pun sudah menerima kita. Kristus menerima kita sebagaimana kita adanya.

II.           Isi

Bahan Invocatio Yakobus 1:19 memberikan pesan bagi kita semua tentang menjadi bijak dalam menjalani hidup, khususnya dalam menempatkan komunikasi. Dalam ucapan tradisi leluhur Yahudi ada empat sifat di kalangan orang terpelajar. Cepat mendengar dan cepat melupakan; artinya: cepat memperoleh sesuatu, tetapi juga cepat hilang. Lambat mendengar dan lambat melupakan: lambat memperoleh sesuatu, tetapi apa yang didapatnya bertahan. Cepat mendengar dan lambat melupakan: inilah orang yang bijaksana. Lambat mendengar dan cepat melupakan; inilah orang yang jahat. Seorang penyair Romawi yang bernama Publius Ovidius Naso yang dikenal sebagai Ovid mengatakan agar manusia lambat menghukum, tetapi cepat memberikan apresiasi. Philo juga mengatakan agar manusia cepat dalam bertindak demi kebaikan orang lain dan lambat untuk mencelakakan orang lain. Inilah nasihat Surat Yakobus yaitu bahwa kita juga harus lambat untuk marah. Barangkali ia menghadapi beberapa orang yang beralasan supaya ada tempat untuk melampiaskan kemarahan yang sedang bergelora. Hal ini tak diragukan lagi kebenarannya. Dunia akan bertambah miskin tanpa orang-orang yang bergelora dalam menentang penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-sewenangan dosa. Tapi, hal ini kerap kali dijadikan alasan bagi orang untuk cepat marah dan jengkel pada diri sendiri. Seorang pemimpin akan diuji kesabarannya dengan lambat untuk marah terhadap kemalasan bawahannya. Orangtua bisa tergoda untuk marah. Tapi, kemarahan orangtua tampaknya akan lebih banyak membuahkan sikap keras hati yang makin menjadi daripada membimbing dan mengendalikan perilaku anak. Kasih selalu memiliki kekuatan yang lebih besar daripada amarah. Ketika amarah terus-menerus menjadi gangguan, kejengkelan yang membangkitkan kemarahan, serta omelan yang berlebihan, maka hal itu akan selalu mendatangkan lebih banyak bahaya daripada kebaikan. Lambat untuk bicara, lambat untuk marah, dan cepat untuk mendengar selalu merupakan kebijaksanaan hidup yang baik.

Bahan bacaan kita 1 Petrus 3:1-3 memberikan perenungan bagi kita semua bagaimana Petrus masuk pada persoalan rumah tangga yang tidak dapat dihindari diperlihatkan oleh kekristenan. Mungkin ada pasangan dalam pernikahan yang dimenangkan oleh Kristus, sedangkan yang lainnya tidak tersentuh oleh Injil. Kondisi semacam ini menimbulkan banyak masalah. Memang kelihatan janggal jika para istri dinasihati Petrus sebanyak 6 kali dalam pasal 3 ini. Ini dikarenakan posisi para istri jauh lebih sulit dibandingkan para suami. Jika seorang suami menjadi Kristen, maka secara otomatis ia akan membawa istrinya ke dalam gereja dan tidak akan ada masalah. Tapi, jika seorang istri menjadi Kristen sementara suaminya tidak, maka sang istri mengambil satu langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dan akan menimbulkan banyak masalah yang sangat berat. Dalam lingkungan masyarakat dunia kuno, para perempuan sama sekali tidak memiliki hak. Di bawah hukum orang Yahudi, seorang perempuan dianggap sebagai benda. Dalam masyarakat Yunani, tugas perempuan adalah tinggal di rumah dan taat kepada suaminya. Di bawah hukum Romawi, seorang perempuan tidak memiliki hak. Kalau demikian bagaimana seharusnya menjadi seorang istri Kristen yang baik di tengah-tengah dunia yang memperlihatkan bahwa istri atau perempuan itu tidak berharga. Petrus mengatakan pada para istri sesuatu yang sangat sederhana yaitu menjadi seorang istri yang baik. Dengan menjadi istri yang baik itu sudah merupakan khotbah yang tidak bersuara mengenai hidupnya yang penuh kasih, seorang istri pasti menyingkirkan berbagai hambatan yang berasal dari prasangka dan kemarahan sehingga dapat memenangkan suaminya untuk Tuan yang baru yaitu Kristus. Seorang istri harus tunduk. Maksud kata tunduk ini adalah kerelaan yang tidak mementingkan diri sendiri. Inilah tunduk yang berdasar pada matinya kesombongan dan adanya keinginan untuk melayani. Tunduk ini bukan karena takut, melainkan demi kasih yang sempurna. Seorang istri harus murni. Dalam dirinya harus ada kesucian yang menawan hati dan kesetiaan yang berdasar pada kasih. Seorang istri harus terhormat. Ia harus hidup dalam keyakinan bahwa seluruh dunia adalah Bait Allah dan seluruh hidup berlangsung di hadirat Kristus. Seorang istri Kristen yang hidup pada masa itu berada dalam masyarakat di mana ia akan menghadapi berbagai godaan kemewahan yang tidak berperikemanusiaan dan akan dihantui oleh ketakutan karena perilaku suaminya yang tidak bisa diduga. Tapi, ia harus hidup dalam pelayanan yang tidak mementingkan diri sendiri, dalam kebaikan dan ketenteraman. Inilah khotbah terbaik yang dapat ia beritakan untuk memenangkan suaminya bagi Kristus. Hanya ada beberapa ayat di mana nilai hidup kristiani yang mengesankan itu ditekankan dengan sangat indah.

Di dalam bahan khotbah kita Amsal 17:24-28, kita akan melihat sebenarnya secara keseluruhan pasal ini bercerita tentang kebijakan dan kebodohan yang dihubungkan dengan lidah, orang yang dapat menguasai diri dalam berbicara dianggap bijak. Topik tentang keluarga juga banyak kita lihat dalam Amsal 17 ini, seperti kerukunan dalam keluarga dan sikap hidup anak yang menentukan kebahagiaan orangtua, dan kehormatan anak adalah orangtua. Perilaku yang jahat dan bodoh yang cenderung merugikan keluarga juga dibahas dalam pasal 17 ini. Secara khusus dalam ayat 24-28 yang menjadi bahan khotbah ini, akan dibahas dimulai ayat 24-25. Sebenarnya kedua ayat ini berisi pengajaran mengenai orang yang berpengertian dan peringatan tentang orang bebal. Keduanya diikat oleh kata kunci “orang bebal”. Ada dua perbandingan tentang “orang berpengertian” dalam ayat 24a dengan “mata orang bebal melayang sampai ke ujung bumi” pada ayat 24b. Melalui kalimat yang sintesis pikiran mengenai “anak bebal” pada ayat 25a, lebih dikembangkan lagi melalui ulasan tentang “kepedihan bagi ibu yang melahirkan” dalam ayat 25b. Di hadapan orang yang berpengertian ada hikmat (ay. 24a). Orang yang berpengertian adalah orang memiliki hikmat, yang memahami sikap, kata-kata, dan perilaku dan arah kehidupan yang benar dan yang mengarahkan kehidupannya ke arah yang benar. Orang bebal, orang yang bukan hanya bodoh, tidak pernah serius, bahkan menolak didikan hikmat. Orang ini tidak tahu apa dan di mana ada hikmat. Oleh karena itu, ia tak mengetahui arah kehidupan yang benar yang harus ditempuh, tidak tahu apa yang harus dicapai. Hidupnya dipenuhi dengan ketidakjelasan. Pada ayat 27 yang isinya mengenai kemampuan menahan perkataan dan sikap hidup berkepala dingin. Orang yang menahan perkataannya adalah orang yang berpengetahuan. Dengan situasi apapun orang ini mampu mengontrol diri dalam berkata-kata. Dengan kata-kata yang sedikit, ia membuat orang lain mampu memahami apa yang sedang ia pikirkan. Dengan kata-kata yang dapat dikontrol, ia tidak mengungkapkan apa yang tidak seharusnya dibeberkan. Dalam Kitab Amsal sedikit berkata-kata, menjadi ciri-ciri orang yang berhikmat. Maka kalau orang bodoh berdiam diri, kebodohannya jadi tersembunyi, dia pun akan disangka bijak. Dalam pengajaran ini, orang yang bodoh dimaksud yang tidak bisa mengontrol dirio dibandingkan dengan orang yang tak banyan bicara karena ia memiliki karakteristik kontrol diri.

III.         Refleksi

Apa yang kita cari sehari-hari? Uang, sandang, pangan, pasangan, pengetahuan, kesehatan, dsb. Jangan lupa juga, kita juga mencari kebijaksanaan. Kita membutuhkan sikap bijak. Kalau kurang bijak, dengan siapa pun kita cekcok, apalagi dengan anggota keluarga. Keluarga perlu jadi bijak, karena apa? Karena bijak itu yang akan menjaga keluarga termasuk bijak dalam menjaga mulut kita dalam mengeluarkan kata-kata. Menjaga lidah: mikir dulu baru ngomong. Marah itu macam-macam. Ada yang cuma lima menit, ada yang lima hari, ada yang lima bulan, ada yang lima tahun, pokoknya saya pakai angka lima. Ada yang mangkel, ada yang mencak-mencak. Ada yang keki, ada yang maki-maki. Ada yang beringas, ada yang kalem. Ada naik darah, ada naik pitam. Ada ngomel, ada menggrundel. Sebenarnya dari mana datangnya marah. Jawabnya tentu dari diri kita sendiri. Marah adalah produk kita. Kita sendirilah yang memutuskan apa mau marah atau tidak, dan dalam bentuk apa amarah itu mau diungkapkan. Apakah kita boleh marah? Tentu saja boleh! Kita perlu bisa marah. Marah itu normal dan sehat. Marah merupakan salah satu cara ego kita melindungi diri terhadap suatu situasi yang tidak nyaman. Tidak soal bahwa kita marah. Yang jadi soal adalah bagaimana cara kita mengelola perasaan marah. Refleksi dalam khotbah pekan kebaktian hari ketiga ini mungkin bisa menolong kita dalam menempatkan komunikasi yang baik di tengah-tengah keluarga berkaitan dengan manajemen kemarahan, sehingga dengan manajamen kemarahan yang kita punya kita bisa memberi motivasi yang baik bagi anggota keluarga kita. Umpatan, sumpah serapah, makian, cacian, hinaan walau itu kita anggap untuk kebaikan orang, tentu hasilnya tidak akan baik. Lebih baiklah kita menjadi bijak dalam mengungkapkan kasih sayang kita. Orang lebih bisa berubah kalau mendapatkan cinta daripada mendapatkan kemarahan yang tidak jelas ke mana arah dan tujuannya. Cara kita melampiaskan kemarahan melalui komunikasi kita satu dengan yang lainnya perlu juga diperhatikan. Kejengkelan di tempat kerja janganlah sampai terbawa ke rumah. Begitu juga perdebatan orangtua jangan juga anak menjadi sasarannya. Apresiasi itu sungguh lebih sejuk. Walau maksud kita baik, tapi karena penyampaiannya tidak baik, akan menjadi berbeda maknanya begitu juga dalam penerapannya. Maka dengan itu daripada sarat laknat dan kesumat, lebih baik sarat selamat dan hikmat. Maka jadilah keluarga yang berhikmat agar kehidupan ini banyak manfaat.

Pdt. Andreas Pranata Meliala

GBKP Rg. Cibinong