Kebaktian Pekan Keluarga Wari Ke-Enam 2022 : Kejadian 1:26-28

Bahan Ogen                : Kolose 1:15-20

Bahan Khotbah           : Kejadian 1: 26-28

Tema                           : Diberkati Allah (Manusia) untuk merawat ciptaan-NYA

A. Pengantar Teks

Pemahaman tentang penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah adalah hal yang penting, karena berdasarkan pemahaman tersebut, manusia akan menempatkan diri secara benar sebagai makhluk yang diciptakan dan akan menghormati Penciptanya sebagai Oknum yang berkuasa penuh di dalam hidupnya. Manusia adalah ciptaan yang memiliki kedudukan tertinggi dan yang memimpin kehidupan alam semesta ini, karena manusia diberikan akal budi yang melebihi makhluk ciptaan lainnya (M. Suprihadi Sastrosupono, Manusia, Alam, dan Lingkungan, 1984). Kesalahan pengertian terhadap konsep penciptaan manusia, maka manusia akan menjadikan dirinya sebagai allah terhadap dirinya sendiri dan segala sesuatu yang berada di sekitarnya. Penciptaan manusia dalam kitab Kejadian pasal 1 bahwa Allah menciptakan manusia seturut gambar dan rupa Allah menjadikan manusia berbeda dengan ciptaan lainnya yang ada di taman Eden. Menurut Lukas Awi Tristanto, dalam tulisannya “Panggilan Melestarikan Alam Ciptaan” Seiring perkembangan budayanya, manusia yang menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta tanpa disadari menjadi dasar sebagai perusak alam lingkungan yang menjadi tempat manusia itu tinggal dan hidup. Eksploitasi dan pembangunan dilakukan guna pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia, dengan mengesampingkan dampak pada lingkungan. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan kehancuran ekologi. Keinginan manusia untuk membangun hidup lebih sejahtera justru semakin merusak bumi. Dalam pekan penatalayanan hari ke-6 ini, kita akan memahami peran serta tanggung jawab manusia dalam karya ciptaan Allah.

B. Isi/Pendalaman Teks

Di dalam kejadian 1:26 “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, kata menjadikan dalam ayat tersebut berasal dari bahasa Ibrani עשׂה’ asah yang berarti “menjadikan” atau “membuat” dengan memakai bahan. Kata tersebut berbicara mengenai tubuh manusia yang diciptakan oleh Allah dengan menggunakan bahan yaitu debu tanah, “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej. 2:7a) dan kata ברא bara’ yang berarti “menciptakan” dengan tidak memakai bahan, dan kata tersebut mengacu kepada jiwa manusia yang diciptakan Allah tanpa memakai bahan melainkan Allah langsung menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kej. 2:7b). kata berikut ialah yatsar yang berarti “membentuk”, bukan bertumbuh dan bertambah-tambah (Kej. 2:7).4 Jadi dari ketiga kata tersebut dapat disimpulkan bahwa teori evolusi yang mengatakan “suatu jenis berkembang dan berubah sampai menjadi jenis baru yang lebih tinggi tingkatannya”, hal itu merupakan kekeliruan karena Allah sendiri yang telah menciptakan manusia secara langung baik dengan menggunakan bahan maupun tanpa menggunakan bahan.

Arti kata "tselem" (gambar) adalah suatu gambar yang memiliki bentuk patron. Berarti, gambar tersebut bukanlah baru dibentuk, tetapi tinggal mengikuti bentuk patronnya. contohnya, sebelum seorang menjahit baju, ia terlebih dahulu membuat patronnya. Sedangkan kata "demuth" (rupa) berarti suatu gambar yang modelnya harus sesuai dengan bentuk yang pertama. Kata tselem juga berarti sia-sia (vain), empty (kosong), image (gambar, patung, kesan, bayang-bayang), likeness (persamaan). Pengertian dasar dari kata tselem adalah to shade (melindungi, membayangi, menaungi). Dalam budaya Timur Tengah, tselem digunakan untuk menyatakan suatu bentuk pemberhalaan terhadap suatu bentuk gambar atau patung. Suatu figur yang represntatif untuk diberhalakan. Penggunaan tselem dalam PL menjelaskan tentang gambar dalam konsep penciptaan (Kej. 1:26, 27; 9:6), gambar dalam konsep yang dilahirkan manusia (Kej. 5:3), penekanan tentang siapa yang membuhuh manusia, darahnya akan tertumpah sebab Allah membuat manusia menurut gambar-Nya (Kej. 9:5), patung-patung tuangan yang menjadi berhala (Bil. 33:52), gambar binatang yang diberhala (I Sam. 6:5, 11), patung-patung sembahan (II Raja 11:18; II Taw. 23:17; Yeh. 7:20; 16:17; Amos 5:26), gambar orang (Yeh. 23:14), hidup manusia yang hampa (Mzr. 39:7). Penggunaan demut dalam PL menjelaskan tentang rupa dalam konsep ciptaan (Kej. 1:26; 5:1), rupa dalam konsep keturunan yang dihasilkan manusia (Kej. 5:3), bagan (II Raja 16:10), gambar yang mirip dengan asli, kiasan (II Taw. 4:3), penyerupaan yang menyatakan kiasan (Mzr. 58:5), seperti yang menyatakan penggambaran (Yes. 13:4), serupa yang menyatakan perbandingan yang tidak sama (Yes. 40:18), menyerupai yang menyatakan kemiripan, atau nampaknya/seperti (Yeh. 1:5, 10, 13, 16, 22, 26; 8:2; 10:1, 10, 23:15; Dan. 10:18), berbentuk seperti (Yeh. 10:21).

Manusia pada dasarnya adalah makhluk ciptaan Allah yang paling spesial, karena Allah menciptakan manusia secara langsung, Allah membentuk manusia itu dengan memakai tangan Allah sendiri (Kej.2:7) “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Tidak sama halnya dengan penciptaan makhluk lainnya, Allah menciptakan makhluk lainnya hanya dengan berfirman tanpa Allah membentuk langsung. Allah juga memberikan kuasa kepada manusia atas mahkluk ciptaan yang lain (Kej. 1:26,28), ini juga merupakan salah satu bukti bahwa manusia itu berbeda dari makhluk ciptaan yang lainnya. Hal yang paling membedakan manusia dengan makhluk ciptaan yang lainnya ialah manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. “Di dalam bahasa Ibrani tidak ada kata sambung di antara kedua ungkapan tersebut; teks Ibrani hanya berbunyi “marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar rupa Kita.” Baik Septuaginta maupun Vulgata memasukkan kata dan sehingga beri kesan bahwa “gambar” dan “rupa” mengacu kepada dua hal yang berbeda.” Pada kenyataannya kedua kata tersebut tidak memiliki perbedaan yang begitu jauh melainkan kedua kata tersebut memiliki makna yang hampir sama, keduanya saling melengkapi satu sama lainnya. Terbukti kata tersebut dipakai bergantian di dalam penggambaran penciptaan manusia di dalam Kej. 1:27 memakai kata gambar “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakanNya,”sedangkan di dalam Kej. 5:1 di gunakan kata rupa, “dibuatNyalah dia menurut rupa Allah.” Di dalam Kej. 1:26 dan Kej. 5:3 mengandung kedua kata tersebut tetapi dengan urutan yang berbeda, ada yang kata gambar yang terlebih dahulu dan ada pula kata rupa yang terlebih dahulu. Kata Ibrani untuk gambar ialah צלם tselem yang diturunkan dari akar kata yang bermakna “mengukir” atau “memotong.” Maka kata ini bisa dipakai untuk mendeskripsikan ukiran berbentuk binatang atau manusia. Ketika diaplikasikan pada penciptaan manusia dalam Kejadian 1, kata tselem ini mengindikasikan bahwa manusia menggambarkan Allah, artinya manusia merupakan suatu representasi Allah. Kata Ibrani untuk rupa ialah דמות damuwth yang bermakna “menyerupai”. Jadi, orang bisa berkata bahwa kata damuwth di Kejadian 1 mengidentifikasikan bahwa gambar tersebut juga merupakan keserupaan, “gambar yang menyerupai Kita.” Kedua kata itu memberi tahu kita bahwa bahwa manusia mempresentasikan Allah dan menyerupai Dia dalam hal-hal tertentu.” Allah tidak menciptakan manusia dari seekor binatang, tetapi dari debu tanah. Penciptaan yang demikian dengan tegas menolak teori evolusi yang mengatakan bahwa manusia berevolusi dari binatang hingga menjadi manusia. Manusia terpisah dari binatang, tetapi menjadi bagian dari tatanan ciptaan, sehingga relasi antara manusia dengan ciptaan yang lain mendapat penekanan penting dalam Alkitab. Manusia yang diciptakan Allah memiliki dua aspek, yaitu debu tanah dan meniupkan napas hidup ke dalamnya sehingga menyebabkan manusia menjadi makhluk hidup. Ungkapan yang sama juga dikenakan kepada hewan (1:21, 24; 2:19), tetapi hewan tidak diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

C. Tinjauan Teologis

Para nabi yang dipanggil untuk melayani bangsa Israel dan Yehuda adalah Implikasi Teologis tentang Gambar Allah. Gambar Allah yang menyatakan kepribadian, Gambar menyatakan keserupaan bentuk, yang menunjukkan bahwa bentuk luar manusia mengambil bagian dari penggambaran Allah. Rupa menitikberatkan kepada kesamaan daripada tiruan, sesuatu yang mirip dalam hal-hal yang tidak diketahui melalui pancaindera. Dalam hal ini, manusia menjadi saksi kekuasaan Allah atas ciptaan dan bertindak sebagai wakil penguasa. Dengan demikian, kekuasaan manusia mencerminkan kekuasaan Allah sendiri atas ciptaan, yang melibatkan kreativitas dan tanggung jawab manusia. Gambar Allah menunjuk kepada keberadaan manusia yang berkepribadian dan bertanggung jawab di hadapan Allah, yang pantas mencerminkan Penciptanya dalam pekerjaan yang ia lakukan, serta mengenal dan mengasihi Dia dalam segala perbuatan mereka. Tubuh manusia dianggap sebagai sarana yang tepat untuk kehidupan rohani. Allah menciptakan manusia dan mengenalnya (Mzm. 139:13-16), memeliharanya (Ayub 10:12), dan menuntunnya menuju akhir hidupnya.

Gambar Allah sebagai Tanggung Jawab Orang sering beranggapan bahwa gambar kemiripan manusia dengan Penciptanya yang dinyatakan dalam gambar Allah, terletak pada karakteristik manusia yang membedakannya dari binatang, seperti rasio, kekekalan dan konsepnya, dan perasaan moral. Seperti yang dijelaskan oleh Eichrodt, bahwa keunikan manusia sebagai gambar dan rupa Allah terletak pada kesadaran diri dan kemampuannya untuk menentukan diri. Namun menurut, Yonky Karman, (Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 2007) persoalan bagi teologi biblika adalah kategori-kategori gambar Allah itu diimpor dari luar konteks. Von Rad, menyatakan bahwa dalam kontek Timur Dekat kuno, “tselem gambar” dapat dimaksud sebagai bentuk fisik yang mewakili kehadiran seorang penguasa. Raja yang memiliki kekuasaan di luar daerahnya, dapat diwakili oleh patung dirinya sebagai representasi kehadirannya di daerah itu. Berdasarkan analogi ini, penciptaan manusia menurut gambar Allah, secara negatif menyangkal manusia sama dengan Allah. Gambar Allah bukanlah Allah. Semulia-mulia manusia, ia tetap bukan Allah hanya gambar-Nya saja, yang ternyata hanya berasal dari debu tanah (Kej. 2:7) dan kembali kepada debu (Kej. 3:7). Jika ia memanipulasi untuk dirinya berbagai bentuk ketaatan dan dedikasi orang lain yang seharusnya untuk Tuhan, maka ia mencuri kemuliaan Allah. Gambar Allah bersifat fungsional, yang mana manusia ditempatkan di bumi untuk menunjukkan kedaulatan Allah atas dunia ciptaan dengan cara menaklukkan dan berkuasa atas bumi (Kej. 28).

D. Refleksi

Bumi dan segala sesuatu yang ada di dalamnya seharusnya digunakan secara bertanggung jawab untuk menyokong keluarga manusia. Akan tetapi, semua adalah penjaga—bukan pemilik—terhadap bumi ini dan kelimpahannya serta akan bertanggung jawab di hadapan Allah untuk apa yang mereka lakukan terhadap ciptaan-ciptaan-Nya.”(Environmental Stewardship and Conservation). GBKP dalam Garis besar pelayanan (GBP) 2021-2025 menjelaskan bahwa jemaat mengemban sebagai imamat rajani (Royal Priesthood) untuk mengambil bagian dalam bangunan tubuh Kristus melestarikan dan menjaga alam dan berkolaborasi dengan rumusan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan/ SDGs (Sustainable Development Goals). Dalam kaitannya dengan isu lingkungan, gereja memiliki peran sangat strategis dengan ‘hidup sebagai masyarakat yang mewujudkan diri dan kehidupannya sebagai ciptaan yang sudah ditebus’ (Rasmussen, 1996). Artinya, gereja dalam diri anggota tubuh Kristus dapat menghadirkan gaya hidup yang berbeda pada lingkungan sekitarnya; gaya hidup yang bersumber dan berorientasi pada kebenaran Allah dan firman-Nya. Tidak ada organisasi lain di dunia, di mana anggota-anggotanya memiliki komitmen antara satu dengan yang lain. Lebih daripada itu, tidak ada tempat lain di mana tersedia kuasa yang dapat mengubah hati manusia selain di gereja. Dengan pemahaman ini, gereja adalah sungguh jawaban Tuhan atas isu lingkungan dan perubahan iklim yang dihadapi umat manusia saat ini. Beberapa tindakan nyata yang dapat dilakukan gereja adalah: a) meluruskan dan memperdalam pemahaman anggota gereja dan masyarakat mengenai mandat Allah untuk menjaga dan memelihara ‘Taman Allah’ di dunia ini; b) mengembangkan konsep ‘gereja berkelanjutan’ dengan memastikan aset dan fasilitas gereja tidak menjadi sumber pencemaran dan polusi, efisien menggunakan energi khususnya listrik dan bahan bakar, hemat menggunakan kertas, air, dan halaman gereja digunakan untuk kegiatan produktif; c) Memastikan setiap kegiatan gereja (Natal, Paska, Kegiatan gerejawi lainnya) menggunakan makanan akrab lingkungan dan rendah emisi karbon, menggurangi penggunaan bahan tidak akrab lingkungan seperti plasik, styrofoeam, dll; d) mendukung program pemerintah daerah di mana gereja berada di bidang lingkungan hidup, misalnya penamanan pohon, pembuatan lubang biopori, menerapkan daur ulang sampah; e) bekerjasama dengan pemeluk agama lain dalam kegiatan-kegiatan lingkungan; f) partisipasi dalam perayaan-perayaan lingkungan nasional dan internasional, misalnya program Earth Hour setiap akhir Bulan Maret, merayakan hari lingkungan hidup sedunia 5 Juni sebagai pengingat ke jemaat untuk menjaga kelestarian ciptaan Tuhan.