Khotbah Kebatian Tutup Tahun Tgl 31 Desember 2020 ; I Petus 1 : 22-25

(TUTUP TAHUN)

Invocatio  : “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1 Korintus 13:13)

Bacaan     : Mazmur 119:89-96

Khotbah   : 1 Petrus 1:22-25

Tema        : “Hidup dan Yang Kekal” (Nggeluh Dingen Tetap Rasa Lalap)”

I.  PENDAHULUAN

Tanpa terasa waktu sudah menghentar kita pada penghujung hari di tahun 2020. Banyak suka dan duka sudah dilalui, senang dan susah, gembira dan sedih, solusi dan masalah, keyakinan dan kehawatiran datang silih berganti bak gelombang laut tiada berpenghujung. Terkhusus di tahun ini, kita diperhadapkan dengan situasi dan keadaan yang sangat menghawatirkan oleh karena adanya wabah virus corona yang penyebarannya begitu cepat dan mudah antara satu orang ke orang yang lain, sehingga menjadi pandemi yang menghebohkan dunia ini. Dampak dari pandemi covid-19 ini begitu besar bagi dunia dan bagi keluarga-keluarga kita semua, terjadinya resesi ekonomi, pemutusan hubungan kerja (PHK), anak-anak yang harus sekolah dari rumah, biaya hidup yang semakin besar dan sulit untuk memenuhinya, ditambah ancaman tertular dan menularkan virus corona yang bisa membuat kita sakit bahkan tidak sedikit yang meninggal dunia, sehingga kita banyak melakukan kegiatan di rumah dan membatasi pertemuan dengan orang lain. Bahkan gedung gereja juga harus ditutup dan kita beribadah di rumah masing-masing bersama dengan keluarga.

Dalam hitungan menit kita akan meninggalkan tahun 2020 dan memasuki tahun yang baru 2021. Ibarat melakukan suatu perjalanan maka saat ini kita telah tiba pada akhir dari suatu perjalanan panjang selama satu tahun di tahun 2020 ini (12 bulan, 52 minggu, 365 hari, 8.760 jam, 525.600 menit, 31.536.000 detik). Kita meyakini bahwa semua yang telah dijalani itu bukan karena kemampuan dan kuat gagah serta kehebatan kita sendiri, tapi kita mengimani dan mengakui bahwa kita ada sampai saat ini, di sini dan di tempat ini hanya oleh kasih setia Tuhan. Dia-lah yang telah menopang dan menyertai kita di sepanjang perjalanan hidup ini. Penggalan syair lagu, “tiap langkahku di atur oleh Tuhan dan tangan kasih-Nya membimbingku” adalah pengakuan yang sungguh atas semua penyertaan Tuhan dalam hidup kita. 

II.                 PENDALAMAN NAS

Konteks Jemaat ketika surat ini dituliskan, yakni Penindasan dan Penganiayaan yang dilakukan oleh Pemerintah Romawi yang menyebabkan Umat Tuhan sangat menderita. Umat Tuhan difitnah sebagai orang-orang durjana dan kepada mereka dituduhkan segala yang jahat. Karena itu, tidak sedikit anak-anak Tuhan yang harus terpisah dengan keluarganya karena mereka ditangkap dan dipenjarakan cuma karena mereka adalah orang Kristen. Bahkan sebagian dari pada mereka harus menjalani hukuman mati karena kegigihan mereka mempertahankan iman kepada Yesus yang adalah Tuhan dan Juruselamat. Namun tak dapat dipungkiri bahwa karena tekanan yang begitu berat maka tidak sedikit juga anak-anak Tuhan yang goncang imannya. Kasih persaudaraan yang terbina selama ini menjadi pupus, karena perasaan takut dan kuatir diketahui sebagai orang-orang Kristen. Dalam menghadapi kesusahan dan kesulitan yang luar biasa itu, sudah barang tentu membawa dampak yang kurang baik bagi pertumbuhan iman anak-anak Tuhan, maka Petrus dalam suratnya ini meneguhkan kepercayaan para pembacanya agar mereka tetap teguh dan tidak mudah tergoncang. Petrus mengajak anak-anak Tuhan agar tetap tabah menghadapi segala jenis penghambatan dan mengingatkan mereka agar tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Justru dalam situasi seperti itu, anak anak Tuhan mendapat kesempatan untuk semakin tekun melakukan berbagai kebajikan. Petrus minta agar anak-anak Tuhan memilkiki cara hidup yang baik, saleh, dan penuh dengan kelemah-lembutan, sehingga ketika mereka "difitnah sebagai orang durjana, maka semua orang dapat melihat perbuatan-perbuatan yang baik itu dan memuliakan Allah pada hari IA melawat mereka (1 Ptr. 2:12)".

Demikian juga dengan hubungan di antara mereka sebagai umat Tuhan. Mereka harus saling memperhatikan, meneguhkan, menghiburkan dan saling mengasihi dengan penuh ketulusan dan keikhlasan. Justru di tengah-tengah situasi yang kurang bersahabat itu diperlukan pembuktian tentang ajaran kasih yang sesungguhnya yang telah mereka warisi dari keteladanan kasih Tuhan Yesus. Terlebih lagi Petrus menyebut mereka sebagai "orang-orang pendatang yang tersebar di wilayah Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia (1 Ptr. 1:1)", siapa lagi yang akan memperhatikan mereka serta mempedulikan mereka dalam menghadapi tekanan yang berat itu selain di antara mereka sendiri. Petrus berharap agar kasih persaudaraan di antara anak-anak Tuhan tidak luntur di tengah-tengah situasi yang sedang mereka hadapi. Penderitaan akibat tekanan yang begitu hebat, menantang anak-anak Tuhan untuk semakin mengobarkan kasih persaudaraan dan hal ini akan menjadi kesaksian bagi dunia bahwa seberat dan sebesar apapun pencobaan hidup, anak-anak Tuhan tidak akan pernah saling menggigit dan saling membinasakan satu dengan yang lainnya.

Ada dua alasan untuk mengasihi dalam 1 Petrus 1:22-25. Alasan pertama diletakkan sebelum perintah itu sendiri dan alasan kedua diletakkan setelah perintah itu. Ayat 22a berbunyi, “Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran...HENDAKLAH (ayat 22b) kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu”. Setelah itu Petrus memberikan alasan yang kedua, “Karena (ayat 23) kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal”. Jadi perintah untuk sungguh-sungguh mengasihi berdiri di atas dua dasar. Dasar pertama adalah ketaatan kepada kebenaran yang menyucikan (ayat 22a). Dasar kedua adalah kelahiran baru oleh firman Allah (ayat 23). Kita pasti bertanya saat ini, apa hubungannya dengan pengharapan yang tadi dikatakan memberikan kekuatan kepada kasih? Darimana kita melihat hubungan pengharapan ini dengan kedua dasar untuk mengasihi itu?

Mari kita perhatikan ayat 22a, tujuan dari ketaatan yang menyucikan itu adalah kasih, “sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas”. Dengan kata lain, ketaatan di sini bukanlah ketaatan mengasihi. Ketaatan di sini memimpin pada mengasihi. Ketaatan macam apa kalau begitu? Ketaatan kepada kebenaran. Apakah kebenaran itu? Dalam konteks ini dan sesuai dengan kitab-kitab Injil, kebenaran di sini adalah Firman Allah (ayat 23). Dan Firman Allah yang demikian disebut di dalam ayat 25b sebagai Injil itu sendiri. Jadi, ketaatan kepada kebenaran artinya di sini adalah menaati Injil.

Dasar pertama bagi kita untuk mengasihi menurut ayat 22a adalah ketaatan kepada kebenaran atau pengharapan kita kepada firman yang hidup dan kekal itu. Pengharapan macam yang menyucikan diri kita itu sehingga kita dimampukan untuk mengasihi? Jawabannya adalah pengharapan kepada firman yang kekal dan hidup itu menyucikan diri kita dari pengharapan kepada sesuatu yang fana dan tidak abadi seperti rumput dan bunga duniawi. Berharap kepada Allah menyucikan kita dari berharap kepada sesuatu duniawi yang sia-sia. Pengharapan kepada Allah menolong kita untuk melihat bahwa jika kita hidup demi indahnya bunga dan segarnya rumput dunia seperti uang, kenyamanan, ketenaran, kesenangan duniawi dan seks, maka kita akan layu, kering dan akhirnya gugur. Dan ketika pengharapan yang baru ini, pengharapan akan firman Allah yang hidup dan kekal itu, menyucikan kita dari segala pengharapan yang sia-sia dan fana itu, kita dimampukan untuk mengasihi satu sama lain dengan sungguh-sungguh.

Dasar kedua kita mengasihi adalah kita dilahirkan kembali oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal. Kalau kita perhatikan apa yang Petrus tekankan dalam ayat 23-25 maka kita menemukan bahwa ia tidak hanya menekankan kelahiran baru oleh firman Allah. Ia menekankan sesuatu yang spesifik tentang firman itu, bahkan ia sampai mengutip dari Perjanjian Lama, Yesaya 40:6-8. Apa yang ia tekankan dari firman Allah itu?

Kita sudah melihat bahwa dalam pasal 1 ini Petrus sangat menekankan sesuatu yang bersifat kekal: bagian atau warisan kita tidak dapat binasa (ayat 4), iman kita yang bernilai tidak fana (ayat 7), tebusan kita yang mahal bahkan tidak tidak fana (ayat 18-19) dan firman Allah yang hidup dan yang kekal (ayat 23). Apa maksudnya? Tidak lain dan tidak bukan adalah bahwa apa yang Tuhan berikan kepada kita itu tidak akan habis. Apa yang Tuhan janjikan kepada kita itu tidak akan pernah keliru. Segala yang Tuhan sediakan bagi kita adalah tetap dan akan selalu ada seperti Allah yang tidak akan pernah tidak ada. Dan orang-orang percaya yang berdiri di atas hal demikian tidak akan pernah binasa, selamanya. Dengan kata lain, penekanannya adalah pada pengharapan.

Ayat 24-25 semakin menegaskan betapa firman Allah itu tetap dan tidak akan pernah lenyap. Mengapa Petrus demikian menekankan sifat permanen atau sampai selama-lamanya firman Allah ini? Karena seperti peribahasa “buah tidak jatuh jauh dari pohonnya”, kita akan menghasilkan buah sesuai dengan pohon dimana kita berada. Petrus ingin kita melihat bahwa benih yang menciptakan pohon kita itu, yang menyebabkan kita lahir kembali, adalah firman Allah yang tidak dapat binasa, yang hidup, yang kekal dan selama-lamanya. Kalau pohonnya seperti itu, demikianlah buahnya kita. Kita akan tidak dapat binasa, memiliki hidup kekal dan selama-lamanya. Inilah pengharapan kita.

Jadi dasar kedua untuk mengasihi adalah hati yang sudah dilahirkan kembali oleh firman Allah untuk berharap. Sebuah pengharapan yang dibebaskan dari segala bunga dan rumput duniawi. Satu hal yang membuat kita tidak dapat mengasihi adalah ketakutan bahwa jika kita membayar harga kasih itu, maka kita akan kehilangan hal-hal indah yang dunia ini akan berikan kepada kita: “segala kemuliaannya seperti bunga rumput” (ayat 24): jika kita lebih menggunakan waktu dan energi kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain daripada diri kita sendiri, jika kita menerima kritik tanpa membela diri, jika kita mengampuni, jika kita bersukacita ketika orang lain diberkati sedangkan kita tidak, jika kita memberkati mereka yang mengutuk kita dan berbuat baik kepada mereka yang menindas kita.

Jika kita bersungguh-sungguh mengasihi dengan segenap hati, maka harga yang harus kita bayar adalah kita akan kehilangan kemuliaan bunga rumput yang orang-orang dunia ini kejar-kejar dan dambakan. Kuasa untuk mengalahkan ketakutan ini adalah kuasa pengharapan yang telah disucikan oleh TUHAN– bahwa kemuliaan dunia ini akan berlalu dan yang dilahirkan kembali oleh firman Allah dan yang berharap pada Allah itu, akan tetap hidup dan kekal selama-lamanya.

Kasih Persaudaraan adalah BATU UJI bagi pengudusan setiap pribadi Kristen. Jika hidup kita tidak menampakkan KASIH maka kita tidak lebih dari pada gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Karena itu, bagi Petrus, kasih yang tulus selalu berpedoman pada kasih Kristus yang rela berkorban demi keselamatan umatNya. Kita yang sudah mengalami kasih itu, dituntut untuk melakukan hal yang sama. Dan hal ini hanya mungkin dilakukan jika kita dilahirkan kembali. Artinya, hidup kita harus dikuasai oleh Roh dan "buah dari Roh adalah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan dan penguasaan diri (Gal. 5:22).

 

Melalui invocatio 1 Korintus 13:13 juga ditekankan tentang kasih, di mana iman dan pengharapan bisa hanya diucapkan dan dalam bentuk pengakuan serta ajaran, sedangkan kasih harus dalam bentuk nyata melalui perbuatan. “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1 Korintus 13:13).

III.   APLIKASI

Dalam menjalani kehidupan ini, baik dalam menjalani tahun yang sebentar lagi akan kita tinggalkan maupun tahun yang akan kita jalani dan masuki tahun 2021, tidak pernah kita dijanjikan akan hidup bebas dari masalah. Tapi kita percaya ada kasih Tuhan yang selalu beserta dengan kita, yang tidak pernah meninggalkan kita sehingga kita kuat dan mampu menjalaninya. Gelombang dan badai kehidupan pasti menerjang dan mau menghempaskan kita, virus corona mungkin masih akan merajalela menularkan dari satu orang ke orang lainnya, tapi dengan kasih setia Tuhan kita akan tetap berdiri dan terus berjalan.

Ingatlah, masalah dan pergumulan itu tidak akan memisahkan kita dari kasih Kristus. Kita harus menyadari bahwa kasih karunia Tuhan tidak pernah berhenti dari hidup kita. Apapun permasalahan yang kita hadapi, kita tahu kasih setia Tuhan selalu ada menyertai kita. Tuhan punya cara untuk menolong kita. Allah tidak mau memisahkan diriNya dengan kita. Dia Allah yang peduli, mengerti, menolong setiap kita.

Tema kita menyatakan “Hidup dan Yang Kekal”. Dasar kita hidup adalah melakukan kasih di sepanjang umur hidup kita. Kita bisa melewati masa-masa sulit dan kelam tahun ini, khususnya karena pandemi covid-19 itu semua oleh karena “Kasih”, kasih Allah kepada kita dan kasih sesama kita yang menguatkan dan kita juga menguatkan satu dengan lainnya. Di samping itu, hidup kita di dunia ini adalah fana dan sementara tapi ada yang kekal selamanya yaitu firman Allah. Maka mari jalani hari-hari kita selanjutnya, sebentar lagi kita akan meninggalkan tahun 2020 dan memasuki tahun yang baru 2021, hidup masih berlanjut maka jalani dengan penuh kasih terhadap sesama dan hudup berdasarkan firman Tuhan yang kekal.

Mari jalani hidup, masalah tentu masih banyak di depan, karena selama kehidupan ada maka pergumulan itu tiada ujungnya. Walaupun demikian kasih setia Tuhan itu baik adanya bagi tiap kita yang percaya dan firmanNya selalu kekal dan menguatkan kita.

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku”. (Habakuk 3:17-19)

“Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Ratapan 3:22-23).

Pdt. Irwanta Brahmana, S.Th

GBKP Runggun Surabaya