Khotbah Minggu Tgl 15 Agustus 2021 ; 1 Korintus 7:17-24

Invocaio      : Maka Allah menciptakan manusia itu  menurut gambar-Nya, menurut  gambar Allah diciptaka- Nya dia ; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (Kejadian 1:27)

Ogen            : Imamat 25:39-55

Kotbah         : 1 Korintus 7:17-24

Tema           : “BERHARGA KARENA KRISTUS/MEHERGA ERKITIKEN KRISTUS”

I. Pengantar

Minggu ini adalah minggu yang menekankan tentang Hak asasi Manusia. Apakah arti dari Hak Asasi Manusia? Hak asasi manusia (biasa disingkat dengan HAM) adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi manusia berlaku kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut.

Berbicara tentang Hak Asasi Manusia dari perspektif teologi Kristen, perlu mengakui “kedua dimensi Hak Asasi Manusia yaitu: “Dimensi universalnya dan Dimensi historisnya.” Perspektif Kristen tentang Hak Asasi Manusia dapat dilihat melalui dua sisi yaitu:

1) Mengkaji dari sudut iman serta teologi kristiani, apa, mengapa dan bagaimana Hak Asasi Manusia yang berlaku universal bagi setiap orang di semua tempat.

2) Meletakkan upaya tersebut di dalam rangka upaya bersama seluruh umat manusia untuk mengusahakan yang terbaik bagi setiap orang dan semua orang sesuai dengan hak-hak asasinya sebagai manusia.

Menurut Douglas Elwood, sebagai umat Kristen dalam bangsa Indonesia ini, kita harus dapat memberikan konstribusi yang baik dengan sesama dengan tidak menjadi batu sandungan bagi banyak orang. Kita harus memiliki kasih. Artinya kita harus bisa Mengkaji dari sudut iman serta teologi kristiani bagaimana Hak Asasi Manusia yang berlaku universal bagi setiap orang di semua tempat dan Meletakkan upaya tersebut di dalam rangka upaya bersama seluruh umat manusia untuk mengusahakan yang terbaik bagi setiap orang dan semua orang sesuai dengan hak-hak asasinya sebagai manusia. Untuk itu mari kita mengkaji nats khotbah kita minggu ini.

II. Isi/Pendalaman Nats

          Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan kita Yesus Kristus,

Sebelum kita memahami nats yang menjadi bahan khotbah minggu ini, terlebih dahulu marilah kita mengarahkan diri kita kepada konteks yang sebelumnya. Salah satu masalah dalam gereja di Korintus adalah ketidakpastian tentang bagaimana iman kepada Kristus seharusnya memengaruhi hubungan-hubungan yang biasanya ada dalam kehidupan manusia. Contohnya, di 1 Korintus 7 diajukan pertanyaan apakah iman kepada Kristus harus berarti bahwa seorang suami dan istri harus bertarak dari hubungan-hubungan seksual. Di ayat 3 Paulus dengan jelas mengatakan tidak. Contoh lain di ayat 12-16 adalah pertanyaan, Apa yang harus kita lakukan jika salah satu pasangan nikah meletakkan imannya pada Kristus, tetapi yang lainnya tidak? Haruskah pasangan yang percaya menarik diri agar tetap murni? Sekali lagi Paulus menjawab, tidak. Tinggallah dalam hubungan di mana Anda berada, ketika Allah memanggil Anda percaya. Iman kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat tidak akan pernah merusak kovenan pernikahan yang Allah tetapkan pada waktu penciptaan.

Tetapi setelah mengatakan hal itu di ayat 12 dan 13, rasul Paulus memang mengizinkan bahwa, jika pasangan yang tidak percaya meninggalkan pasangan yang percaya dan tidak ingin berhubungan lagi dengan pasangan yang percaya, maka pasangan yang percaya tidak terikat selamanya dengan hubungan itu. Dengan kata lain, beriman pada Kristus tidak menjadikan seseorang ingin meninggalkan hubungan-hubungan yang ditetapkan oleh Allah, melainkan untuk menguduskan mereka. Dengan kesabaran, doa, kerendahan hati, keteladanan, pasangan yang percaya ingin memenangkan pasangannya yang tidak percaya. Tetapi mungkin, sebagaimana yang Yesus nubuatkan di Matius 19:34 dst., bahwa pemberontakan dan ketidakpercayaan pasangan yang tidak percaya akan mengubah Kekristenan menjadi pedang yang memotong, ketimbang balsem damai yang menyembuhkan. Maka, prinsip yang Rasul Paulus ikuti adalah: tinggallah dalam hubungan-hubungan Anda yang telah Allah tetapkan; jangan berusaha untuk meninggalkan atau menghancurkan hubungan-hubungan itu. Tetapi ia mengizinkan perkecualian bahwa jika hubungan itu ditinggalkan dan dihancurkan terlepas dari keinginan atau kendali Anda oleh pasangan yang tidak percaya, maka demikianlah jadinya. Orang percaya yang tidak bersalah itu tidak terikat dengan si pembelot.

Teks kita dimulai di 1 Korintus 7:17. Setelah membahas prinsip tinggal di dalam hubungan pernikahan yang telah Allah tetapkan ketika Anda menjadi orang Kristen, sekarang Paulus membahas prinsip ini dalam dua kaitan lainnya. Marilah kita membaca 1 Korintus 7:17-24.

Di sini prinsip yang sudah Paulus ajarkan dalam kaitan dengan pernikahan disebutkan dengan jelas sebanyak tiga kali. Perhatikan ayat 17, “Hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah.” Lalu ayat 20, “Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah.” Kemudian ayat 24, “Saudara-saudara, hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil.” Ketiga pernyataan dari prinsip Paulus ini membagi teks itu menjadi dua bagian. Mungkin ada gunanya untuk membayangkan hal-hal ini sebagai tiga potong roti dalam sandwich dua lapis (seperti Big Mac). Di antara dua bagian atas ada ayat 18 dan 19, di mana prinsip itu diterapkan pada perihal bersunat dan tidak bersunat. Di antara dua bagian bawah ada ayat 21-23, di mana prinsip itu diterapkan pada perhambaan dan kebebasan. Tetapi sebelum kita dapat memahami penerapan-penerapan ini, kita perlu menjelaskan kata kunci dalam prinsip itu sendiri.

          Kata “panggilan” mucul sebanyak sembilan kali dari jumlah nats yang kita bahas. Ketika Paulus mengatakan di ayat 17, “Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup ... dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah,” dan ketika ia mengatakan di ayat 24, “Hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil,” ia sedang merujuk kepada suatu panggilan ilahi di mana kita ditarik untuk percaya kepada Kristus. Kita sering menggunakan kata “panggilan” untuk merujuk kepada pekerjaan kita: panggilan saya adalah menjadi Pendeta; panggilan saya adalah untuk menjadi pebisnis, atau ASN, atau lain sebagainya. Tetapi bukan begitu cara Paulus menggunakannya dalam delapan dari sembilan kali kata itu muncul dalam paragraf ini. Satu kali ia menggunakan kata “panggilan” dalam arti vokasional (pekerjaan), yaitu di ayat 20. Secara literal ayat itu mengatakan, “Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam “panggilan” (bukan keadaan), seperti waktu ia dipanggil Allah.” Kata “panggilan” di sini merujuk kepada vokasi (pekerjaan) atau posisi dalam kehidupan. Dan di tengah pekerjaan atau posisi dalam kehidupan ini, panggilan yang lain datang dari Allah. Panggilan ini adalah tarikan Roh Kudus ke dalam persekutuan dengan Kristus. Secara sangat sederhana, panggilan Allah yang datang kepada seseorang dalam vokasinya merupakan kuasa Allah untuk menobatkan jiwa melalui Injil.

Semua ini dijelaskan di 1 Korintus 1. Di pasal 1, ayat 9, Paulus mengatakan, “Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia.” Maka semua orang Kristen, dan hanya orang Kristen, yang dipanggil dalam arti ini. Panggilan dari Allah ini berbeda, di satu sisi, dari “panggilan” vokasional kita dan, di lain sisi, dari panggilan umum untuk bertobat yang datang kepada semua orang. Ketika Yesus berkata di Matius 22:14, “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih,” ia merujuk kepada panggilan Injil yang ditujukan kepada seluruh dunia, yang didengar oleh banyak orang tetapi mereka menolaknya untuk kebinasaan mereka sendiri.

Tetapi ini bukanlah panggilan yang Paulus maksudkan. Panggilan Allah yang menempatkan kita ke dalam persekutuan yang penuh kasih dan percaya dengan Yesus merupakan suatu panggilan yang kuat dan efektif yang membawa kita kepada Sang Anak (Yohanes 6:44, 65). Ini terlihat paling jelas di 1 Korintus 1:23, 24, di mana Paulus mengatakan, “Kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.” “Yang dipanggil” bukanlah semua orang yang mendengar khotbah, tetapi orang-orang yang menerima khotbah itu sebagai hikmat. Kita dapat menguraikan ayat-ayat itu untuk menunjukkan perbedaan antara panggilan yang umum dan panggilan yang efektif: Paulus mengatakan, “Kami memanggil setiap orang untuk percaya kepada Kristus yang disalibkan, tetapi banyak orang Yahudi menemukan panggilan ini adalah batu sandungan, dan banyak orang bukan Yahudi menemukan panggilan ini adalah kebodohan, tetapi orang-orang yang dipanggil (yaitu, secara kuat dan efektif ditarik kepada Kristus) menemukan panggilan Injil adalah kuasa dan hikmat Allah.”

Karena itu, ketika Paulus berkata di 1 Korintus 7:17, 20, dan 24 bahwa kita harus tetap tinggal dan hidup bersama dengan Allah dalam keadaan seperti pada waktu kita dipanggil, ia memaksudkan: Tetaplah dalam keadaan seperti ketika kamu bertobat, ketika kamu ditarik oleh Allah ke dalam persekutuan yang penuh kasih dan percaya dengan Anak-Nya. Kini kita perlu melihat bagaimana Paulus menerapkan prinsip ini pada zamannya, dan apa artinya itu bagi kita pada zaman sekarang ini. Dalam proses itu, alasan theologis untuk itu akan muncul juga. Paulus menerapkan prinsip itu pertama-tama bukanlah untuk vokasi, tetapi untuk perihal bersunat dan tidak bersunat. Ia menerapkannya demikian: jika Anda bertobat sebagai orang bukan Yahudi, jangan mencoba untuk menjadi orang Yahudi. Jika Anda bertobat sebagai orang Yahudi, jangan mencoba untuk menjadi orang bukan Yahudi. Pada dasarnya, itulah arti dari tidak bersunat dan bersunat. Hal ini memiliki implikasi-implikasi kultural yang luas: jika Anda adalah orang kulit hitam, jangan mencoba untuk menjadi orang kulit putih; jika Anda adalah orang kulit putih, jangan mencoba untuk menjadi orang kulit hitam. Lalu Paulus memberikan alasan theologis untuk nasihat ini. Ayat 19 mengatakan secara literal, “Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. (Yang penting ialah) mentaati hukum-hukum Allah.” Ini adalah hal yang paling menyakitkan hati yang pernah Paulus katakan kepada orang Yahudi: Sunat tidak penting. Dan jika kita memahami penerapan kulturalnya yang luas, itu menyakiti hati kita semua. Tetapi itu benar. Perhatikan bagaimana dasar pemikiran Paulus yang secara radikal berbeda adalah untuk memelihara ciri-ciri khas budaya Anda ketimbang mengikuti arus pemikiran zaman kita. Kita mengatakan, putih itu indah, hitam itu indah, merah itu indah, kuning itu indah; karena itu, jangan mencoba berganti budaya. Paulus mengatakan, putih itu tidak penting, hitam itu tidak penting, merah itu tidak penting, kuning itu tidak penting, tetapi menaati hukum-hukum Allah itu penting; karena itu, jangan mencoba untuk berganti budaya. Tinggallah di mana Anda berada dan taatilah Allah. Paulus adalah pemikir yang sangat tidak mengikuti mode, karena itu sampai selamanya ia relevan. Ia secara radikal berorientasi pada Allah. Segala sesuatu, segala sesuatu harus tunduk terhadap keutamaan Allah. Hal ini mutlak untuk wajib dipahami agar kita tidak menciptakan suatu legalisme baru. Legalisme lama mengatakan, “Anda harus disunat untuk diselamatkan (Kisah Para Rasul 15:1). Anda harus menjadi orang kulit putih agar diakui.” Legalisme baru mengatakan, “Anda tidak boleh disunat jika Anda ingin diselamatkan. Anda tidak boleh menjadi kulit putih jika Anda ingin diterima.” Kita akan menyelewengkan ajaran Paulus dan salah menanggapi maksudnya jika kita mengambil kalimat, “Biarlah yang tidak bersunat tidak disunat” (ayat 18), dan menjadikannya suatu larangan mutlak akan adaptasi-adaptasi kultural (budaya). Paulus tidak sedang menjatuhkan hukuman penuh atas semua orang yang mengadopsi aspek-aspek dari budaya lain dan melepaskan aspek-aspek budaya mereka sendiri. Ini jelas dari fakta bahwa ia menyuruh Timotius disunat (Kisah Para Rasul 16:3), dan dari pernyataannya sendiri bahwa ia menjadi segala-galanya bagi semua orang agar ia dapat menyelamatkan beberapa orang dari antaranya (1 Korintus 9:22).

Apa yang Paulus sedang kerjakan ialah menunjukkan bahwa ketaatan kepada hukum-hukum Allah jauh lebih penting daripada ciri-ciri khas kultural apa pun, sehingga perubahan biasa dari ciri-ciri khas ini tidaklah penting bagi orang Kristen. Dengan kata lain, janganlah hal-hal: apakah Anda disunat atau tidak, atau apakah Anda kulit putih atau kulit hitam atau kulit merah atau orang dari bangsa tertentu, dijadikan persoalan besar. Tetapi sebaliknya, jadikanlah ketaatan sebagai persoalan penting; jadikan seluruh tujuan hidup Anda adalah untuk menaati hukum moral Allah. Waktu itu dan hanya waktu itulah sunat (sebagaimana Paulus implikasikan di Roma 2:25) dan ciri-ciri khas kultural lainnya menjadi indah, dalam suatu cara yang sangat sekunder dan derivatif sebagai ekspresi ketaatan iman. Pendeknya, penerapan prinsip Paulus pada ciri-ciri khas kultural adalah demikian: Jangan rewel dan jangan bermegah atas ciri khas kultural Anda sekarang; semua itu tidak penting bagi Allah dibandingkan dengan apakah Anda memberikan seluruh diri Anda, jiwa, pikiran dan tubuh, untuk menaati hukum-hukum-Nya, yang semuanya digenapi di dalam hal ini: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Roma 13:8-10; Galatia 5:14).

III. Aplikasi/Kesimpulan

Ada bebrapa penekanan dari nats khotbah diatas. Yaitu:

Allah itu sangat jauh lebih peduli dengan cara kita melakukan pekerjaan yang sekarang kita miliki ketimbang dengan apakah kita mendapat pekerjaan yang baru. Dalam jemaat ini, kita memiliki perawat, guru, tukang kayu, artis, sekretaris, pemegang buku, pengacara, resepsionis, akuntan, pekerja sosial, orang yang memperbaiki banyak macam hal, insinyur, manajer kantor, pelayan, tukang listrik, penjual barang-barang, penjaga keamanan, dokter, personil militer, konselor, pegawai bank, pejabat polisi, ahli dekorasi, musisi, arsitek, pelukis, orang yang membersihkan rumah, administrator sekolah, ibu rumah tangga, misionari, pendeta, pembuat lemari, dan banyak lagi. Apa yang kita semua perlu dengar adalah bahwa yang ada pada hati Allah bukanlah apakah kita beralih dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain, tetapi apakah dalam pekerjaan kita yang sekarang kita sedang menikmati hadirat Allah yang dijanjikan dan menaati hukum-hukum-Nya dalam cara kita melakukan pekerjaan kita.

Sebagaimana telah kita lihat, perintah untuk tinggal dalam panggilan di mana Anda berada ketika bertobat tidaklah mutlak. Itu tidak melarang semua perpindahan pekerjaan. Kita tahu hal ini bukan hanya karena perkecualian-perkecualian yang Paulus izinkan terhadap prinsipnya di sini 1 Korintus 7 (bdk. ayat 15), tetapi juga karena Kitab Suci menggambarkan dan menyetujui perubahan-perubahan seperti itu. Ada ketetapan untuk membebaskan budak-budak di Perjanjian Lama, dan kita juga sangat kenal dengan seorang pemungut cukai yang menjadi pengkhotbah maupun nelayan-nelayan yang menjadi misionari. Di samping ini, kita tahu bahwa ada beberapa pekerjaan yang tidak dapat Anda teruskan jika Anda mau menaati hukum-hukum Allah: misalnya, prostitusi, banyak bentuk hiburan yang tidak sopan dan bobrok, dan yang lain, di mana Anda mungkin dipaksa untuk mengeksploitasi orang.

Paulus tidak mengatakan bahwa seorang pencuri profesional atau seorang pelacur sosial di jemaat Korintus harus tetap dalam panggilan saat mereka dipanggil. Masalah di dalam jemaat Korintus adalah: Ketika kita datang kepada Kristus, apa yang harus kita tinggalkan? Dan jawaban Paulus adalah: Kamu tidak perlu meninggalkan pekerjaanmu jika kamu dapat tetap meneruskan pekerjaan itu di hadapan Allah. Hanya saja apakah dari pekerjaan itu ada nilai-nilai etika jika diperhadapkan dengan nilai-nilai agama. Kepedulian Paulus bukan untuk menyalahkan perubahan-perubahan pekerjaan, tetapi untuk mengajarkan bahwa Anda dapat memiliki pemenuhan dalam Kristus apa pun pekerjaan Anda. Ini merupakan suatu ajaran yang sangat tidak mengikuti mode dalam masyarakat Barat masa kini, karena hal ini menggentarkan ambisi duniawi. Kita perlu berpikir keras dan panjang tentang apakah apa yang kita komunikasikan kepada anak-anak kita tentang kesuksesan itu alkitabiah atau hanya pandangan duniawi. Firman Allah bagi kita semua “pencari keberhasilan” adalah demikian: Ambil semua ambisi dan dorongan yang Anda curahkan ke dalam usaha Anda mencapai kesuksesan dan sebaliknya curahkan itu ke dalam semangat rohani untuk menanamkan suatu rasa nikmat akan hadirat Allah dan ketaatan pada kehendak-Nya yang dinyatakan dalam Kitab Suci karena kita berharga di mata Tuhan.

Bagi Anda para PERMATA yang belum memasuki suatu profesi, implikasi dari teks kita adalah demikian: Ketika Anda menanyakan kepada diri Anda pertanyaan: “Apakah kehendak Allah bagi hidup saya?” Anda harus memberikan jawaban yang jelas: “Kehendak-Nya adalah agar saya memelihara persekutuan yang erat dengan Dia dan memberikan diri saya untuk menaati hukum-hukum-Nya.” Kehendak Allah yang dinyatakan bagi Anda (satu-satunya kehendak yang menuntut tanggung jawab Anda dalam menaatinya) adalah pengudusan Anda (1Tesalonika 4:3), bukan vokasi Anda. Berikanlah diri Anda pada pengudusan itu dengan segenap hati Anda, dan ambillah pekerjaan apa pun yang Anda inginkan. Saya yakin bahwa, jika semua anak muda berusaha sekeras-kerasnya untuk tinggal dekat dengan Allah dan menaati perintah-perintah Kitab Suci, Allah akan menyebarkan mereka dalam dunia, tepat di mana Ia ingin mereka berpengaruh bagi Dia. Sehubungan dengan HUT SAITUN ke-30, kita juga bisa melakukan perubahan MINDSET, dimana orang tua kita ini akan mendapatkan tempat  di jemaat, dan bukan mengangap SAITUN menjadi beban bagi Gereja. Mereka juga memiliki pengalaman yang bisa di bagikan bagi kalangan muda, untuk belajar memahami dan mengenal hidup (Motivasi).  

Dan akhirnya, teks ini mengimplikasikan bahwa pekerjaan yang sekarang Anda miliki, selama Anda ada di sana, merupakan penugasan Allah bagi Anda. Ayat 17 mengatakan, “Hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya.” Allah itu berdaulat. Bukanlah kebetulan kalau Anda berada di mana Anda berada [sekarang]. “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya” (Amsal 16:9). “Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana” (Amsal 19:21). “Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada TUHAN” (Amsal 16:33). Anda berada di mana Anda berada oleh penugasan ilahi, bahkan jika Anda berada di sana karena penipuan. Pekerjaan Anda adalah penugasan pelayanan Anda, sebagaimana pekerjaan saya. Bagaimana Anda memenuhi tuntutan-tuntutan dari pekerjaan itu sama pentingnya dalam kehidupan seperti apa yang Anda lakukan. Karena banyak di antara kita yang mungkin bermaksud memulai lembaran baru besok pagi. Seperti lirik dalam sebuah nyanyian: “Cintailah..sesamamu, seperti dirimu sendiri, bersama-sama kita lewati, apa yang dianugrahkanNya..”

Pdt. Anthon Keliat