Minggu tgl 01 November 2020 ; 2 Raja-raja 23 : 1 -14

Invocatio        : Ketahuilah, pada hari ini Aku mengangjat engkau atas bangsa-bangsa dab atas  kerajaan-kerajaan untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam (Yeremia 1:10)

Bacaan         : 1 Korintus 3:10-17

Khotbah       : 2 Raja-Raja 23:1-14

Thema          : Reformasi Spiritualitas

I.             Pendahuluan

31 Oktober 1517 gereja telah dibarui, namun masih terus dibarui karena kita perlu kebaruan dalam keyakinan dan kepedulian kita yang berkembang. Dari mana pembaruan itu dimulai? Dari diri kita masing-masing. Tiap hari kita perlu membarui diri: membarui kebugaran tubuh, membarui kematangan kepribadian, dan membarui kedewasaan iman kita. Pembaruan adalah proses yang berlangsung terus-menerus. Kristus telah membarui kita. sekarang kita adalah manusia baru yang terus-menerus diperbarui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar pencipta kita. Martin Luther sang reformator melambangkan keluarganya sebagai sekuntum mawar putih. Martin Luther berkata, “kita adalah jantung kecil yang ditempatkan Allah di tengah sekuntum mawar putih yang agung dengan sukacita dan damai. Putih adalah warna para roh dan malaikat. Mawar ini diayomi langit yang biru lambang awal pembaruan surgawi”.

II.           Isi

Yeremia, artinya: semoga Yahweh mengendorkan rahim itu! Dia diberi nama ini, mungkin karena sulit sekali waktu lahir. Seolah-olah Rahim ibunya terus mencengkeram tidak mau melepaskan bayi itu keluar. Itu hanya sebuah kemungkinan. Tapi, sepanjang yang kita tahu, seluruh hidup Yeremia memang adalah hidup yang sulit. Hidup yang penuh konflik. Penuh pertentangan atau konflik. Termasuk konflik batin! Konflik dengan diri sendiri. Dan dengan Tuhan. Yeremia adalah tokoh yang kontroversial. Ada yang amat mengaguminya. Sebab pada diri Nabi Yeremia ini, bisa kita lihat realitas pergumulan seorang pelayan Tuhan yang sejati! Jikalau kita mau membahas bahan invocatio ini (Yer. 1:10), kita harus melihatnya secara keseluruhan mulai dari ayat 4. Dalam ayat 4, Tuhan mengatakan: “… sebelum Aku membentuk engkau dalam Rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau. Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa”. Artinya, sebelum Yeremia bisa berbuat apa-apa, Tuhan sudah menetapkan dia menjadi nabi. Dalam kaitan minggu reformasi gereja, mengapa Allah memanggil Yeremia dengan cara yang begitu spesial? Yeremia memiliki keterbatasan, bisa kita lihat dalam ayat 6. Ketidakmampuan Yeremia ini berhubungan dengan usianya yang muda. Dari sini terlihat bahwa inti kesulitan terletak pada ketakutan terhadap penolakan karena faktor usia yang muda, bukan pada ketidakmampuan berbicara. Yeremia mengemban beban yang besar, khususnya dalam invocatio kita ini (ay. 10). Pemunculan bentuk jamak “bangsa-bangsa” di ayat 5 dan pengulangan “bangsa-bangsa dan kerajaan-kerajaan” di ayat 10a menyiratkan cakupan pelayanan Yeremia yang besar. Para nabi biasanya hanya diutus kepada suatu bangsa tertentu. Yeremia memang dipanggil untuk beban yang besar. Jika ditilik dari usianya yang masih sangat muda, beban ini tampak semakin besar. Tidak heran Yeremia membutuhkan panggilan yang khusus. Karena mengemban beban yang sulit. Penolakan yang dikhawatirkan Yeremia bukan hanya berhubungan dengan usia yang muda. Penolakan ini tampaknya tidak terelakkan karena berita yang dibawa Yeremia lebih banyak yang bernuansa teguran dan peringatan.

1 Korintus pasal 3 yang menjadi bahan bacaan kita, di sini bisa kita lihat Paulus kini kembali kepada masalah khusus yang menjadi awal percakapannya mengenai pemberitaan salib sebagai kuasa Allah. Orang Kristen adalah satu di dalam Injil. Kesetiaan yang palsu terhadap guru-guru manusiawi maupun usaha apapun untuk membuat Injil berbicara dalam bahasa hikmat manusia mengancam kesatuan jemaat. Dan di dalam bahan bacaan kita 1 Korintus 3:10-17 kita bisa melihat sebelumnya Paulus telah menjelaskan peranan dirinya dan rekan-rekannya sebagai penanam dan penyiram di ladang Allah. Kini ia mengembangkan citra yang kedua dari ayat 10, sambil memusatkan perhatian kepada mereka yang diutus untuk membantu di dalam pembangunan jemaat sebagai bangunan Allah. Juga di sini tujuan akhir dan sasaran kata-katanya ialah bahwa kebenaran Injil adalah dasar gereja yang sejati.

Paulus, yang selalu sadar akan kenyataan bahwa ia telah diutus Allah, berusaha memenuhi peranan yang telah Tuhan tetapkan kepadanya. Ada alasan yang kuat mengapa di sini Paulus berbicara tentang jabatan kerasulannya sebagai kasih karunia Allah yang dianugerahkan kepadanya. Pada kesempatan yang sama itu, ia telah ditobatkan dan diutus sebagai seorang rasul ke dunia non-Yahudi. Dalam pengertian khusus keberadaannya adalah keberadaan karena kasih karunia. Jadi, ia tidak pernah bisa memisahkan pengalaman pribadinya akan kasih karunia yang mengampuni dari kewajibannya untuk memberitakan Injil. Tugasnya adalah bekerja sebagai seorang ahli bangunan yang cakap, yang secara harfiah berarti seorang “tukang” yang “berhikmat” yang mengenal pekerjaannya. Seperti di tempat-tempat lain, Paulus telah meletakkan sebuah dasar yang kukuh di Korintus; orang lain, siapapun dia, entah Apolos atau seseorang lainnya, membangun terus di atasnya. Sebelum mengembangkan gambarannya lebih jauh, Paulus merasa dia harus menambahkan suatu peringatan. Tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atas dasar yang telah diletakkan oleh Paulus.

Kita tentu sudah akan menduga bahwa Paulus akan menambahkan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain di atas apa yang telah diletakkan. Sebaliknya, ia membuat pernyataan yang lebih dasariah yakni bahwa tak seorang pun boleh mencoba meletakkan dasar yang telah diletakkannya di Korintus. Jadi, pernyataan ini memperluas kata-kata peringatannya sebelumnya. Sekali lagi Paulus menyiratkan bahwa telah ada usaha-usaha yang dilakukan di Korintus untuk mendasarkan iman pada sesuatu yang lain ketimbang pemberitaan tentang salib. Dasar gereja satu-satunya adalah Yesus Kristus, bukan suatu sistem hikmat manusia, Injil yang dimodifikasikan agar sesuai dengan penalaran. Hanya ada satu Injil, yaitu Kristus. Gambaran Kristus sebagai dasar memberikan kesan kestabilan dan kekekalan, dan mengingatkan kita akan gambaran tentang Kristus sebagai “batu penjuru” dalam Efesus 2:20 dan 1 Petrus 2:6-7, yang didasarkan pada Yesaya 28:16.

Bagaimana orang membangun di atas dasar ini suatu hari akan dibuat jelas sekali. Hal itu akan menjadi nyata jika Paulus telah membangun di atas dasar yang kekal, kukuh, seperti emas, perak, batu permata, ataukah ia telah menggunakan bahan-bahan yang kurang tahan lama dan bahkan sementara seperti kayu, rumput kering atau jerami. Pergeseran dari bahan-bahan yang unggul dan batu permata ke bahan-bahan yang rapuh menunjukkan bahwa mungkin ada pemberitaan yang tidak sepenuhnya murni, atau yang mungkin diberitakan dengan motivasi yang rendah, seperti kesombongan atau ambisi pribadi.

Apa yang masing-masing orang kerjakan sekarang akan menjadi nyata kelak. Hari penghakiman akan menyatakannya dan menguji nilai kekekalan dari segala sesuatu, bahkan motif-motif tersembunyi dari mereka yang telah menjadi pelayan-pelayan Allah. Bila seseorang benar-benar telah membangun di atas dasar yaitu Kristus, tanpa mengutak-atik firman, yaitu dengan menambahkannya atau menguranginya, dan tahan uji di dalam api tersebut, ia akan mendapat upah.

Bila pekerjaannya tidak tahan uji dan terbakar, ia akan menderita kerugian, dalam pengertian bahwa pekerjaannya tidak memberikan hasil yang kekal. Bila penghakiman dilakukan berdasarkan karya atau prestasi belaka, itulah yang akan terjadi; tetapi Allah menilai dengan ukuran belas kasih dan kasih karuniaNya sendiri di dalam Kristus. Karena Allah hanya menilai apakah si pemberita itu sendiri mempunyai iman atau tidak, ia sendiri akan diselamatkan sejauh ia mengklaim Kristus sebagai kebenarannya.

Ternyata di ayat 17 masih harus ada bangunan lainnya hanya di atas dasar yang sama itu. Demikian pula tidak boleh ada perubahan terhadap bangunan Allah yang sudah berdiri itu. Karena gereja secara keseluruhan adalah bait Allah, yang tidak dibuat dengan tangan-tangan manusia, karena Roh Allah diam di dalamnya. Oleh karena itu, setiap serangan terhadap keesaan gereja adalah serangan kepada Allah sendiri. Jika ada orang yang membinasakan bahkan sebagian saja dari bait Allah maka Allah akan membinasakan dia. Bagi mereka yang ingin merusakkan gereja dan kesatuannya dengan menggerogoti iman orang-orang kudus Allah dengan Injil yang palsu, berhati-hatilah akan hal itu.

Ketika Manasye meninggal, ia digantikan oleh Yosia yang merupakan anak dari raja Amon. Pada pemerintahan Yosia 641-609 sM sangat diuntungkan oleh karena pada tahun 627 sM pemerintahan Asiria jatuh dengan meninggalnya raja Asiria terakhir, yaitu Assurbanipal. Ini merupakan masa pemerintahan puncak bagi Yehuda, karena terlepas dari cengkeraman Asiria pada masa-masa sebelumnya, maka saat ini Yosia ingin membangun suatu gerakan reformasi besar-besaran di bawah kepemimpinannya. Ini merupakan saat yang tepat bagi pergerakan Yosia untuk menaikkan kelas bangsa Yehuda, yaitu dengan adanya kesempatan Asiria melemah dan inilah saatnya bagi bangsa Yehuda di bawah kepemimpinan Hizkia untuk meletakkan fondasi untuk memandirikan negaranya. Yosia ingin melanjutkan gerakan ekspansi kepemimpinan Hizkia yang pada waktu itu tidak mampu dilanjutkan oleh besarnya tekanan dari bangsa Asiria. Saat yang tepat dengan adanya celah sebagai suatu kesempatan bagi Yosia untuk melakukan reformasi besar-besaran di dalamnya. Melihat dari masa kepemimpinan yang “kosong” itu, raja Yosia menggencarkan ekspansinya untuk melakukan pembersihan yang besar terhadap Yehuda kemudian pada Israel yang lebih luas. Reformasi yang dilakukan oleh Yosia pada umumnya merupakan reformasi agama dan juga merupakan bagian dari sentralisasi terhadap Yerusalem yang merupakan kebijakan pemulihan wilayah oleh keluarga Daud. Dalam masa pemerintahannya ini, Yosia mengembangkan gaya kepemimpinan yang transformatif. Hal tersebut dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi di sekitar Yehuda, maka Yosia sebagai pemimpin dengan memikirkan secara cerdik bahwa ini merupakan situasi yang tepat dalam melakukan reformasi besar-besaran, sebelum bangsa Babel menyebar lebih luas, maka Yosia merupakan sosok yang lihai dalam kepemimpinannya dan reformasi yang dilakukannya ini merupakan tujuan utama dari Sejarah Deuteronomistik.

Ada tiga tahapan dalam reformasi Yosia. Pada tahun ke-8 pemerintahannya, ia sendiri secara pribadi meninggalkan agama yang sudah menyimpang dan bersifat politeisme, yang dianut kedua pemerintahan terdahulu. Mungkin dampak pertama dari tindakannya ini terbatas hanya pada kalangan istana saja. Empat tahun kemudian reformasi itu mendapat dukungan, meluas ke Yerusalem dan daerah-daerah lain. Panggilan kepada Yeremia untuk menjadi nabi pada tahun berikutnya, mungkin berkaitan dengan makin meluasnya reformasi ini. Ditemukannya kitab Taurat saat Yosia berumur 18 tahun memacu semangatnya melancarkan reformasi itu, yang sekarang memasuki tahapan ketiga dan yang paling jauh jangkauannya. Reformasi Yosia lebih hebat dari reformasi Hizkia dan lebih luas. Raja Yosia bukan hanya memusnahkan semua bukit pengorbanan di Yehuda dan Benyamin. Semangat reformasinya mendorong dia juga menjelajahi Efraim, Benyamin bahkan sampai ke utara ke Naftali di Galilea. Di mana saja dimusnahkannya setiap peranti dan sarana ibadah penyembahan berhala.

III.         Refleksi

Dalam ilmu teologi, bertobat dan lahir kembali mengandung arti dasar yang sama dengan reformasi. Akar kata latin reformasi adalah re yang berarti “kembali” dan forma yang berarti “bentuk”. Kata re bukan hanya berarti mengulang seperti dalan refrain (bagian yang diulang) atau redesain (rancangan ulang), melainkan terutama berarti kembali, pulang, atau balik, misalnya pulang kembali ke rumah. Kata re menunjuk pada sebuah arah, tempat atau sumber dari mana kita berasal. Mereformasi diri berarti kita kembali pada sumber dan asal diri kita. Mereformasi gereja berarti bahwa gereja pulang kembali ke sumbernya. Lalu, apakah sumber dasar diri kita? apakah sumber dasar gereja? Sumber dasar kita adalah citra Allah. Kita diciptakan “menurut gambar dan rupa Allah” (Kej. 1:26-27). Artinya, supaya kita tiap hari mendatangkan kemuliaan bagi Allah dan kesejahteraan bagi sesama ciptaan. Sumber dasar gereja adalah diri dan karya Yesus. Artinya, supaya gereja tiap hari menjumpai dan menyapa orang-orang dari segala lapisan tanpa pembedaan berdasarkan apapun. Itu teorinya. Praktiknya beda. Oleh sebab itu, tiap hari kita perlu pulang kembali ke sumber dasar. Dengan kata lain, kita perlu reformasi. Lebih jelas lagi, kita perlu bertobat. Lalu, muncul lagi pertanyaan? Apa artinya bertobat? Bertobat merupakan pengertian yang rumit dan kompleks. Pengertiannya tidak bisa dijelaskan denga satu kata atau satu perbuatan saja. Oleh sebab itu, Yesus memakai beberapa ungkapan kiasan supaya tiap kiasan itu memperlihatkan sebuah segi tertentu.

Pertama, bertobat adalah ibarat ganti hati dang anti otak. Ini terjemahan kasar dari metanoia. Di Lukas 17:3 diterjemahkan menjadi “menyesal”. Terjemahan wajarnya adalah “berubah hati” atau “berubah itikad”. Artinya, bertobat adalah ibarat mengganti seluruh isi perasaan dan pikiran kita. Kedua, bertobat adalah ibarat lahir kembali atau lahir ulang. Ini terjemahan harfiah dari palin-genesia. Di Matius 19:28 diterjemahkan menjadi “penciptaan kembali”. Artinya, bertobat adalah ibarat bayi yang sudah lahir, namun berubah total menjadi bayi yang berbeda. Ketiga, bertobat adalah ibarat lahir dari atas. Ini terjemahan harfiah dari anothen-genesia. Di Yohanes 3:3 dan 7 diterjemahkan menjadi “dilahirkan kembali”. Artinya, pertobatan bukanlah prestasi seseorang, melainkan hasil pekerjaan Roh Kudus. Lahir dari atas berarti lahir dari Allah atau dengan bantuan Allah. Mustahil kita bisa bertobat sendiri tanpa bantuan dari Allah. Bertobat itu susah. Kita mau bertobat, tetapi gagal. Kita mau lagi lalu gagal lagi. Bertobat adalah minta pertolongan Allah, meminta Dia mengubah kebiasan lama alias lagu lama kita menjadi lagu baru. Pemazmur meminta pertolongan itu dan memperolehnya (Mzm. 40:4). Pertolongan Allah dalam pertobatannya itu telah mengubah nasibnya.

Itu tiga ungkapan kiasan yang dipakai oleh Yesus untuk menjelaskan arti kata bertobat. Ketiga ungkapan Yesus itu sebenarnya mengacu pada sebuah kiasan yang sudah lama tertulis di Perjanjian Lama, yaitu berputar haluan atau berputar arah. Ini terjemahan harfish dari kata syub. Di Yesaya 10:21 diterjemahkan menjadi “kembali bertobat di hadapan Allah”. Meskipun tiap ungkapan tadi menunjukkan sebuah segi yang masing-masing berbeda, semua ungkapan itu pun mengandung sebuah dimensi yang sama. Dimensi itu adalah bahwa bertobat merupakan kejadian yang bersifat total atau menyeluruh. Bertobat bukan hanya menyangkut bagian luar, melainkan juga seluruh isi sampai bagian yang terdalam. Bertobat atau lahir kembali bukan hanya terjadi pada suatu hari, melainkan setiap hari secara terus-menerus. Mengapa begitu? Oleh karena motivasi bertobat bukanlah untuk memperoleh sesuatu yang bersifat sesaat, melainkan karena kita sudah memperoleh itu secara terus-menerus. Yesus berkata, “bertobatlah sebab Kerajaan Surga sudah dekat!” (Mat. 4:17). Perhatikan kata sebab. Yesus bukan berkata “supaya Kerajaan Surga dekat”, melainkan “sebab Kerajaan Surga sudah dekat”. Kerajaan Surga atau Kerajaan Allah adalah kehidupan sehari-hari yang dirajai oleh Allah, yang mematuhi kehendak Allah, yang didasarkan pada keselamatan dan pengampunan. Lihat Ucapan Bahagia Yesus di Matius 5 tentang siapa “yang punya Kerajaan Surga”. Kata “sebab” mengoreksi pandangan kita yang sering beranggapan “supaya”. Kita sering menganggap perlu bertobat supaya mendapat pengampunan dan selamat, padahal menurut Yesus kita bertobat karena kita sudah diampuni dan diselamatkan dengan datangnya Kerajaan Allah dalam diriNya. Untuk mempertajam ketegasan itu, Calvin mengubah susunan kalimat Yesus tadi menjadi, “Oleh karena Kerajaan Surga sudah dekat, bertobatlah!” (Institutio III.iii, 1-2). Oleh karena kita sudah diampuni dan diselamatkan, justru sebab itu kita perlu bertobat dan lahir kembali terus-menerus. Oleh karena gereja sudah dibarui, justru sebab itu gereja perlu bertobat dan direformasi terus-menerus.

Pdt. Andreas Pranata Meliala, S.Th

GBKP Rg. Cibinong