Khotbah Minggu Tgl 21 November 2021 : Masmur 90:1-12

Invocatio      : La lit ise pe si ngasup ngambati kematenna, ntah nuncun wari kematenna.     Enda me sada peperangen si la          tersilahken; penipu pe la terpulahisa bana i jenari (Peng. 8:8).

Ogen           : Ketangkasen 1: 4-8

Khotbah       : Masmur 90:1-12

Tema            : Ngerti Gendekna Umur Manusia (Bhs.Indo: Memahami betapa      terbatasnya usia manusia)

Pendahuluan

           “Dunia ini bukanlah rumahku, Semua yang ada hanya sementara, Tak ada satupun yang dapat kubawa Saat ku kembali pada-Nya, Ku sadari singkat hidup ini Seperti embun pagi yang datang dan pergi, Selama kuhidup senangkan hatiMu Ku yakin kembali pada-Mu” potongan lirik lagu yang dinyanyikan oleh Maria Shandi dengan judul “Dunia ini bukanlah rumahku”.

          Lagu ini mengingatkan bahwa kehidupan manusia tidak ada yang abadi, tidak ada seorangpun yang mampu menolak dan menghindar dari kematian. Dalam kehidupan kita saat ini, saya rasa kita pernah melihat kematian orang lain atau kematian orang terdekat kita. Menyaksikan hal tersebut tidak menjamin bahwa manusia akan mengingat kematiannya atau kehidupan yang singkat.

Pendalaman Teks

Masmur 90:1-12

          Secara umum syair-syair dalam kumpulan Mazmur bertujuan sebagai doa dan pujian di tengah umat, digunakan secara personal maupun komunal, dan biasanya Mazmur ini dinaikkan dalam Bait Allah serta sebagai bahan liturgis dalam ibadah Isarel. Mazmur 90 adalah sebagai doa, keluhan dan permohonan Musa kepada Tuhan pada masa perjalanan Israel menuju ke tanah Kanaan. Mazmur ini ditulis sebagai pengingat bagi Israel bahwa mereka pernah memberontak kepada Tuhan, dan Tuhan tetap mengasihi walaupun dengan adanya konsekuensi.

          Kesadaran Musa akan cinta Allah menjadi pengingat bahwa di dalam kehidupan manusia yang diselimuti penderitaan dan fana, Allah menjadi jalan keluar dan jawaban satu-satunya sebagai tempat perlindungan yang tepat bagi manusia. Ada pengharapan baru bagi Musa di dalam kesesakannya. Mazmur ini khususnya dalam pasal 3-12 merupakan refleksi atas kesementaraan hidup manusia. Hal ini dilihat oleh pemazmur bahwa betapa mudahnya Allah “memusnahkan” manusia (ay 5), tetapi manusia sering lupa dengan terbatasnya hidup di dunia ini. Pemazmur juga mengatakan bahwa hidup yang bijaksana justru muncul jika kita bisa memperhitungkan kematian yang akan datang (ay 12). Kalau kematian itu sesuatu yang pasti akan datang, maka kehidupan yang baik dimulai jika kita memikirkan akhir daripada hidup itu. Akan tetapi hal ini yang menjadi sulit ketika diperhadapkan kepada manusia.

          Kehidupan manusia diperbandingkan dengan kekekalan Allah. Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami. Pemazmur mulai dengan menyebut keyakinannya akan kekekalan Allah (bdg. Ul. 33:27). Sesungguhnya, semua angkatan (versi LAI, turun-temurun) mengetahui bahwa hal itu benar. Tuhan bersifat kekal; sedang manusia bersifat fana. Tuhan tidak terikat pada waktu; manusia selalu terikat pada waktu. Tuhan ada dari kekal sampai kekal; manusia, seperti rumput, hidupnya singkat. Gaya bahasa kiasan pada ayat 4-6 bukan hanya menonjolkan betapa singkatnya atau rapuhnya hidup ini, melainkan juga ketergantungan manusia kepada Yang Kekal. Nasib manusia pasti ada di tangan Allah, kembali kepada debu atas perintah-Nya dan hilang bagaikan tersapu oleh air bah.

          Sama halnya dengan masa pandemi saat ini yang mempertontonkan bagaimana ringkih dan rapuhnya kehidupan manusia. Kita diperhadapkan dengan situasi yang tidak mampu kita kendalikan dan hindari, salah satunya adalah kematian orang-orang yang ada di sekitar kita. Walupun ini sangat dekat dengan kita, tetapi ini tidak menjamin bahwa kita akan menyadari kehidupan kita yang singkat ini, sehingga seringkali kita menutup mata bahwa kita membutuhkan tempat perlindungan yang kekal yaitu Allah (ay 1).

          Ketamakan, keegoisan, kekayaan duniawi seringkali membutakan kita terhadap hidup kita yang singkat ini. Seperti yang tertulis di dalam invocatio kita bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menunda kematian atau bahkan menghindarinya. Kematian merupakan bagian yang integral dari kehidupan manusia, itulah alasan mengapa manusia menjadi makhluk yang terbatas dan fana. Keterbatasan dan kefanaan manusia terlihat jelas dalam ketidakmamampuan kita hadir di berbagai tempat dalam waktu yang sama. Inilah yang pemazmur mau memberitahukan kepada  kita, bahwa waktu kita melihat pada kesementaraan hidup manusia, itu bukan sesuatu yang harus dilihat sebagai hal negatif. Itu sesuatu yang justru membuat kita lebih mengerti apa yang namanya: hidup.

          Dalam buku “Labirin kehidupan” yang ditulis oleh Joas Adiprasetya, dia menuliskan mengenai Ars Moriendi atau seni mati. Karya ini muncul pertama kali di abad ke-15, sebagai sebuah jawaban Imani atas pristiwa wabah serempak di Eropa pada tahun 1346-1353 yang kerap dijuluki “kematian hitam”. Pada saat ini percakapan mengenai kematian bukanlah menjadi hal yang kerap diperbincangkan dengan adanya kesadaran bahwa kematian itu menjadi realita dalam kehidupan manusia, sehingga kematian yang biasanya kita sangkal, pada saat ini bisa momen kita berdamai dengan kematian dan menghidupi kehidupan ini dengan baik.

Refleksi

          Terlepas dari siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, besok, lusa, atau waktu ke depan, kematian akan menjadi bagian kita. Sebagai orang percaya kita bersiap diri untuk menghadapi kematian. Bagaimana caranya? Yaitu dengan menjalani hidup sebagaimana Tuhan kehendaki dan mengingat betapa singkatnya hidup di dunia ini. Hidup dalam kebenaran dan kasih antara seorang dengan yang lain. Cara ini mungkin akan memberikan cara pandangan kita terhadap kematian dan kehidupan yang singkat ini. Kematian tidak lagi menjadi ketakutan, melainkan dipahami sebagai akhir dari perjalanan hidup kita di dunia ini. Tidak ada cara untuk mengatasi kematian kecuali berdamai dan benar-benar memahami kenyataan bahwa kematian itu adalah bayang-bayang yang sudah ada sejak kita lahir dan menjalani hidup sehari-hari sebaik mungkin. Kalimat penutup yang saya pakai dari ungkapan Jeremy Schwartz dengan bijak mengatakan “Hiduplah setiap hari seolah-olah itulah hari terakhirmu, sebab suatu hari, hari itu sungguh-sungguh menjadi hari terakhirmu”. Bersukacitalah dengan memahami singkatnya hidup ini.

Det. Febi Melinda Br Tarigan-

  Perp. Purwakarta