Khotbah Minggu Tgl 10 Oktober 2021 : Kisah Para Rasul 20 :32-35

Invocatio    : (Kuan. 19:17)

Ogen           : Mazmur 41:1-4 

Kotbah        : Kisah Para  Rasul 20:32-35 

Tema          : Adalah Lebih Berbahagia Memberi Daripada Menerima

1.     Chen Shu Chu seorang pedagang sayur-mayur di Taitung, Taiwan. Selama 18 tahun berdagang, ia menyisihkan sebanyak 2,8 miliar rupiah keuntungannya untuk menyantuni orang miskin dan anak telantar. Pada tahun 2012 ia dianugerahi Penghargaan Ramon Magsaysay dan memperoleh hadiah sebesar 50 ribu dolar AS. Tetapi hadiah tersebut dihibahkan sebagai dana untuk membantu rumah sakit yang memerlukan peralatan UGD.

“Sebab di mana ada iri hati mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.” (Yak. 3:16). Chen Shu Chu bukan pemilik saham perusahaan besar, namun ia sudah menanamkan saham kebaikan dalam hidupnya. Ia melakukan hal sederhana, namun menghasilkan perbuatan yang mengagumkan. "Jangan sekedar bermimpi menjadi orang kaya, jadilah orang yang berhati kaya."

2.     Bagian ini merupakan rangkaian penutup dari “pidato perpisahan” dengan para penatua Efesus di Miletus, sebelum Paulus akan berangkat ke Yerusalem. Kali ini, Paulus tidak bisa datang ke Efesus, karena itu ia menyuruh seorang dari Miletus ke Efesus dengan pesan supaya para penatua jemaatlah yang datang ke Miletus dan menjumpainya di sana.  Hal ini mungkin karena ada sesuatu yang hendak dikerjakan, entah dengan rencana pelayaran atau keinginan untuk menghindari pertikaian di Efesus. Dan keputusan ke Yerusalem bukanlah semata-mata keputusan Paulus, melainkan juga karena Roh Kudus telah menetapkan keputusan atas Paulus dengan berbagai cara. Hal ini nyata dari bahasa Paulus yang tegas kepada para penatua itu “sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem” (ayy. 22). Serta diakhiri dengan suasana yang sangat emosional, doa bersama yang disertai dengan cucuran air mata, pelukan, dan ciuman.

Secara umum, ada 3 bagian pesan perpisahan Paulus

·      Mengulas tentang masa lalu (18-21) menekankan pada kesetiannya pada Tuhan dan gereja-Nya selama 3 tahun melayani di Efesus ditengah tantangan yang berat.

·      Membahas tentang masa kini (22-27), mengungkapkan perasaan pribadi Paulus tentang masa lalu dan masa depan.

·      Berbicara tentang masa depan (28-35), memperingatkan mereka tentang bahaya yang akan dihadapi gereja-gereja.

3.     Di dalam acara perpisahan tersebut, Paulus berharap agar ketika ia meninggalkan jemaat Efesus, mereka dapat tetap berdampak bagi sesama. Salah satu yang ditekankan oleh Paulus adalah tindakan untuk saling memberi. Memberi merupakan wujud kepedulian terhadap sesama. Dengan memberi, setiap orang dapat saling menopang dan ikut merasakan pergumulan orang lain. Semangat memberi inilah yang oleh Paulus, dengan mengutip perkataan Yesus, dikatakan akan mendatangkan kebahagiaan.

Meski tidak tertulis dalam Injil manapun tetapi tetap memiliki akar dari pengajaran Tuhan Yesus (Mat. 25:34-35 Luk. 6:30, 35, 38; 14-14) (ada juga penafsir mengatakan bahwa Paulus mendengar kalimat tersebut dari salah satu para rasul atau lewat lisan).

Tidak ada orang yang tidak mau berbahagia. Tetapi kebahagiaan yang dimaksud dalam bagian ini adalah lebih bahagia memberi daripada menerima, tetapi dalam konteks:

-      Merespon anugerah keselamatan dari Tuhan (ay. 32 “... menganugerahkan kepada kamu bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan-Nya”).

-      Menaati Firman Tuhan, bahwa Paulus mengutip apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus. Jadi kebahagiaan itu adalah menaati Firman Tuhan Yesus (bdk. Luk. 11:28 “Tapi ngaloi Jesus, "Malemen tuhu-tuhu ate kalak si megiken Kata Dibata dingen ndalankenca!" Ibas liturgi ninta rusur “ketuahen kalak simegiken ras sindalankenca”)

-      Lebih bahagia memberi karena kita mencerminkan Kristus di dalam diri kita. Sebagaimana Yesus memberi diri-Nya untuk dunia ini.

-      Menghindarkan kita dari keserakahan. Rasul Paulus bukan hanya mengutip kata-kata Yesus tetapi dia juga menjalaninya. Dalam ayat 33-34, Rasul Paulus mengatakan bahwa ia tidak pernah mengingini harta benda milik siapapun. Melalui yang ia miliki, ia telah memberi pertolongan bagi teman-temannya. Dengan kata lain, Rasul Paulus terhindar dari dosa keserakahan karena ia telah belajar memberi.

4.     Menerima dan memberi adalah sama-sama bahagia. Tetapi ada persoalan nilai atau perbandingan dalam hal ini bukan kontradiksi atau sesuatu yang paradoksal. Bukan berarti memberi adalah sesuatu yang baik sedangkan menerima adalah sesuatu yang buruk. Tetapi, lebih berbahagia ketika memberi meski menerima juga berbahagia.

5.     Menenggelamkan hak demi kepentingan orang lain. Di dalam Lukas 10:7 dan 1 Kor. 9:4-14 dinyatakan bahwa para saksi-Nya diizinkan menerima upah. Paulus berhak akan upah tersebut. Meski demikian, Paulus biasanya tidak memanfaatkan “hak” ini untuk dirinya, ia tidak mau membebani jemaat (meski di tempat lain dia tidak melakukan hal ini, tentunya tergantung situasi jemaat tersebut). “Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapa pun juga.” (ay. 33), merupakan implikasi yang jelas bahwa dia suka agar para penatua Efesus mengambil sikap yang sama terhadap bantuan finansial, mungkin karena anggota jemaat lainnya tidak dalam keadaan berada. Akan sama halnya bahwa, hasil kerja keras kita memang benar adalah hak kita. Tetapi teladan Paulus memberi kita dorongan untuk “menenggelamkan hak” tersebut untuk/ demi mereka yang lemah. Ada motivasi dari dalam diri untuk memberi.

6.     Melayani di tengah tantangan. Bukan hal yang mudah bagi Paulus untuk tetap setia melayani Tuhan di tengah tantangan yang hebat. Umumnya, ketika seseorang menghadapi tantangan, orang tersebut hanya akan memikirkan dirinya sendiri serta kecil kemungkinan memikirkan kebutuhan orang lain. Tetapi, menariknya, cara hidup Paulus tidak demikian. Meski di tengah tantangan, Paulus tetap dan selalu memikirkan kehidupan jemaatnya. Cara hidup Paulus ini menjadi teladan bagi kita di tengah krisis akibat pandemi covid-19 ini. Semua kita mungkin akan berkata bahwa “aku pe mberat nge kuakap, aku pe mesera nge kuakap, uga ningku mere penampat, khususna nandangi YKPD, PAK Gelora Kasih ntah pe PPOS? Di dalam situasi seperti inilah kita diuji. Paulus tidak menghindar untuk memberi diri kepada jemaat di tengah tantangan tersebut. Maka saatnya kita “memberi di tengah tantangan”.

7.     Sulit memberi adalah kegagalan dalam menyadari. Sadar akan apa? Gagal menyadari betapa banyak kita telah menerima dari Tuhan. Gagal menyadari bahwa kita sebenarnya adalah pengelola bukan pemilik. Gagal menyadari bahwa ada yang Tuhan titipkan lewat diri kita bagi orang lain.

8.     Mperdiateken anak-anak YKPD, PAK Gelora Kasih, ras orangtuanta i PPOS enggo pasti “la rulih man banta”. Jika  dunia ini sangat menekankan pada hukum timbal balik. Jika saya memberi, maka saya akan menerima. Maka, sudah pasti mereka yang disebut di atas tidak bisa membalas kebaikan yang kita lakukan secara langsung. Sama seperti kata Pengkotbah 11:1 “Lemparkanlah rotimu ke air, maka engkau akan mendapatnya kembali lama setelah itu.

9.     3 tahun mereka diajari oleh Paulus baik melalui pengajaran maupun dalam teladan kehidupan, sudah saatnya mereka tidak lagi dilayani tetapi melayani, sudah saatnya mereka memberi. Paulus telah memberi teladan tersebut (ay. 35) dengan bekerja keras bukan hanya memenuhi kebutuhan diri sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang lemah. Seolah Paulus mengingatkan kita di ay. 32 “dan sekarang...” bahwa tugas melayani mereka yang lemah tersebut diserahkan kepada kita.

10.  Bekerja keras ternyata bukan hanya “demi” kita, tetapi juga bagi mereka yang membutuhkan. Ini adalah sebuah etika kerja yang luar biasa. Jika selama ini kita dengar bekerja adalah ibadah, tetapi kali ini ada tambahannya bekerja untuk mereka yang lemah karena itu adalah ibadah. Paulus bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi berupaya berbagi dengan mereka yang lemah.

Orang lemah bisa dalam arti lemah secara iman. Tetapi ada kala orang lemah dalam iman karena tekanan ekonomi (berkekurangan, meski ada juga yang kaya tapi lemah dalam iman, sebaliknya ada juga yang hidupnya pas-pasan tapi teguh dalam iman). Tetapi ada kalanya berkaitan bagi sebagian orang, tekanan ekonomi membuat kehidupan beriman menjadi lemah. Maka di saat seperti inilah gereja mengambil peran membantu secara materi selain hanya doa.

11.  Memberi sebagai pelayanan. Memberi tersebut bukan hanya sekedar pemberian kepada mereka yang membutuhkan melainkan melihat pemberian itu juga sebagai pelayanan (”service”, 2Kor. 9:12; Rm. 15:27). Suatu tindakan kasih yang didasarkan atas kasih Kristus (2Kor. 8:11-12,24; 9:5-7). Sejajar dengan itu maka memberi harus dengan sukacita dan ucapan syukur bukan dengan paksaan. Juga dengan memberi melalui  maka kita diajak untuk memelihara keseimbangan di tengah persekutuan orang percaya, antara mereka yang berkecukupan dengan mereka yang berkekurangan/ lemah.

12.  Memberi berdasarkan apa yang ada. Paulus di surat-surat yang lain , misalnya kepada jemaat Korintus meminta jemaat Korintus untuk memberi dari apa yang mereka miliki, bukan dari apa yang tidak mereka miliki. Pemberian itu bukan masalah jumlahnya tetapi sukarelanya. Sikap bermurah hati kepada orang-orang yang membutuhkan merupakan ajaran yang populer dalam tradisi hikmat (Ams. 3:27-28

Pertanyaannya, adakah kita yang sampai saat ini dengan konsisten memberi hati dan sebagian harta kita kepada mereka?

Mzm. 37:25-26 “Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti; tiap hari ia menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman, dan anak cucunya menjadi berkat.”

Jangan ajari Tuhan belajar matematika atau ilmu ekonomi.

Pdt  Dasma Turnip

GBKP Rg Palangkaraya